Mohon tunggu...
Frediyanto Hendrayani
Frediyanto Hendrayani Mohon Tunggu... Lainnya - aku adalah aku

Aku hanyalah debu dialas kakiMU, bagaimana bisa aku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wajah Orang Lain

15 September 2021   08:09 Diperbarui: 15 September 2021   08:17 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wajah bukan hanya sebatas bagian tubuh fisik. Wajah lebih dari itu. Ketika seorang polisi mencari seorang pelaku kejahatan, biasanya akan ditempel foto wajah pelaku tersebut. Jadi, yang ditempel itu bukan foto kaki, tangan atau perut pelaku, tapi wajahnya. 

Bila kita merindukan seseorang yang kita kasihi atau cintai, bagian tubuh yang kita bayangkan pertama tidak lain dan tidak bukan adalah wajah. Kita bisa ikut bersedih atau bahagia bersama seorang sahabat, pertama-tama karena melihat wajahnya yang sedang bersedih atau bahagia. Wajah merupakan cara manusia menampakkan keseluruhan dirinya atau dengan kata lain melalui wajahlah, keseluruhan diri kita menampakkan diri atau dapat dijelaskan.

Entah sadar atau tidak, dalam keadaan normal wajah merupakan bagian tubuh yang selalu telanjang, tidak terlindungi. Kita bisa memakai baju dan celana, sepatu, kaos tangan untuk menutupi tubuh kita, tapi wajah selalu dalam keadaan telanjang. Bahkan, bila menggunakan hijab sekalipun wajah selalu terlihat. 

Ketelanjangan wajah inilah yang membuat wajah rentan untuk dilecehkan atau terluka. Mungkin karena wajah itu rentan untuk dilecehkan atau terluka, maka jaman sekarang orang berlomba-lomba "mempermak" wajahnya dengan berbagai macam  cara agar dapat terlihat cantik dan menarik. Jerawat atau sedikit luka gores pada wajah bagi banyak orang merupakan malapetaka yang harus dihindari, karena ini menyangkut seluruh eksistensi diri yang selalu berhubungan dengan segala sesuatu di luar dirinya. Luka di wajah akan melukai seluruh eksistensi diri.

Bandingkan dua contoh pengalaman fiktif ini. Pengalaman pertama, di suatu waktu, anda sedang makan makanan yang sangat enak, lalu tiba-tiba ada kucing yang datang dan memakan makanan anda ketika anda lagi lengah. Melihat hal itu, anda marah dan langsung memukul kucing itu. Pengalaman kedua, anda pun sedang makanan makanan yang sangat enak, ketika tiba-tiba teman anda datang dan memakan makanan anda saat anda "kebelet" buang air besar  di WC. Saat kembali, anda melihat makanan anda sudah habis. Anda begitu marah, dan langsung memarahi  dan memukulnya.

Dari dua pengalaman fiktif ini, mana kira-kira pengalaman yang akan membuat anda merasa tersiksa dan bersalah? Saya yakin pengalaman kedua akan membuat anda merasa begitu tersiksa dan bersalah. Beberapa saat setelah memukul teman anda, mungkin anda akan membayangkan wajah teman anda yang terlihat kesakitan setelah dipukul oleh anda. Lalu, perlahan-lahan anda mulai merasa tersiksa dan bersalah karena telah memukul teman anda.  

Anda melihat, seolah-olah bayangan wajah teman anda memanggil-manggil anda dan meminta pertanggung jawaban atas apa yang telah anda perbuat terhadapnya. Tidak seperti wajah kucing atau binatang lainnya, wajah orang lain selalu membuat anda terusik dari kenyamanan anda. Wajah orang lain, walaupun telanjang, tidak terlindungi, tapi tidak bisa ditaklukan secara semena-mena karena ia akan selalu meminta pertanggung jawaban dan membuat kita terusik, tersiksa dan merasa bersalah.

Selain itu, wajah orang lain  juga mengajarkan sesuatu pada kita. Wajah orang lain seperti guru yang  mengajarkan pada kita tentang berbagai hal seperti kebaikan dan penghargaan kepada martabat dan harga diri orang lain. Contoh kedua tadi memperlihatkan dengan jelas bahwa wajah orang lain (sahabat) mengajarkan pentingnya persahabatan tanpa melakukan kekerasan-kekerasan yang dapat merusak hubungan persahabatan tersebut.

Wajah orang lain juga memancarkan sesuatu yang bersifat ilahi. Pancaran sifat ilahi itu terejawantahkan lewat kekuatan wajah itu yang mampu membuat kita terusik dari kenyamanan, meminta pertanggung jawaban kita, membuat kita merasa tersiksa dan bersalah dan menjadi guru yang mengajarkan sesuatu kepada kita. 

Kita seolah-olah menerima wahyu yang datangnya dari pancaran sifat ilahi wajah orang lain yang mampu meluluhkan seluruh ego kita dan berusaha memperbaiki hubungan kita dengan orang lain yang telah rusak. Maka, ada benarnya ungkapan yang mengatakan "saat kita bisa memaafkan orang lain, saat itulah kita sudah bisa melihat wajah Allah dalam diri orang lain".

Tulisan ini ditutup dengan sebuah cerita; seorang guru spiritual bertanya kepada murid-muridnya bagaimana mereka bisa membedakan kapan malam telah berakhir dan hari baru telah dimulai. Seorang murid menjawab: "kita bisa membedakan hal itu ketika kita melihat seekor binatang dari kejauhan dan dapat membedakan apakah binatang itu seekor sapi atau kuda". "Bukan", kata sang guru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun