”Ustaz sekarang trennya nggak hanya Timur Tengah. Saya perhatikan ustaz pun harus 'ngondek'. Asal kata dari kondektur. Kondektur kan melambai-lambai. Jamaah oh Jamaah... piss Pak,” ujar Soleh Solehun sambil melambaikan tangan kanan menirukan gaya seorang ustaz di televisi. Penonton di studio pun tertawa.
Itu salah satu aksi Soleh Solehun dengan set panggung sebuah kafe plus cangkir kopi ”berbalut” iklan di atas meja, dalam tayangan perdana program hiburan Stand-Up Comedy Show, Metro Tv, Kamis (15/9), pukul 22.30 WIB. Acara berdurasi 30 menit ini menghadirkan tiga comic (orang yang membawakan Stan-up Comedy): Soleh Solehun, Steny Agustaf, dan Asmara Leticia alias Miund.
Melawak dengan cara bicara sendiri di depan orang banyak, dengan struktur rapi, lebih fast-paced, dan lebih singkat, akhir-akhir ini memang ramai dibicarakan. Tidak hanya di forum maya tapi juga dalam kehidupan nyata. Tepatnya, setelah kemunculan video sejumlah stand-up komedian lokal yang mengaku belum profesional di acara live show #StandUpNite di Comedy Cafe Kemang, diunggah ke situs Youtube oleh StandUpComedyIndo.
Acara yang sukses meraup pengunjung hingga di luar kafe itu diprakarsai Ernest Prakasa, Adriandhy, Isman HS, Panji Pragiwaksono, dan Raditya Dika. Mereka mendapat sambutan luar biasa hingga kemudian dua stasiun televisi melirik konsep acara serupa untuk program hiburan.
Memang dalam tayangan perdana di Metro Tv, aksi tiga comic tersebut masih terlihat canggung. Dengan lawakan standar dan ”kurang berisi”, jauh dari filosofi genre komedi yang selama ini mematok pakem komedi one-man show dengan penceritaan ulang dari fenomena atau kejadian serta isu sosial dalam masyarakat dengan bumbu komedi. Istilahnya, komedi cerdas yang mengolah tawa untuk belajar menjadi ”dewasa”.
Walhasil, wajar saja jika komedi yang isinya penuh kritikan ini hanya bisa dinikmati orang berpikiran terbuka dan luas, tidak mudah tersinggung dan menikmati setiap lelucon tanpa emosi.
”Tetap ada batasan dan etika meski comic diberi kebebasan mengolah materi yang sudah disiapkan. Ada sensor karena ditayangkan di televisi,” jelas Agus Mulyadi, ekskutif produser Stand-Up Comedy Show Metro Tv.
Ciri Khas
Tiap comic biasanya punya ciri khas dalam menebar pesona lawakan kepada penonton yang tersihir lewat isi lawakan. Masing-masing bisa saja bercerita tentang observasi atau pengalaman pribadi sang komedian.
Itu agak berbeda dengan di Amerika Serikat. Di negara itu, genre komedi seperti itu begitu populer. Isi lelucon Stand-up Comedy mereka sangat ”bebas”. Atas nama menghargai kejujuran dan opini, semua bebas dan berhak bicara tentang apa saja. Kritikan yang dibalut lelucon lebih blak-blakan, bahkan berani menyerempet hal-hal yang berbau rasis, mengkritik pemerintah seperti presiden dan menteri-menterinya, film, atau penyanyi.
Seperti Richard Pryor yang sering mengumpat dan Dave Chappelle berbicara rasis, atau Mitch Fatel lebih ke arah seks. Namun, Jerry Seinfeld nampak lebih santun dan ”bersih” dari sumpah serapah. Margareth Cho bicara tentang politik dan perempuan, Ellen DeGeneres tentang realitas modern. Beda lagi dengan Robin Williams yang lebih suka melakukan improvisasi tanpa menghapal materi.
Ya, tiap negara jelas berbeda cita rasa karena kebudayaan dan kebiasaan yang beda pula. Dan genre komedi itu belum tentu disukai setiap negara. Buktinya, meski kemunculannya kali pertamamya di Inggris pada abad ke-18, Stand-up Comedy justru lebih populer di Amerika Serikat. Daratan Eropa, khususnya Inggris lebih menyukai sitkom alias komedi situasi, AAtau Jerman yang memilih jenis silent comedy.
Di Indonesia, Stand-up Comedy tenggelam karena dianggap sebagai lawakan yang memaparkan analisis situasi rumit. Lawakan slapstick dan physical comedy nyatanya lebih mudah membuat penonton tertawa. Misalnya, Opera Van Java dengan ”dalang" Eko Patrio.
Terlepas dari semua itu, gebrakan dari komedian muda dengan menawarkan Stand-up Comedy patut diacungi jempol. Setidaknya, kehadirannya menjadi alternatif tontonan di antara komedi yang lain. Apalagi tujuannya tidak hanya mengajak tawa tapi juga mengolah fenomena agar masyarakat belajar kritis.
Itu misalnya bisa kita lihat dalam penampilan live Raditya Dika pada #StandUpNite di Comedy Cafe Kemang. Dengan bersemangat bak juru kampanye sebuah partai, dia berceloteh gerah melihat fenomena Boys Band yang digandrungi ABG ini.
”Gue paling nggak ngerti sama Smash. Kali pertama lihat Smash, ada tujuh orang laki-laki. Semilaki-laki. Bernyanyi 'kenapa hatiku cenat-cenut'... Jangan-jangan hepatitis. Dan yang paling gue sebelin ya baju mereka itu ada yang terbuka di dadanya. Lu mau nyanyi atau mau nyusuin?”
Nyinyir sekali, tapi penonton terpingkal. Lawakannya berlanjut. ”Di antara band-band di Indonesia gue bersyukur Andika ditangkap. Karena pas gue lihat sidangnya, dia akhirnya potong rambut. Selama ini kalau lihat Andhika rambutnya ke mana-mana kayak helm SNI. Kalau ngajak ngobrol ngetok dulu, Andhika ada?”
Kenyinyiran itu agaknya begitu jauh dari sebuah lawakan cerdas. Tapi, semoga saja para comic bisa mengendalikan diri sehingga tidak berakhir dengan menggalaukan masyarakat atau grup band yang dinyinyirinya. Kalau tidak, wah bukannya Stand-up Comedy Show malah Stand-Up Galau Show. Jadi, para comic itu tak bercanda secara asal atau asal bercanda saja. Candaan cerdas pasti lebih jos. (non)
SM/250911
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H