Mohon tunggu...
PKS Non Tarbiyah
PKS Non Tarbiyah Mohon Tunggu... -

Politik tak berhubungan dengan dakwah dan kaderisasi. Tak harus tarbiyah untuk berkiprah. PKS adalah rumah yang lapang bagi semua aktivis. Orang soleh, preman, hingga sosialis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mundurnya Pejabat, Sebuah Prestasi?

10 Januari 2016   08:14 Diperbarui: 10 Januari 2016   11:36 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Betapa rendahnya standar kualitas pejabat publik kita, sehingga mundur karena kegagalan pun dianggap sebuah prestasi"

Betapa seringnya kita disuguhi tontonan politik minim etika, sehingga sesuatu yang sudah menjadi suatu hal yang semesetinya namun justru dirayakan sebagai sikap kepahlawanan. Benar, bahwa mundurnya seorang pejabat adalah simbol kebesaran jiwa dan rasa tanggung jawab dalam menghadapi kegagalan dalam bertugas, namun sebagai tradisi, budaya mundur ini tentu bukan pertanda yang baik bagi progresi bernegara. Sehingga perayaan yang disambut dengan heroisme atas mundurnya seorang pejabat tidak lebih dari sebuah perayaan atas kegagalan, confession of nothings.

Dalam kepemimpinan, keberanian tanpa kejujuran adalah buta. Kejujuran tanpa keberanian adalah bisu. Untuk itulah kecakapan seseorang dalam menyelesaikan tugas, sebelumnya telah ditantang dengan berbagai persyaratan dalam proses rekrutmen, ini berlaku baik bagi mereka yang menjadi pejabat publik melalui mekanisme selected maupun elected. Begitulah kepemimpinan adalah soal kehormatan dan kebesaran jiwa. Maka siapapun pemimpin, jika bersalah maka memang sudah menjadi hal yang semestinya menyatakan diri untuk mundur. Itu bagian dari etiket. Namun sekali lagi menjadikannya sebagai tradisi, adalah petanda mundurnya kita membangun sistem, maka tak perlu ada tepuk tangan.

Tidak ada teori untuk menjelaskan sikap mundur seseorang dari sebuah jabatan kecuali bahwa dia
1. Melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power),
2. Gagal dalam melaksanakan tugas, dan
3. Sadar diri bahwa dia tidak memiliki kecakapan untuk menghadapi berbagai persoalan terkait tugas yang dia emban.

Maka dari tiga penjelasan tersebut, jelas bahwa mundur adalah kesemestian dan tidak boleh dirayakan sebagai sikap kepahlawanan. Kecuali dalam hal bahwa dia mundur dalam tekanan dan paksaan sebuah otoritas besar di luar kendali dirinya maka pejabat yang mundur justru harus dituntut pertanggungjawaban. Dunia pendidikan militer mengajarkan nilai tersebut dengan sangat baik dan tegas. Bahwa semisal sesorang mundur karena ternyata merasa diri tidak memiliki kecakapan dan atau merasa tidak mampu menjalankan tugas, maka atas segala pembenanan biaya negara selama dia menjalankan tugas harus diganti karena dia telah melakukan kebohongan dan mengabaikan segala persyaratan dalam proses rekrutmen.

Sebagaimana diksinya, maka sikap mundur merupakan kemunduran itu sendiri dan mengandung nilai negatif dalam progressi berbangsa dan bernegara. Mari kita lihat pengalaman di berbagai negara terkait sikap mundur seorang pejabat publik. Ini penting dieksplor, bahwa pejabat yang mundur adalah orang orang yang salah telah melakukan pelanggaran terkait tugas dan wewenangnya.

Presiden Jerman, Christian Wuff mundur dari jabatan karena ketahuan menerima fasilitas saat meminjam uang di bank untuk menyicil rumah. Tindakan serupa juga dilakukan oleh Perdana Menteri Yunani George Papandreou yang mengundurkan diri akibat rasa malu karena tidak mampu mengatasi krisis berkepanjangan. Atau juga Menteri Tenaga Kerja Korea Selatan yang mengundurkan diri karena kedapatan bermain golf saat terjadi pemogokan buruh. Di Jepang yang terkenal menganut budaya malu yang sangat tinggi maka tidak hanya mundur, ketidakmampuan dan atau kesalahan dalam melaksanakan tugas membuat mereka bahkan melakukan harakiri (bunuh diri).

Kita mengingat Naoto Kan misalnya, Perdana Menteri Jepang yang mengundurkan diri ketika merasa gagal me-recovery Jepang pasca Tsunami. Berderet pejabat lain pun melakukan hal serupa dalam memimpin publik. Tanggal 2 Juni 2010, Yukio Hatoyama mengundurkan diri karena "merasa tak enak" setelah kebijakannya mempertahankan pangkalan Militer AS di Okinawa. Berikutnya, 12 September 2011, Yashio Hachiro Menteri Industri Jepang mengundurkan diri karena salah bicara menyebut "kota kematian" pasca Tsunami Jepang.

Tak hanya di Jepang, negara lain pun punya kisah yang tak berbeda. Di Korea, 9 Februari 2011, Kepala Parlemen Korea Selatan, Park Hee Tae mundur setelah ada anggota yang menyebutnya menerima sogokan saat pemilihan ketua partai. Selanjutnya, masih di tahun yang sama, 27 September 2011, giliran Menteri Ekonomi Pengetahuan Korea Selatan Choi Joong Kyung mengundurkan diri karena malu akibat mati listrik massal di beberapa kota.

Tak berhenti di Asia, langkah mundur dari jabatan juga pernah terjadi di belahan negara Eropa dan Amerika. Di Jerman, 31 Mei 2010, Sang Presiden Horst Koehler memilih mundur akibat gencarnya kritik setelah menyampaikan pernyataan tentang misi tentara Bundeswehr. Di Brasil, 26 Oktober 2011, demi memulihkan martabat, Menteri Olahraga Brasil Orlando Silva mengundurkan diri saat baru diduga korupsi dana promosi olahraga.

Apa yang bisa kita lihat dengan hati terbuka atas peristiwa berbagai pengunduran diri di berbagai belahan dunia tersebut? Bahwa peristiwa pengunduran diri akibat gagal dan atau menyalahgunakan wewenang dalam tugas adalah peristiwa yang biasa terjadi. Dan pengunduran diri itu sesungguhnya mengandung pesan bahwa dia merasa dengan pengunduran dirinya, maka akan ada perbaikan yang jauh lebih baik, serta dia meyakini ada orang lain yang jauh lebih baik menggantikan posisi dirinya dalam menghadapi masalah terkait kepentingan publik luas. Jika keyakinan itu tidak ada, maka pengunduran diri adalah penghianatan.

Benar bahwa sikap itu adalah sikap bermartabat namun sikap itu bukanlah petanda kemajuan. Maka menganggap istimewa sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan justru menunjukkan betapa rendahnya standar kualitas masyarakat dalam memaknai realitas, terlebih lagi jika pejabat yang mundur menganggap sikapnya sebagai sebuah prestasi, itu tak lebih dari justru semakin menunjukkan betapa rendahnya kualitas dirinya sebagai pejabat publik.

Jadi selain sikap mundur identik dengan kesalahan dan pelanggaran namun lebih dari itu sikap mundur adalah simbol ketidakjujuran dan memaksakan diri ketika sebelumnya mengajukan diri dan atau saat dipromosi mendapatkan jabatan. Di Indonesia justru ada kalimat dari Kopassus, korps TNI AD yang masuk dalam daftar pasukan terbaik di dunia, “Lebih Baik Pulang Nama Daripada Gagal Dalam Tugas”. Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang sebelumnya sudah menyatakan sanggup mengemban sebuah tugas, maka dia sudah rela menerima konsekwensi "pergi tak ada yg rindukan, mati tak ada yang tangisi, pulang gagal dicaci maki, pulang sukses tak ada yang puji". Pantang menyerah demi kehormatan menuntaskan tanggung jawab adalah lebih pantas. Pejabat yang mengundurkan diri tidak akan dikenang sebagai seorang pahlawan, tapi justru seumur hidupnya dia akan dikenang sebagai contoh seorang pecundang.

*Kontributor : Dr. Rey Suryo Simanungkalit, Peniliti Business Ethics di University of Leiden, Netherland

Sumber gambar: emirhandincer.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun