Suhu politik tanah air akhir-akhir ini sangat memanas dengan semakin dekatnya Pilpres 2014 dan semakin ketatnya persaingan antara 2 capres. Kubu Jokowi yang pada awalnya diperkirakan dengan mudah memenangkan laga pilpres, namun seiring dengan berjalannya waktu tingkat elektabilitasnya bisa ditempel oleh Prabowo, bahkan beberapa survey mengklaim kalau elektabilitas Prabowo sudah melewati Jokowi.
Pada awalnya, Sosok jokowi selalu diasosiasikan dengan positivisme. Jokowi digambarkan sebagai sosok yang sangat berprestasi, jujur, rendah hati, sederhana, merakyat, demokratis dan anti korupsi. Sementara sosok Prabowo sebagai bekas sosok militer diasosiasikan dengan negativisme, seperti sifat arogan, kejam, tidak merakyat, tidak demokratis dan sebagainya apalagi image negative Prabowo sebagai jenderal yang diberhentikan dari militer akibat tersangkut penculikan (penangkapan) beberapa aktivis 1998 masih terus melekat di memori kita.
Namun seiring dengan perjalannya waktu, Prabowo sedikit demi sedikit mampu memperbaiki personal image-nya. Melalui kampanye yang gencar dan tindakan yang positif Prabowo mampu meyakinkan calon pemilih bahwa apa yang sebelumnya dipersepsikan masyarakan tidaklah semuanya benar. Sementara hal sebaliknya terjadi pada Jokowi. Dengan semakin terbukanya informasi dibarengi dengan gencarnya kampanye negative serta pengamatan tingkah laku dan ucapan Jokowi, masyarakat mulai berkesimpulan kalau Jokowi sebenarnya tidak semengkilap sebagaimana sering digambarkan sebelumnya.
Riset yang dilakukan oleh LPSI (Lembaga Penelitian Suara Indonesia) dengan mengambil sampel individu-individu yang telah berhubungan secara langsung dengan kedua capres, tampaknya dapat menggambarkan kondisi tersebut. Hasil risetnya adalah Prabowo secara kualitatif memiliki nilai demokratis sebesar 65,7 persen sedangkan Jokowi 27,8 persen (Detik, 02/07/2014).
Untuk sebagian orang, hasil tersebut mungkin agak mengagetkan dan mungkin tidak percaya. Masa iya Prabowo lebih demokratis dari Jokowi. Tapi menurut saya, bila mau berpikir jernih dan mengobservasi dengan seksama, hasilnya masuk akal kok.
Perbuatan dan ucapan Prabowo selama ini saya amati menunjukkan kalau beliau memang seorang yang demokratis. Selama 10 tahun terakhir, keinginan besar Prabowo untuk memimpin negeri ini secara konsisten dilakukan melalui cara-cara demokratis dan konstitusional. Dimulai dari kegagalannya pada konvensi Partai Golkar Tahun 2004, Prabowo kemudian mendirikan partai Gerindera yang mengantarkannya menjadi cawapres di tahun 2009. Meskipun gagal di pilpres 2009, Prabowo bisa menerima kegagalan tersebut dengan legowo, bahkan dia merupakan satu-satunya capres/cawapres mengucapkan selamat secara tertulis kepada SBY sebagai presiden terpilih. Setelah kekalahan itu, beliau tetap berhubungan baik dg SBY, tidak ada dendam. Dalam proses perhelatan pilpres 2014, Prabowo semakin menunjukkan kedemokratisannya. Seperti yang ditegaskannya pada closing statement saat debat capres baru-baru ini bahwa beliau akan siap menerima kekalahan dan legowo kalau ternyata rakyat lebih memilih Jokowi. Keren kan ?
Sementara itu, Jokowi belum pernah sekalipun (paling tidak sampai artikel ini ditulis) mengatakan akan menerima kekalahan sekiranya rakyat lebih memilih Prabowo. Jokowi malahan cenderung menunjukkan sikap tidak siap kalah, dengan mencurigai dan berprasangka buruk akan adanya kecurangan dalam pilpres 2014 nanti. Hal ini terlihat dari pendirian Satgas Anti Pilpres Curang seantero tanah air. Sebuah nama yang terkesan intimidatif bagi para voters, sekaligus menunjukkan prasangka buruk dan ketidakpercayaan terhadap lembaga pengawas resmi.
Pernyataan Jokowi tentang kasus anarkis penyerbuan salah satu stasiun TV oleh pendukungnya sungguh semakin menunjukkan rendahnya tingkat kedemokratisan Jokowi: "Jangan salahkan relawan. Salahin yang membuat isu, yang membuat fitnah,yang bikin panas" (kompas, 4 Juli 2014).
Saya juga sependapat dengan LPSI bahwa program "trade mark" Jokowi yaitu blusukan merupakan kegiatan yang kurang demokratis karena one man show. Kegiatan blusukan atau sidak sebenarnya diperlukan tapi dikarenakan dilakukan secara berlebihan dan one man show justru menunjukkan bahwa Jokowi tidak mempercayai bawahan dan team work. Di samping itu, gaya blusukan berlebihan ala Jokowi yang sasarannya hanya tempat-tempat yang jadi perhatian public (seperti gorong-gorong dan pasar) apalagi selalu diikuti oleh berbagai media, menurut saya hanya menguntungkan pencitraan Jokowi saja . Blusukan seperti itu memang yang paling mudah dilakukan karena tidak memerlukan perencanaan yg matang dan pemikiran yang dalam. Just go and visit, Jokowipun dielu-elukan dan sudah dianggap telah bekerja keras.
Jokowi dalam acara debat baik debat Pilgub 2012 maupun Pilpres 2014 selalu menggembor-gemborkan keunggulan managemen control –nya yang akan mengawal pelaksanaan semua program dan proyek setiap hari, setiap jam bahkan setiap menit. Lalu hasilnya? Ternyata malah kegagalan alias bocorr! Terjadinya kasus mega korupsi Trans Jakarta dan turunnya peringkat tata kelola keuangan oleh BPK adalah bukti kalau managemen control yang digadang-gadang Jokowi gagal.
Kalau dibandingkan secara relative terhadap APBD/APBN kasus korupsi Trans Jakarta besarnya bahkan melebihi kasus Bank Century. Kasus Trans Jakarta melibatkan uang sebesar 1,5 triliun rupiah atau 3% dari APBD DKI 2013, sedangkan kasus Century proporsinya hanya sekitar 0,6 % dari APBN RI saat itu (2008).
Mengapa kegagalan itu bisa terjadi? Ya ituu lho..Jokowi terlalu sibuk pencitraan dengan blusukan ke tempat-tempat yang tidak substansial seperti gorong-gorong dan pasar, sehingga melupakan the real blusukan, yaitu proses pengawalan dan pengawasan program dan proyek Pemda DKI dari tingkat managemen (termasuk management keuangan) sampai tingkat operasionalnya. Lalu mengapa the real blusukan tersebut tidak dilaksanakan Jokowi??? Jawabannya mudah, karena real blusukan jauh lebih rumit sehingga pelaksanaannya membutuhkan skill yang memadai dan pemikiran yang mendalam tapi sulit untuk diliput wartawan.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H