Sejak kecil kita sudah diajarkan untuk menulis. Di sekolah salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang siswa adalah menulis. Menulis merupakan aktivitas vital bagi seorang pelajar karena dengan menulislah bisa direkam jejak keberhasilannya dalam belajar. Bahkan bisa dikatakan proses perkembangan dan keberhasilan seorang manusia tak akan mudah dicapai tanpa kemampuan menulis. Bisakah Anda bayangkan hidup tanpa bisa menulis?
Menulis merupakan cara kita mendokumentasikan pemikiran, ide, gagasan kita. Dengan menulis segala ide, gagasan dan pemikiran kita tidak hanya mengawang-awang di langit-langit pikiran kita lalu hilang disapu waktu, tetapi bisa dokumentasikan menjadi sebuah sejarah pemikiran kita. Sejarah lahir dari masa lalu yang didokumentasikan. Sejarah hidup kita pun bisa lahir, salah satunya dari cara kita mendokumentasikan pemikiran, ide, serta gagasan kita melalui tulisan.\
Tetapi menulis tidak sekedar cara kita mendokumentasikan gagasan kita. Menulis pun bisa menjadi cara kita memperkenalkan diri kita kepada orang lain. Anda pasti mengenal Sigmund Freud, Charles Darwin, atau Albert Einstein? Mereka adalah tokoh-tokoh hebat dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.Â
Pertanyaannya berikutnya, bagaimana Anda bisa mengenal mereka? Ya, jawabannya tentu saja dari ide-ide yang mereka tuangkan menjadi teori-teori ilmu pengetahuan. Kita tidak mungkin bisa tahu teori-teori mereka dan mengenal mereka jika mereka sendiri tidak menuliskan teori-teori itu. Kita bisa mengenal mereka lewat teori-teori yang mereka tuliskan. Kita pun bisa seperti mereka asalkan kita mau memperkenalkan diri kita melalui tulisan kita.
Menulis juga merupakan sebuah upaya untuk mempengaruhi orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal sebelumnya. Pengaruh yang diberikan itu bisa positif, bisa pula negatif. Ketika terjadi penyergapan dan penangkapan teroris oleh Densus 88 selalu disertai penyitaan barang bukti berupa bom, senjata hingga buku-buku yang bertemakan jihad.Â
Kita pasti sudah bisa menebak bahwa buku-buku itu tentunya menjadi bacaan wajib bagi para teroris dan secara langsung mempengaruhi mereka. Sang penulis buku telah berhasil mempengaruhi pemikiran para teroris. Padahal, mungkin saja antara sang pembaca (teroris) dan sang penulis tidak saling mengenal satu sama lain, tapi ide sang penulis berhasil mempengaruhi sang pembaca (teroris). Inilah yang membedakan menulis dengan berbicara.Â
Jika kita berbicara, lingkup pengaruh yang kita berikan terbatas hanya pada orang-orang yang mendengarkan kita berbicara, tetapi dengan menulis kita bisa mempengaruhi begitu banyak orang bahkan orang yang tidak kita kenal. Menulis mampu mengatasi keterbatasan ruang dan waktu. Dengan menulis, tulisan kita bisa dibaca oleh begitu banyak orang diberbagai tempat, dan dalam waktu yang berbeda-beda.
Karena menulis mampu mengatasi ruang dan waktu, maka menulis pun merupakan upaya untuk menjangkau dan menggenggam dunia. Dengan menulis, seorang penulis tidak hanya ingin menjangkau orang-orang yang ada disekitar dirinya, tetapi ingin menjangkau juga begitu banyak orang lain dari berbagai lapisan, golongan, suku, agama, ras, benua. Artinya, sang penulis ingin menjangkau dunia.Â
Tetapi tidak pula hanya sekedar menjangkau dunia. Ia ingin pula menggenggam dunia. Perhatikan lagi Darwin, Freud, Einstein. Berkat teori-teori yang mereka tuliskan, mereka telah berhasil menggenggam dunia. Dunia tidak bisa menghindar atau lepas dari genggaman mereka, karena teori-teori yang mereka tuliskan selalu menjadi bahan perbincangan dan diskusi hingga saat ini. Dunia ada dalam genggaman mereka karena mereka menulis.
Jika kita ingin merangkum semua yang telah kita tulis tadi, maka menulis tiada lain adalah upaya untuk mengeksistensikan diri, karena dengan menulis sang penulis berupaya mendokumentasikan pemikirannya, memperkenalkan dirinya, mempengaruhi orang lain, menjangkau dan menggenggam dunia. Dengan menulis, sang penulis berupaya menghadirkan dirinya kepada dunia dan mengatakan "saya ada dalam dan melalui tulisan saya". "Saya menulis, maka saya ada". Scribo Ergo sum. Dengan menulis, sang penulis membuat dirinya ada, bahkan jika nanti ia tak ada lagi, ia tetap ada dan hadir dalam dan melalui tulisannya.
Scribo ergo sum (saya menulis maka saya ada) berbeda dengan ungkapan mashyur Descartes cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Dalam cogito ergo sum-nya Descartes, egosentrisme begitu terasa. Segala yang lain diluar dirinya tidak ada, yang ada hanyalah saya dan pikiran saya. Ini berbeda dengan scribo ergo sum. Dalam scribe ergo sum terselip sebuah antisipasi menuju pada orang lain diluar diri saya. Bila saya menulis, ada sebuah maksud sadar agar nantinya tulisan saya ini dibaca oleh orang lain. Kita tidak pernah menulis untuk diri kita sendiri. Bahkan buku harian yang sifatnya rahasia itu, suatu saat pasti bisa dibaca oleh orang lain.