Mohon tunggu...
Nonik Widyaa
Nonik Widyaa Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media di Indonesia: Pengaruh Media Global atau Konglomerat Media Nasional?

12 November 2018   11:24 Diperbarui: 12 November 2018   11:25 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring dengan globalisasi di dunia, penyebaran informasi menjadi lebih cepat dan efisien. Dunia menjadi terasa sempit, dan kalimat 'seakan isi dunia berada digenggaman tangan' nampaknya memang bukan hal yang berlebihan dimasa sekarang ini, melihat dari bertumpuknya berbagai informasi dengan kemudahan aksesnya. 

Globalisasi terjadi pada semua bidang, tidak terkecuali termasuk mempengaruhi media. Media tidak lagi hanya berorientasi pada pemirsa lokal atau dalam negeri, tetapi mulai menjangkau lebih luas yakni pasar dunia. Dalam hal ini terjadi globalisasi pada media yang memunculkan media global. 

Media global merupakan istilah mengenai sistem media yang telah berhasil mendistribusikan muatannya baik informasi, pendidikan, maupun hiburan pada tingkat global atau internasional. 

Media global memiliki karakteristik yang berbeda dari media lain (dalam hal ini media lokal), yakni media ini memiliki cabang dibanyak negara bahkan mendunia. Media global bersifat ekspansif, artinya akan terus melakukan perluasan distribusinya. Hal tersebut disebabkan oleh globalisasi, dimana pembaharuan-pembaharuan teknologi turut mempengaruhi proses bisnis media secara global.

Deregulasi dan liberalisasi sektor komunikasi internasional pada tahun 1990-an disejajarkan dalam industri media dan bersama dengan teknologi komunikasi baru dari satelit dan kabel telah menciptakan pasar global untuk produk media. 

Konvergensi dari media dan teknologi serta proses integrasi vertikal dalam industri menghasilkan konsentrasi kekuatan media ditangan beberapa perusahaan transisional dengan implikasi untuk demokrasi global.

Sebelum terjadinya globalisasi, sebagian besar perusahaan media memiliki bidang bisnis yang berbeda. Kemudian privatisasi penyiaran diseluruh dunia ditambah dengan metode baru penyampaian konten media dan komunikasi yaitu satelit, kabel dan internet. Misalnya British Broadcasting Company (BBC), media kenamaan asal Inggris telah memasuki pasar media dunia yang kompetitif tidak hanya menjadi milik atau berkantor di Inggris saja namun hampir secara global, termasuk Indonesia. Menyiarkan beritanya dalam 32 bahasa dunia dan memberikan situs berita yang sesuai dengan wilayah regional para penggunanya. 

Lantas sejauh mana media Indonesia berada di pasar global? 

Berbicara mengenai media Indonesia, baik media cetak, elektronik, maupun digital juga tidak terlepas dari konglomerasi. Artinya hanya segelintir orang yang mendominasi kepemilikan perusahaan media. Konglomerat media ini cenderung mengembangkan model bisnis konglomerasi yang hampir sama, yakni berusaha menjadi perusahaan multiplatform, dan untuk mencapai hal tersebut mereka memusatkan produksi beritanya. 

Konglomerasi ini sangat erat kaitannya dengan kapitalisme dalam bisnis, dimana masing-masing perusahaan media ini berusaha untuk menguasai sebanyak mungkin platform, serta membangun "ekosistem" media, dari konten yang disajikan sampai dengan infrastruktur komunikasinya. Disisi lain, dirasakan pula bahwa para konglomerat ini bukan hanya berpengaruh besar terhadap media, namun juga mulai terlibat dalam panggung politik dan ekonomi dengan memanfaatkan kekuatan medianya masing-masing. 

Konglomerasi media akan sangat berbahaya ketika telah bercampur dengan dunia politik. Di Indonesia saat ini sedang hangat terlebih di tahun-tahun politik. Para konglomerat media bekerja dibalik layar yang bergerak dengan aksi saling dukung dan saling pukul. Publik disajikan dengan konten berita yang tidak berimbang, dan diikuti kepentingan politik yang sangat kentara didalamnya. Bahkan terkadang berita politik yang disajikan justru bukan fakta namun hanya opini semata.

 Disinilah media berperan dalam agenda setting dan framing yang sesuai dengan kepentingan pemilik perusahaan. Ini membuat batasan yang tidak terlihat antara media dengan pemerintah. Pada faktanya media yang seharusnya menjadi pengawas kinerja pemerintah dan menyampaikan pada publiknya, lalu pemerintah berwenang untuk menjaga media dengan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Namun batasan yang seakan hilang ini justru menjadikan hal tersebut tidak berjalan dengan semestinya.

 Untuk itu sangat diperlukan kesadaran publik untuk dapat mengetahui dan memahami bahwa karena adanya kepentingan dibalik yang media tampilkan, media swasta tidaklah selalu netral. Sehingga perlu menggunakan logika dan nurani yang lebih dalam dalam menyimpulkan pemberitaan suatu media agar kebenaran yang didapatkan publik tidak terhegemoni dengan menerima kebenaran versi masing-masing media. Sisi negatif lain dari konglomerasi media adalah dari aspek ekonomi.

 Implikasi nyata dari konglomerasi media adalah memperbesar gap antara si kaya dengan si miskin. Seperti diketahui konglomerat media di Indonesia, mulai dari Chairul Tanjung, Hary Tanoesudibyo, Aburizal Bakrie, Eddy Suriatmaja, Surya Paloh, Dahlan Iskan, dan Jakob Oetama, yang mana mereka adalah penguasa media, baik media elektronik, cetak, digital maupun insfrastuktur komunikasi, dan bisnis lain yang terafiliasi dengan media. Selain itu, televisi swasta dan kapitalisme global juga tidak dapat dipisahkan. 

Di mana kehadiran televisi swasta sangat melayani kebutuhan kapitalisme global yang hendak menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk impor. Televisi memberikan keuntungan besar melalui total belanja iklan yang menguasai pasar. Begitu pula dengan media lain, meskipun keuntungannya tidak sebesar televisi namun dengan konglomerasi ini tentu saja pusaran ekonomi berada dipihak mereka lebih besar. 

Dari hal-hal tersebut terlihat bahwa media global belum mendominasi pasar di Indonesia, meskipun banyak yang sudah masuk. Media global memang ada, akan tetapi belum mampu memberikan pengaruh besar dipasar Indonesia. Dengan konglomerasi yang diikuti latar belakang kepentingan tertentu masih sulit untuk menjadikan media nasional menjadi media global. 

Seperti dikatakan Ross Tapsell dalam bukunya Media Power In Indonesia: Oligarch, Citizens, and the Digital: "perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. sebaliknya, konglomerat media nasional yang mempunyai kuasa dan pengaruh".

DAFTAR PUSTAKA

Khisan Thissu,Daya.2000.International Communication Continuity and Change.New York Oxford University Press In.

https://amp.tirto.id/8-konglomerat-media-di-indonesia-via-jalur-media-tv-amp-cetak-cEv7  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun