Mohon tunggu...
Willy Demetrius
Willy Demetrius Mohon Tunggu... -

Menulis pengalaman sebagai sebuah “berita” tentang cara pandang, pola pikir, cara menilai, dan cara memberi “bahasa” sederhana pada hidup. Menulis itu indah! Keindahannya bukan terletak pada kata dan bahasa yang menghiasi isi tulisan, melainkan pada bagaimana cara kita membuat setiap pengalaman kita berbicara kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang "Orang Indonesia Timur"

20 Juni 2014   19:28 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:59 1809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama “Indonesia” sejak tahun 1918 dipakai untuk menyebut tanah air tercinta ini yang menandai kepribadian kita. Kemudian, tahun 1884, Bastian seorang etnolog Jerman, menyebut Indonesia sebagai Kepulauan Nusantara. Bung Hatta lalu menegaskan bahwa nama Indonesia mempunyai arti dan tujuan politik. Arti politik karena mengandung tuntutan kemerdekaan, Sedangkan, tujuan politik karena simbol dari cita-cita tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya setiap kita berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan yang dimiliki. Lantas, dari mana datangnya istilah Orang Indonesia Timur?

Beberapa hari belakangan ini, isu sterotipe atau label ini santer kembali terdengar bahkan ada beberapa pihak menanggapinya secara emosional. Terlepas dari kampanye Prabowo untuk memenangkan dirinya dalam pemilu 2014, beliau dalam kampanyenya terbukti melakukan diskriminasi dengan menyebut “watak orang Indonesia timur itu cepat naik pitam, suka berantem dan makannya banyak” (Kabar24.com, 17/6/2014). Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa Prabowo mengatakan orang Indonesia Timur kadang suka berkelahi, makanya cocok jadi tentara atau polisi karena memiliki watak dan sikap yang keras (Kompas.com 17/6/2014). Pernyataan Prabowo ini kemudian menyulut reaksi penolakan dari Andreas Pareira (Tim ahli Jokowi-Jk) yang juga berasal dari Indonesia Timur (Maumere). Menurut Andreas, pernyataan Prabowo tersebut dianggap menghina dan meremehkan orang Indonesia Timur. Atribut karakter yang disampaikan identik dengan perilaku masyarakat primitiv. Andreas menekankan bahwa kearifan lokal dan warisan budaya juga berasal dari pusat-pusat kebudayaan di Indonesia Timur, kemerdekaan juga merupakan kontribusi putera-puteri dari Indonesia Timur, dan melahirkan tokoh-tokoh yng punya kontribusi positif dalam mengisi kemerdekaan. Andreas pun meminta Prabowo menarik kata-kata tersebut (Kabar24.com, 17/6/2014).

Tanpa interest untuk mendukung Prabowo dalam Pemilu Capres-Cawapres 2014, atau memihak pada pembelaan Andreas Pareira sebagai tim ahli Jokowi-JK, menurut saya, reaksi Andreas terhadap kata-kata yang dilontarkan oleh Prabowo ada benarnya juga. Tapi sebelum menelaah lebih jauh mungkin ada baiknya kita meluruskan dulu siapakah yang dimaksud dengan orang Indonesia Timur? Dari beberapa literatur budaya, sebenarnya tidak ada istilah orang Indonesia timur, karena pada dasarnya kita secara pribadi memiliki keunikan dan ketaktergantikan itu dikenal melalui identitas diri kita. Manusia akan terus bergulat tentang siapa dirinya, dari mana asal-usulnya, atau saya masuk golongan mana. Pembentukan identitas diri mengikuti garis vertika dan horizontal. Leluhur menurunkan itu melalui banyak unsur antara lain agama, budaya, dan strata sosial. Sedangkan, pembentukan secara horizontal itu bagaimana setiap pribadi menginternalisasi berbagai unsur yang ada di sekitarnya. Pembentukkan identitas vertikal dan horizontal ini mengafirmasi bahwa pada dasarnya tidak ada orang Indonesia Timur, karena tidak ada kultur atau unsur lain yang menunjukkan ciri itu. Sekali lagi saya katakana, tidak ada yang namanya orang Indonesia Timur, yang ada itu orang Papua, Orang Flores, Orang Ambon, Orang Makassar, Orang Maluku. Bahkan fakta eksistensi budaya ini masih bisa dibelah lagi sampai pada realitas kultur yang paling mendasar seperti logat, bahasa daerah, mitos, adat istiadat, dan agama asli yang dianut. Jadi siapa orang Indonesia Timur yang dimaksud Prabowo? Fakta inilah yang menyulut reaksi protes dari orang-orang yang mendiami beberapa pulau yang berada di wilayah Indonesia bagian timur.

Reaksi protes yang terjadi memiliki alasan yang cukup mendasar bahwa pandangan diskriminasi yang membeda-bedaan yang ‘asli’ dan ‘palsu’, keturunan atau pribumi, barat atau timur, hitam atau putih, keriting atau lurus sesungguhnya tidak relevan lagi. Pandangan diskriminasi tesebut hanya akan membawa kita pada kebiasaan (buruk) untuk mengkotak-kotakan penerimaan kita pada kenyataan keragaman berbagaia macam identitas di negara ini. Jika kita meyakini bahwa negara ini adalah negara kesatuan, maka secara otomatis kita harus menerima perbedaan keragamana identitas diri sebagai sesuatu yang alamiah dan mendasar.

Secara pribadi, sebagai seorang yang dilahirkan dengan segala kelekatan budaya Flores-NTT (Maumere) yang cukup kental, ada beberapa hal menarik yang saya kira tidak hanya sekedar dipandang sebagai sebuah pernyataan diskrimantif, tetapi ada pula pernyataan positif Prabowo (saya kira juga diamini oleh banyak orang di luar Pulau Flores yang pernah saya jumpai) bahkan bisa menjadi “kekuatan” atau malah menjadi “ancaman” dalam sebuah relasi sosial. Sangat menarik bahwa Prabowo menyebut “Orang Indonesia Timur cepat marah (naik pitam), tetapi amarahnya cepat mereda. Orang Indonesia Timur dinilainya suka pesta. Selain itu orang Indonesia Timur hatinya lurus, kalau bicara apa adanya sehingga dianggap terlalu keras….Orang Indonesia Timur juga memiliki ketulusan dan kejujuran, …hatinya setia” (Kompas.com 17/6/2014).

Pertama, karakter khas oang Indonesia bagian timur bisa menjadi “ancaman” yaitu sifat/karakternya yang sulit untuk menahan amarah, sulit mengontrol amarah bahkan meledak-ledak dalam melampiaskan kemarahannya. Mengapa saya menyebutnya sebagai ancaman karena kesulitasn dalam mengontrol amarah akan melemahkan posisi sendiri dalam sebuah relasi sosial. Sudah tidak heran sikap amarah yang tidak terkontrol ini merugikan beberapa mahasiswa yang merantau ke Pulau Jawa. Ada kejadian mahasiswa mengancam dosennya, membuat aksi keributan di ruang kuliah, bertengkar dengan tuan kost, atau dengan warga sekitar kost. Amarah yang meledak-ledak bahkan sering dianggap sebagai sebuah bentuk intimidasi sosial. Maka tidaklah heran, kemudian banyak orang mengidentikkan saudara-saudara yang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur dengan golongan preman atau deepcollector yang garang. Hal yang menarik juga adalah “suka pesta.” Kita harus jujur bahwa banyak wilayah di Indonesia bagian timur berani menghabiskan banyak dana untuk perhelatan sebuah pesta. Mulai dari seorang anak manusia lahir sampai pada kematinnya, semuanya berada dalam sebuah lingkaran pesta, pesta dan pesta lagi. Suka pesta inilah yang membuat beberapa pengamat menyimpulkan bahwa, ekonomi di beberapa wilayah Indonesia bagian timur tidak berkembang karena perputaran uang hanya terjadi dalam urusan pesta adat yang mengatasnamakan gengsi. Hari ini saya memberi supaya pesta Anda sukses, dengan harapan saya juga akan diberi saat saya mengadakan pesta. Hitung-hitungan ekonomis bukan lagi dalam hitungan bisnis melainkan balas jasa dan pemborosan materi.

Kedua, karakter khas orang Indonesia bagian timur bisa menjadi “kekuatan” atau nilai jual dalam sebuah relasi sosial bahkan ketika berafiliasi dengan karakter atau budaya lain. Penyataan tentang “amarah yang cepat mereda” mau mengatakan bahwa rasa marah tidak pernah dimasukkan dan disimpan di hati. Setelah marah terluapkan, semuanya akan kembali normal dan bersahabat. Singkatnya orang-orang yang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur tidak pernah menyimpan dendam atau kebencian. Menarik juga dikatakan “hatinya lurus, berbicara apa adanya sehingga dianggap terlalu keras” Inilah fakta bahwa banyak orang di wilayah Indonesia bagian timur memiliki otak dan hati yang cerdas. Menolak keras yang namanya kepuraan-puraan dan kemunafikan, berpikir dan berbicara dengan kritis, mengatakan benar jika benar, salah jika salah. Kelurusan hati dan berbicara adanya pada akhirnya berbanding lurus dengan ketulusan dan kejujuran. Dan satu hal terakhir yang juga tidak kalah penting membuat banyak orang terpesona dengan pribadi-pribadi yang berasal dari wilayah Indonesia bagian timur adalah tentang kesetiaan. Relasi sosial yang dibangun bukan lagi berprinsip do ut des (balas budi) tetapi sebuah relasi persaudaraan yang saling melayani tanpa batas dan tanpa syarat. Ketika sikap kritis, ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan menjadi barang langkah dalam sebuah relasi sosial, masih ada banyak pribadi yang lahir dari agama, kultur dan strata sosial di berbagai wilayah di Indonesia bagian timur memegang teguh, menghidupinya dan mewarisi sebuah kekayaan karakter yang tak lekang oleh waktu.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendukung atau memihak siapapun yang terlibat dalam perhelatan capres-cawapres 2014, tidak pula menjadi klaim untuk mengeneralisasi sesama saudara yang brasal dari wilayah Indoensia bagian timur, melainkan sebuah ajakan untuk bersama-sama menolak keras segalabentuk diskriminasi kultur dan dengan pikiran yang cerdas dan kritis menanggapi setiap persoalan dari sudut pandang yang positif.

Salam Persaudaraan dan Persatuan dari Kota Kembang!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun