Mohon tunggu...
Nonk Mardjono
Nonk Mardjono Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Tertarik masalah pendidikan, kesehatan, keluarga, wisata, kuliner, kebudayaan dan lain-lain. Mencoba menulis cerita fiksi, mudah-mudahan segera terwujud. Aamiin...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hikmah dari Tukang Bubur

3 November 2024   13:43 Diperbarui: 3 November 2024   14:09 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Teeet... Teeet... Buryaaam...". Suara khas teriakan tukang bubur langganan dan klakson motornya terdengar dari ujung jalan.

"Mah, aku mau bubur", suamiku request pengen bubur ayam. Padahal tadi pagi sudah sarapan jagung rebus, dilanjut sarapan ke-2 ketika selesai berjemur di teras. Minta nasi putih telor dadar barendo -- alias telor dadar keriting seperti buatan simbah kalau mudik ke Yogya. Sekarang baru pukul 09.40 WIB, tapi udah minta bubur ayam untuk menu brunch-nya.

 

Aku turutin aja semua permintaan suamiku, tapi porsinya kukurangi -- biar nggak terlalu kekenyangan. Sudah seminggu ini suamiku susah makan, musuhan banget sama yang namanya nasi. Maunya makan cemilan atau apapun karbohidrat yang tidak berupa nasi, paling seneng sama jagung dan singkong rebus. Kembali ke selera asal.  

Aku bergegas ke luar rumah untuk menyetop pak Abdul -- tukang bubur, dengan membawa mangkok kosong. Bubur ini sudah jadi langganan kami sejak tahun 2003, berarti sudah lebih dari 20 tahun kami mengenal pak Abdul.

Bubur ayam yang dijual pak Abdul adalah bubur ayam khas dari Tambun -- Bekasi. Bubur ayamnya gurih, nggak pake kuah kuning seperti bubur ayam dari Cianjur. Dilengkapi kecap asin, ayam suwir, tongcai, irisan cakwe, irisan daun seledri dan bawang goreng. Tak lupa sambel kacang yang pedes dan kerupuk kuning keci-kecil sebagai sentuhan akhir bubur ayam Tambun. Harganya murah meriah, cuma Rp10rb/porsi sudah membuat perutku kenyang banget.

"Pak, beli 1 porsi komplit nggak pedes. Tolong kecap asinnya sedikit aja". Sambil melayani pesananku, pak Abdul aku ajak ngobrol.

"Kok udah lama nggak kelihatan? Klo nggak salah udah hampir sebulan nggak lewat sini."

"Iyaa nich bu, saya dapat musibah. Seperti ada kabut di mata saya, ngeliatnya jadi nggak jelas. Sebulan lebih berobat jalan, alhamdulillah sekarang udah bisa ke sini lagi. Nggak betah kalo cuma di rumah terus, bu", pak Abdul bercerita dengan gayanya yang khas. 

"Hati-hati pak, khan jauh banget jalan dari Tambun. Apalagi sebelum subuh udah berangkat, masih gelap dan dingin di jalan."

Pak Abdul pernah cerita, kalau setiap hari sejak pukul 04.00 WIB sudah meninggalkan rumahnya di kampung bubur Tambun -- Bekasi. Sholat subuh di masjid langganannya, kemudian langsung bergerak menuju barat ke arah Jakarta Selatan. Pak Abdul biasa mangkal sampai pukul 08.30 WIB di Jln Paso -- Jakarta Selatan, yang jaraknya hampir 50 km dari Tambun. 

Baru jalan lagi dan sampe di komplek rumahku kira-kira pukul 09.30 WIB. Dengan membawa 2 panci besar berkapasitas +/-100 porsi bubur ayam, kadang kala aku nggak kebagian bubur pak Abdul. Alhamdulillah bubur ayam Tambun sudah habis - laris manis.

"Saya udah kangen jualan, bu. Lagian kasian banyak langganan nungguin saya ngider. Insyaa Allah bulan Desember mau operasi mata, alhamdulillah gratis pake BPJS".

"Pak Abdul luar biasa, euuy. Sakit aja masih kasihan mikirin langganan yang kangen bubur. Berkah yaaa, pak. Insyaa Allah operasi lancar, sehat lagi, semua penyakitnya hilang".

"Aamiin... Makasih bu. Mudah-mudahan bapak juga cepet sembuh", doa pak Abdul sambil menganggukkan kepala kepada suamiku yang duduk di kursi roda.

"Aaamiin... Aamiin... Yaa Rabbal Aalamiin... Makasih banyak, pak..."

Pak Abdul sudah jualan bubur selama 35 tahun, sekarang umurnya menginjak 54 tahun. Banyak hikmah yang kudapat dari sering ngobrol dengan pak Abdul -- tukang bubur. Tentang dedikasinya kepada pekerjaan, tentang kecintaannya kepada customer dan tentang optimismenya menghadapi semua suratan Allah.

Teringat pesan ustadzah dari kajian minggu lalu, 

"Hidup ini bukan sekadar bertahan, tetapi bagaimana kita menemukan makna dalam setiap langkah yang kita ambil".

Jakarta, 3 November 2024

-nonk-

#KMJCA

#challenge30harimenulisdiary

#D3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun