Mohon tunggu...
Noni Hendrita
Noni Hendrita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Stikes Mitra Keluarga

Hallo saya Noni Hendrita Nim : 201905063

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) bagi Kesehatan Mental

21 Oktober 2022   10:31 Diperbarui: 21 Oktober 2022   10:36 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perilaku kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang yang membahayakan diri sendiri dan orang lain baik secara fisik maupun  mental. Perilaku kekerasan yang terjadi pada seseorang dapat berupa amuk dan gaduh yang tidak terkontrol.(Mardiyati, 2015)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga dalam rumah tangga, misalnya, kekerasan yang dilakukan seorang suami kepada istri yang dapat menyakiti secara fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, kekerasan ini juga dapat berupa ancaman perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu kekerasan yang dilakukan oleh suami juga dapat berupa penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, tidak adanya kesetiaan, dan menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan diri.(Mardiyati, 2015)

Kasus KDRT merupakan kasus kekerasan yang paling banyak terjadi dengan menyumbang 6480 kasus atau 79%. KDRT dikategorikan kedalam ranah personal yang sejenis dengan hubungan pribadi atau pacaran. Dari jumlah 6480 kasus yang terkait dengan KDRT dan ranah personal, kekerasa terhadap istri mendominasinya yaitu dengan 3.221 atau 49,7 % kasus. Sedangkan kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran sebanyak 1.309 atau 20 % kasus dan kekeraan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus atau 14,7%.(Maisah dan Yenti, 2016)

Kekerasan fisik dengan 31% atau 2.025 kasus menjadi bentuk kekerasan terhadap perempuan terbanyak, disusul oleh kekerasan seksual 30% atau 1.938 kasus, kekerasan psikis menempati urutan ketiga dengan 28% atau 1.792 kasus dan terakhir adalah kekerasan ekonomi yang mencapai 10% atau sama dengan 680 kasus. Menurut data CATAHU (Catatan Tahunan) tahun sebelumnya pada 2020 kekerasan sesksual konsisten menempati urutan kedua kekerasan terhadap perempuan. (Erhamwilda, 2018)

Faktor penyebab terjadi kekerasan dalam rumah tangga (Ramadani dan Yuliani, 2015), yaitu faktor individu (korban penelantaran anak, penyimpangan psikologis, penyalahgunaan alkohol, dan riwayat kekerasan di masa lalu), faktor keluarga (pola asuh yang buruk, konflik dalam pernikahan, kekerasan oleh pasangan, rendahnya status sosial ekonomi, keterlibatan orang lain dalam masalah kekerasan), faktor komunitas (kemiskinan, kriminalitas tinggi, mobilitas penduduk tinggi, banyak pengangguran, perdagangan obat terlarang, lemahnya kebijakan institusi, kurangnya sarana pelayanan korban, faktor situasional), dan faktor lingkungan sosial (perubahan lingkungan sosial yang cepat, kesenjangan ekonomi, kesenjangan gender, kemiskinan, lemahnya jejaring ekonomi, lemahnya penegakkan hukum, budaya yang mendukung kekerasan, tingginya penggunaan senjata api ilegal, masa konflik atau pasca konflik).(Maisah dan Yenti, 2016)

Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, antara lain adanya budaya patriarki di masyarakat, rendahnya pendidikan dan pengetahuan, lemahnya pemahaman dan penanganan dari aspek penegak hukum. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia, serta merupakan bentuk deskriminasi yang harus dihapuskan. (Judiari, 2013)

Kekerasan dalam rumah tangga dapat menyebabkan beberapa dampak terhadap psikologis korban yang mendapat perilaku kekerasan yaitu: merasa cemas, ketakutan, depresi, selalu merasa diawasi, selalu terbayang bila melihat kasus yang sama, murung dan sering melamun, murah menangis, sulit tidur mimpi buruk, hilangnya rasa percaya diri, untuk bertindak merasa tidak berdaya, hilangnya minat untuk merawat diri, tidak teratur pola hidup yang dijalani, menurun konsentrasi seseorang, sering melakukan perbuatan ceroboh, rendah diri dan tidak yakin dengan kemampuan yang ada, pendiam, enggan untuk ngobrol, sering mengurung diri di kamar, hilangnya keberanian dalam berpendapat dan bertindak, selalu merasa kebinggungan dan mudah lupa, sering menyakiti diri sendiri dan melakukan percobaan bunuh diri, berperilakuk berlebihan dan tidak lazim cenderung sulit mengendalikan diri, agresif, menjadi karakter yang tempramen dan emosi kasar dalam berbicara maupun bertindak. (Mardiyati, 2015)

Dampak psikologis korban kekerasan tersebut di atas, tentu diamati dan di pelajari oleh para ahli psikologi yang meneliti tentang gejala-gejala kejiwaan yang timbul pada korban setelah terjadinya kekerasan. Sebagaimana dikemukakan oleh Jalaluddin, bahwa psikologi secara umum memang mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa normal.(Utami et al., 2021)

Undang -- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang - Undang ini memberi ruang kepada negara untuk melakukan intervensi terhadap kejahatan yang terjadi di dalam rumah sehingga negara dapat melakukan perlindungan lebih optimal terhadap warga negara yang membutuhkan perlindungan khusus perempuan dan anak dari tindak kekerasan. Meskipun telah diundangkan dan masuk dalam lembar negara namun tidak semua warga negara memahami isi dari undang -undang tersebut oleh karenanya sangat perlu dilakukan penyuluhan hukum terkait hal ini kepada seluruh lapisan masyarakat mengingat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering kita temui dalam lingkungan kita bahkan mungkin dapat kita alami. Dalam pasal 12 huruf b Undang -- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menyelenggarakan komunikasi , informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.(Judiari, 2013)

Intervensi yang dapat dilakukan bagi korban tindak kekerasan

Asesmen klinis

Asesmen klinis sering diartikan sebagai psiko diagnostik, yaitu upaya untuk memahami sumber penyakit melalui gejala-gejala sakit atau maladaptif dan kemudian memasukkannya ke dalam kelompok jenis gangguan yang baku atau telah dibakukan. Asessment yang dilakukan psikolog klinis memusatkan perhatian pada: (1) disfungsi (psikologis) individual untuk mengetahui abnormalitas atau kekurangan dalam aspek pikiran, emosi, maupun tindakan. (2) menemukan kekuatan klien, dalam hal kemampuan, keterampilan atau sensitivitas.

Mengajar

Aktivitas mengajar juga penting dilakukan psikolog klinis dan konselor untuk pengembangan kepribadian klien dalam lingkungan keluarga khususnya, dan untuk di lingkungan masyarakat. Psikolog ataupun konselor dapat mengajarkan berbagai teknik untuk mengurangi rasa tertekan klien, dan seterusnya mengajarkan kepada istri dan anak-anak untuk mengembangkan perilaku yang tidak mendominasi atau menekan klien. Pelatihan ini tidak dapat dilakukan sekaligus, melainkan harus secara bertahap, dan sambil memantau kemajuan yang dicapai klien setelah mendapatkan perlakuan yang berbeda dari keluarga, atau setelah klien mendapatkan latihan tertentu dari pskolog, maupun konselor. Tindakan mengajar ini pada dasarnya ada yang harus dilakukan oleh psikolog dan ada yang cukup dilakukan oleh konselor.

Konseling individual, konseling kelompok dan Psikoterapi

Konseling dapat dilakukan oleh konselor jika penyimpangan perilaku belum terlalu berat. Konselor dapat melakukan konseling pada istri yang juga stres menghadapi suaminya, namun ia masih berperilaku normal. Konseling juga diperlukan istri untuk memahami kondisi suami sekaligus membantunya menyadari kekeliruannya dalam memperlakukan suami dan dia dapat disadarkan akan perannya. Pada kasus depresi berat di mana klien cenderung untuk menyakiti dan menyalahkan dirinya, bahkan dorongan mati klien sudah lebih besar dari dorongan hidupnya sangat penting ditangani oleh psikolog klinis. Psikolog klinis akan melakukan kegiatan konseling ataupun psikoterapi. Psikoterapi merupakan kegiatan bantuan yang diberikan oleh psikolog klinis kepada klien atau pasien untuk membantu klien mengatasi masalah, defisiensi, ataupun gangguan yang dialaminya. Dalam proses psikoterapi ataupun konseling aktivitas yang dilakukan psikolog meliputi: dapat membangun hubungan murni atau genuine yang bersifat memelihara hubungan antara terapis dan pasien atau klien. Yang kedua dapat membantu klien atau pasien melakukan eksplorasi diri dengan cara-cara psikologis. Yang ketiga sebagai terapis (psikolog) dan kliennya bekerja sama memecahkan masalah psikologis klien dan mengembangkan fungsi pribadi (personal function) klien. Terapis membangun sikap dan mengajarkan keterampilan kepada klien untuk menanggulangi stress dan mengendalikan kehidupannya secara mandiri dan efektif.(Utami et al., 2021)

Kekerasan didalam rumah tangga terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Adanya paham patriarki membuat posisi perempuan masih saja dibawah laki-laki, membuat terjadinya perilaku semena-mena terhadap perempuan, lelaki sering kali merasa menjadi superior sebagai kepala keluarga yang memenggang kendali khusus dalam keluarga. Salah satu bentuk kekerasan rumah tangga yang bisa terjadi adalah kekerasan yang dilakukan istri , yang bersifat psikologis berupa dominasi terhadap suami, dan tidak memnuhi kebutuhan utama/biologis suami sebagaimana mestinya. Psikolog memainkan peran penting dalam konseling keluarga, jika klien masih dalam keadaan depresi.

Daftar Pustaka

Erhamwilda. (2018). Model Treatment Dalam Membantu Korban Kekerasan Rumah Tangga. Jurnal Gender Dan Anak, 1(1), 42--52.

Judiari, J. (2013). Intervensi Psikologis Pada Peneriksaan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Dalam PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Di POLRESTA Malang. Psikoislamika: Jurnal Psikologi Dan Psikologi Islam, 10(1), 50--55. https://doi.org/10.18860/psi.v10i1.6362

Maisah dan Yenti, S. (2016). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Jambi. Jurnal Esensia, 17(2), 265--277.

Mardiyati, I. (2015). Dampak Trauma Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan Psikis Anak. Raheema, 2(1), 29--38. https://doi.org/10.24260/raheema.v2i1.166

Utami, C. P., Maharani, P. I., & Okta, R. (2021). Increased Violence Against Women in the Household Scope during the Pandemic. 3(2), 101--112.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun