Mohon tunggu...
Nonblok
Nonblok Mohon Tunggu... -

" harga barang tinggi, tidak ada pilihan lain selain menulis"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Statement Vicky Prasetyo "Selevel" Statement Birokrat (Episode 1)

19 September 2013   00:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:42 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ABSTRAK

Inilah kita (masyarakat pembaca) yang sering terjebak dan selalu menjadi kudapan lezat propaganda media, sehingga menyeret pembacanya untuk latah memutuskan / menghakimi benar tidaknya sebuah isu tanpa menganalisa lebih dalam lagi. Mengapa tidak ? coba kita bandingkan dan perhatikan saling serangnya antara media satu dengan yang lain di balik tokoh-tokoh yang dijadikan garda depan. Masyarakat kian optimis,  seiring perkembangan teknologi informasi, kita sudah bisa menebak kemana arah media itu berafiliasi dan untuk tujuan apa keterpihakan mereka dengan mengolah sedemikian rupa sebuah isu menjadi dogma yang akan menancap kuat di pikiran kita semua.

Tentu di era online serba tombol ini gerakan literasi yang melekat pada pembaca media tak kuasa membendung gempuran bertubi-tubi sebuah berita. Medialah berperan kuat dalam menentukan semuanya mulai dari pencitraan heroik sampai pencitraan bual-bualan masa.

Mengamati Statement Vicky yang fenomenal  berada pada rating puncak beberapa pekan ini, tapi tentunya lebih pada hujaman  pemberitaan yang negatif. Publik mengamini  bahwa sederet pembicaraan Vicky  hanyalah mencari sensasi, sok-sokan yang tergolong melantur serta tidak ada korelasinya antara kalimat satu dengan lainnya. Apakah benar demikian? dan apakah hanya Vicky saja yang berstatement demikian? Siapakah yang mengemasnya hingga menjadi heboh? Tentu tak lepas dari peran besar media yang berseliweran di depan mata kita.

Ada yang menarik di tengah-tengah peristiwa munculnya kosakata fenomenal Vicky Prasetyo. Bila kita lebih dewasa  menelaah berbagai macam pemberitaan, ‘penyakit’ yang diderita Vicky juga diderita oleh para birokrat kita dan parahnya itu tertuang dalam berbagai bentuk kebijakannya. Mari kita ‘telanjangi’ beberapa kebijakan dan juga statement birokrat yang hadir pada beberapa pekan lalu.

Masih menyisakan perih yang mendalam setelah keputusan naiknya BBM pada akhir Juni 2013 lalu , sebagai penyesuainnya maka harga bahan pokok ikut ‘unjuk gigi’ atas keputusan tersebut. Seleksi alam pun mulai nampak, siapa yang kuat akan bertahan. Lebih dari 40.000 pekerja sektor padat karya diPHK dengan dalih perusahan tidak mampu lagi menyesuaikan kenaikan harga. Segala paket dan rayuan pemerintah dikeluarkan untuk menggandeng pelaku usaha agar tidak mengurangi jumlah karyawannya.  Menyusul lagi  peristiwa dhasyat yakni kenaikan dollar atas rupiah yang menembus angka hampir 12.000 per dolar amerika. Semua yang bergantung pada impor harus rela  menerima kenyataannya.

BELANJA PANGKAL KAYA ADALAH  IDE BASI YANG MEMBIUS

Bagaikan petir di siang hari, dengan mengeluarkan statement (jangka pendek) keep buying strategy, Menteri Keuangan RI M Chatib Basri menyatakan aktivitas belanja masyarakat akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,4 % pada 2014. Dengan kata lain semakin kita meningkatkan daya konsumsi maka perekonomian Nasional akan selamat. Boleh juga logika ini diterapkan dalam  prespektif makro ekonomi, bebereapa alasannya


  1. Denga kegemaran berbelanja yang lebih tinggi maka perputaran uang tidak menumpuk dan menambah laju angka inflasi
  2. Aktifitas produksi akan terus berjalan karena permintaan terhadap barang, sehingga perusahaan tidak melakukan PHK terhadap karyawannya dan akan lebih menyerap tenaga kerja.


Kita semua sadar, pada prinsipnya masyarakat ingin memenuhi kebutuhannya secara lebih dan lebih lagi.  Akan tetapi harus diuji beberapa pertanyaan


  1. Dengan cara seperti apa kita dapat berbelanja yang lebih, mengingat kondisi ekonomi yang lesu seperti sekarang ini? Apakah dengan cara kredit tidak timbul masalah baru ? mengingat pola konsumtif masyarakat didominasi kredit
  2. Belanja barang dan jasa apa saja yang dapat mendorong pertumbuhan perekonomian kita? Apakah segala sesuatu yang didatangkan dari luar negeri dan minim unsur dalam negeri akan membantu pemulihan ekonomi  ?


Pernyataan di atas dapat dipastikan kadaluwarsa alias basi, Kejadian serupa pernah ada di tahun 2008, pada saat itu Jusuf Kala sebagai wakil presiden juga pernah memberikan statement ’’Kalau ada pepatah hemat pangkal kaya, dalam keadaan krisis seperti sekarang, negara justru harus sedikit lebih boros”. Maka seketikita itu salah satu langkah penting yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah segera melonggarkan likuiditas rupiah dengan menggelontorkan dana APBN sekitar Rp 120 triliun. Kita tidak akan bicara bahwa ini merupakan  akar rumpun kasus penyelewengan dana bail out Bank Century dengan dalih kegagalan sistemik. Fokus kita untuk membandingkan kejadian yang serupa di tahun sebelumnya.

Di sisi lain, Direktuf Eksekutif Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Dodi Budi Waluyo telah sadar dan insyaf  mengatakan, pemerintah dan seluruh masyarakat memang harus melupakan sementara pertumbuhan ekonomi di atas 6%. Karena berkaca pada realita di lapangan sungguh sebuah mimpi di siang bolong untuk mengerjar pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6 %.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun