1 Maret 1949, Komandan Werhkreise III Letnan Kolonel Soeharto meminpin pasukannya yang terdiri dari prajurit-prajurit  Tentara Nasional Indonesia (TNI), plus Polisi dan Laskar-laskar, menyerbu markas serta pos-pos tentara Belanda di Yogyakarta dan berhasil menduduki kota itu selama 6 jam. Belanda yang sejak 19 Desember 1948 berhasil menduduki Yogyakarta  sangat terpukul dengan serangan itu.
74 tahun telah berlalu,Yang disebut "serangan besar-besaran" oleh Panglima  Divisi III/Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng ini, berhasil membongkar kebohonngan Belanda yang mengatakan Republik Indonesia sudah tidak ada setelah mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden, Wakil Presiden dan beberapa orang Menteri pada agresi militer kedua,  19 Desember 1948.
Keberhasilan serangan itu menjadi amunisi diplomsi bagi LN Palar berbicara di sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa---hasilnya memaksa Belanda ke meja perundinga Roem-Royen dan berujung pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda yakni pengakuan kedaulatan Belanda atas Republik Indonesia Serikat (RIS).
Momentum Serangan Umum 1 Maret 1949 selanjutnya dijadikan dasar dikeluarkannya Keppres no 2 Tahun 2022---menetapkan tanggal 1 Maret sebagai hari besar nasional diberi nama; Hari Penegak Kedaulatan Negara.
Dalam poin C keppres tersebut dikatakan antara lain bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, padahal kedua tokoh bangsa sekaligus proklamator itu dalam kondisi ditawan oleh Belanda  di Bangka saat itu. Sedangkan tokoh sentral yang meminpin dan bertarung nyawa dalam serangan itu Letnan Kolonel Soeharto malah tidak disebut.                                                           Â
Setelah Keppres no 2 tahun 2022 diumumkan, beragam komentar bermunculan dari para sejarawan tentang konsideran  C keppres tersebut seperti terekam dari berbagai webinar.
Dalam webinar yang diselenggarakan Forum Insan Cita pada 5 Maret 2022 berjudul "PDRI, Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dan Keppres no 2 tahun 2022", sejarawan Anhar Gonggong mengatakan antara lain; "Soeharto mempunyai peranan besar ketika Serangan Umum 1 Maret 1949 dilakukan. Apa lagi dia memang mempunyai wilayah wehrkreise. Wehrkreise adalah istilah pembagian wilayah oleh Jerman kemudian diadopsi untuk membagi wilayah perang di Indonesia ketika itu dan Soeharto mendapat wilayah Wehrkreise III, Yogyakarta. Di dalam wilayah itu, seorang komandan bebas melakukan inisiatif dalam menjalankan tugasnya."
Selanjutnya Anhar menambahkan bahwa Pak Harto memiliki peranan besar dalam serangan itu. Dibuktikan pada saat komandan brigade Belanda yaitu Kolonel Van Langen bertemu dan berjabat tangan dengan Letnan Kolonel Soeharto, ia mengatakan   pada orang disekitarnya tentang Pak Harto. Van Langen sangat menghargai tinggi pada Pak Harto karena menurut perhitungannya sangat tidak mungkin mengadakan serangan sebesar itu pada siang hari.
Sedangkan Letnan Jenderal TNI (Purn) Kiki Syahnakri di webinar itu menjelaskan dalam  Perspektif Militer tentang Keppres no 2 tahun 2022., menempatkan para tokoh-tokoh yang terlibat dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, pada tempat sebenarnya, pada peran yang sebenarnya.
Letnan Kolonel Soeharto sebagai Komandan Brigade X, sebagai pelaksana operasi, pasti melakukan langkah-langkah sebagai berikut; Pertama adalah mengkonsolidasikan pasukan karena pasukan-pasukan yang ada di Yogya saat itu bukan hanya dari Brigade X  saja tetapi ada batalyon dari Sulawesi dipimpin Pak Vence Samual, dan  ada juga pasukan Siliwangi.
Sebagai komandan harus merencanakan, melaksanakan, dan mengendalikan Serangan Umum 1 Maret. Untuk keberhasilan operasi, dalam logika tentara, dibutuhkan momentum pendadakan. Dan untuk menjamin pendadakan tersebut, maka harus ada kerahasiaan super tinggi.  Untuk kerahasiaan super tinggi itu, menjadi tidak logis kalau Bung Karno dan Bung Hatta, pada saat itu sedang berada di Bangka dalam pengawasan sebagai tawanan---untuk menyetujui dan menggerakkan Serangan Umum 1 Maret.