Sepulang sekolah, anakku berlari-lari kecil masuk ke dalam rumah, memanggil-manggil namaku. Ia mengacungkan sebuah pulpen untuk ditunjukkan padaku.
“Punya siapa itu?” tanyaku
“Nggak tahu. Nemu di jalan.”
“Kenapa kamu ambil?”
“Ya…, nggak papa kan?”
“Ayo, kembalikan sana. Taruh lagi di tempat kamu menemukannya.”
“Kenapa?”
“Bukan punyamu. Nanti orang yang punya nyari-nyari.”
“Kan cuma pulpen murah begini. Sudah lecek lagi.”
“Hush! Murah atau mahal, besar atau kecil, banyak atau sedikit, bagus atau jelek…, jika bukan hakmu, jangan pernah mengambilnya. Mungkin barang itu tampak tak berharga buatmu, tapi bisa sangat berharga bagi yang telah kehilangan barang itu”
“Lha kalau pulpen ini ternyata memang dibuang sama yang punya?”
“Memangnya kamu tahu pasti kalau pulpen itu dibuang?”
“Enggak.”
“Kalau begitu kembalikan. Entah nanti orang yang punya pulpen itu sendiri atau malah orang lain yang menemukannya, sudah bukan salahmu lagi.”
Anakku mengangguk-angguk. Aku melanjutkan.
“Sekarang bayangkan, kalau mainanmu jatuh di jalan, dan kamu baru mengetahuinya kemudian, terus kamu kembali menyusuri jalan yang kamu lalui tadi untuk mencari mainanmu itu, dan ternyata tak ketemu karena sudah diambil orang lain..., kamu sedih nggak?”
“Iya.”
“Apa yang kamu harap saat itu?”
“Orang yang ngambil mau naruh lagi di tempat dia nemukan mainanku, jadi aku bisa bawa pulang lagi mainanku .”
“Nah, kan?
Anakku mengangguk mantap, lalu bergegas mengembalikan pulpen itu ke tempat ia menemukannya.
***
Di lain hari, anakku menemukan uang receh Rp. 100,- di halaman depan.
“Taruh lagi di halaman depan, Nak. Bukan hakmu. Siapa tahu nanti dicari orang yang kehilangan,” ucapku.
Anakku bergegas ke halaman depan, meletakkan kembali receh yang ditemukannya.
Alhamdulillah, anakku paham....
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H