Mohon tunggu...
Willy Demetrius
Willy Demetrius Mohon Tunggu... -

Menulis pengalaman sebagai sebuah “berita” tentang cara pandang, pola pikir, cara menilai, dan cara memberi “bahasa” sederhana pada hidup. Menulis itu indah! Keindahannya bukan terletak pada kata dan bahasa yang menghiasi isi tulisan, melainkan pada bagaimana cara kita membuat setiap pengalaman kita berbicara kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Globalisasi: Ruang Tanpa Batas

23 Mei 2016   23:05 Diperbarui: 23 Mei 2016   23:18 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

    Dunia masa kini memproduksi berjuta panorama kepanikan. Panik adalah kondisi sehari-hari dalam wacana kapitalisme, posmodenisme dan cyerspace yang menghasilkan “mentalitas ekstasi” yaitu mentalitas yang merayakan kegairahan dan puncak kecepatan. Salah satu contoh adalah kepanikan informasi, yang datang seperti “bom”, panik konsumsi, panik tontonan, panik kapital, bahkan panik seksual. Dunia memenjarakan manusia dalam sebuah kondisi kegilaan. Kepanikan yang menjurus pada berbagai tipe kegilaan antara lain: kegilaan ekonomi, kegilaan politik, kegilaan media, kegilaan komoditi, kegilaan cyberspace, kegilaan fashion, kegilaan televisi, kegilaan video game, kegilaan play station, kegilaan internet. 

Kegilaan internet misalnya memerangkap manusia untuk mengingkari dunia nyata dengan merayakan dunia halusinasi dengan memuja realitas virtual yang dianggap mampu mengambil alih realitas. Kondisi ini menggiring manusia ke dalam kondisi ketiadaan ego, ketiadaan identitas, ketiadaan teritorial, dan ketiadaan makna. Kondisi kegilaan ini semakin diperparah dengan arus informasi media yang tidak meninggalkan jejak makna apapun bagi peningkatan makna hidup manusia. Manusia hanyut ke dalam kegilaan tanda, kegilaan tren, kegilaan gaya hidup, kegilaan prestise, tanpa menginternalisasi nilai-nilai yang terkadung di dalam tanda-tanda tersebut. Pada titik inilah daya ktritis dan keputusan setiap individu memiliki sebua implikasi global.
         Kalau kita melihat keadaan kita saat ini, maka globalisasi itu sungguh nyata. Setiap pagi kita bangun, mandi dengan sabun "Lux" dan menggosok gigi dengan "Pepsodent", yang semuanya adalah produk dari MNC yang bernama Unilever. Lalu kita minum kopi "Nescafe" yang adalah produk dari MNC-Nestle. Kita naik mobil yang tidak lain adalah produk dari MNC Jepang, "Toyota", bekerja dengan menggunakan komputer "Acer" yang merupakan hasil produksi MNC Taiwan. Mungkin anda memakai pakaian yang bermerk "Nsxt" atau "Gap", dari MNC Inggris, sepatu bermerk "Nike" (Amerika), atau "Adidas" (MNC Jerman). 

Mungkin anda yang suka belanja di pasar serba ada "Superstore" yang merupakan MNC dari Amerika. Pada siang hari, anda haus, minum "Coca Cola" yang merupakan MNC Amerika Serikat. Pada waktu malam hari, sebagai penggila sepak bola, anda menonton pertandingan "Liga Premier" yang ditayangkan MNC televisi ESPN (dari Amerika). Jangan lupa telepon nirkabel, yang menjadi alat komunikasi mutlak sehari-hari. Indonesia belum mampu memproduksi sendiri, sehingga mengimpor handphone dari Finlandia (Nokia) atau dari Kanada (Blackberry). Apa yang terjadi seandainya Indonesia menutup diri dan tidak bisa ikut dalam arus glibalisasi?

 Atau mencontoh suksesnya China? Banyak pengamat dan analis menunjuk bahwa sukses Cina adalah karena Cina ikut dalam arus globalisasi dan perdagangan bebas. Setelah Cina, negara yang banyak disebut sebut sebagai bukti keberhasilan globalisasi adalah India, dan kemudian Vietnam. Negara-negara tersebut adalah negara komunis atau negara sosialis, yang sampai tahun 1980-an menutup diri terhadap perdagangan internasional.
             

 Fakta di atas seolah membenarkan bahwa globalisasi membenamkan realitas pada suatu era networking sekejap. Globalisasi yang setara dengan McDonaldisasi, Amerikanisasi, Hollywoodisasi, telah menjadi nasib kita, ketika kita menyebut diri kita sendiri sebagai satu-satunya super power di planet ini. Janji-janji globalisasi mencakup kemudahan dan presisi dalam hidup, angka produksi yang lebih besar dan interaksi manusia yang unlimited yang diperankan oleh bentuk-bentuk komunikasi baru dan cepat. 

Kita semua terhubung menjadi jargon besar globalissi hanya dengan memencet tombol log on ke ruang cyber dan komunikasi satu sama lain menjadi riil dalam ruang dan waktu. Globalisasi menyatukan kultur, memungkinkan kita mengabaikan pembatas-pembatas tubuh, dan membiarkan aliran-aliran konstan mengalir ke dalam ruang privasi dan sakral. Digitalisasi dianggap sebagai saluran komunikasi terluas diharapkan dapat menjadi ruang publik baru yang ideal yaitu public-cyberspace untuk saling berkomunikasi satu sama lain secara bebas.

 Ruang maya berubah menjadi “pasar” baru yang menjual kode biner universal. Memasuki ruang maya sama artinya dengan “memasuki’ dunia, sama artinya dengan melihat keseluruhan dunia. Di dalam ruang maya ini, identitas dan privasi dibongkar kerahasiaannya, mengejar kepentingan pemasaran, mencapai kepentingan perbankan, bahkan mengetahui segala rahasia tanpa bertatap muka, dan tanpa perlu minta izin kepada siapapun.

Referensi:

  1. Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari: Mencari Tuhan-Tuhan Digital (Jakarta: Grasindo, 2004)
  2. Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial (Jakarta: Gramedia, 2000)
  3. I. Wibowo, Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2010)
  4. George Ritzer, The Globalization of Nothing (USA: Pine Forge Press, 2004)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun