Mohon tunggu...
Willy Demetrius
Willy Demetrius Mohon Tunggu... -

Menulis pengalaman sebagai sebuah “berita” tentang cara pandang, pola pikir, cara menilai, dan cara memberi “bahasa” sederhana pada hidup. Menulis itu indah! Keindahannya bukan terletak pada kata dan bahasa yang menghiasi isi tulisan, melainkan pada bagaimana cara kita membuat setiap pengalaman kita berbicara kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Itu "Menakutkan"

14 Oktober 2014   19:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:03 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cermin pendidikan di negara ini sepertinya semakin buram dan terancam hancur. Rasanya tidak terlalu berlebihan juga jika saya menyebutnya demikian. Pasalnya, rentetan persoalan kekerasan di dunia pendidikan yang tak kunjung selesai, mulai dari kasus kekerasan guru terhadap peserta didik, pelecehan seksual yang terjadi di sekolah berstandar internasional, bahkan gonjang ganjing implementasi kurikulum 2013 yang dianggap sebagai “malapetaka” bagi sekolah-sekolah yang berada di luar akses informasi yang mudah, dan beberapa hari ini kita dosodorkan kembali oleh kekerasan yang dilakukan oleh siswa sekolah dasar. Pendidikan dalam bentuk konkretnya adalah sekolah menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan. Sekolah bukan lagi menjadi rumah kedua yang menghadirkan kasih sayang, perhatian, dan cinta, melainkan menjadi tempat dimana hasrat “liar” tersalurkan secara membabi buta dan di luar akal sehat untuk dipahami.

Pertanyaan klasik yang selalu diajukan, mengapa wajah manis sekolah berubah menjadi wajah yang menyeramkan dan menakutkan? Berbagai alasan pun bermunculan mulai dari pendidikan keluarga yang miskin perhatian dan kasih sayang, paparan media yang tak bisa dibendung, sampai pada model kurikulum yang layak dan pantas untuk generasi saat ini, serta rendahnya kontrol sosial menjadi kambing hitam yang selalu disalahkan ketika wajah sekolah berubah menjadi seram dan menakutkan. Lalu apa yang menjadi alasan berubahnya wajah pendidikan kita? Saya kira, banyak orang mulai lupa, bahwa banyak nilai dan kearifan telah mengalami banyak pergeseran akibat cara pandang dan cara bersikap baik sebagai personal mapun dalam relasi dengan orang lain. Saya menyebutnya dengan pergeseran nilai moral personal dan sosial bahkan lebih sering terjun bebas ke dalam jurang demoralisasi total. Pergeseran nilai moral yang telah bergeser salah satunya adalah bagaimana orang memahami tentang makna sebuah kesuksesan. Kesuksesan selalu diukur dengan materi, dengan apa yang dimiiki atau apa yang melekat. Pergeseran makna niai kesuksesan ini kemudian juga ikut mengubah persepsi dan motivasi seseorang untuk menggapainya. Orang kemudian dengan mudah menzolimi, menyakiti, merendahkan, menindas, bahkan tidak segan-segan menghilangkan nyawa orang hanya karena prestise, popularitas atau semata-mata karena makna sebuah kesuksesan.

Wajah seperti apakah yang diharapkan bisa dihadirkan oleh pendidikan (sekolah)? Wajah manis mendidikan kita harusnya konsisten terhadap sistem nilai (values) tentang apa yang dianggap sebagai berharga dan mendasar untuk hidup. Jika situasi kita saat ini ditandai dengan berbagai perilaku brutal bahkan cenderung sadis, lembaga pendidikan (sekolah) harusnya mampu merumuskan kembali apa yang berharga dan layak untuk dipertahankan dan diperjuangkan. Pendidikan bukan hanya berhenti pada soal mentransfer nilai tetapi harus menghadirkan nilai itu sendiri. Artinya, pendidikan sebagai media dan stakeholder yang ada di dalamnya tidak menghabiskan banyak waktu dengan bongkar-pasang paket nilai (kurikulum), melainkan bagaimana menghadirkan nilai-nilai itu agar sungguh-sungguh dialami dan dirasakan secara konkret. Oleh karena itu, nilaiutama yang perlu dialami adalah “empati” yaitu kemampuan menyelami hidup batin orangdan merasa senasib dengannya. Bukan sekedar “peka”, apalagi kepekaan yang pasif.Bila situasi zaman ini selalu dibumbui dengan persaingan atau kompetisi, maka baiknya lembaga pendidikan perlu membangun sebuah habitus sosial yang dibangun dengan sikap kerjasama dan kompetisi yang beretika. Pendidikan bukan pertama-tama soal “apa” yang harus diajarkan, melainkan “siapa” yang harus saya didik.Dengan begitu setiap peserta didik diberi ruang untuk mengalami mengalamiketidak-puasan dan konflik-konflikkognitif. Pengalaman konflik kognitif inilah yang membuat mereka bisa naik ke tingkat pemikiran nilai yang lebih dewasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun