Merasakan keberagaman di tempat baru pastilah memiliki pengalaman unik. Ada suka duka yang begitu bermakna, adaptasi lah kunci untuk bertahan dengan segala keberagaman. Sama seperti yang dirasakan mahasiwa pertukaran merdeka yang menjalani kehidupan satu semester di pulau yang berbeda. Progam Pertukaran Mahasiswa Merdeka atau yang disebut juga PMM merupakah salah satu progam MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka ) dibawah naungan Kemendikbud).
Saya dipertemukan dengan 284 mahasiswa di seluruh Indonesia di pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) . Tepatnya menjadi mahasiswa PMM di Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang NTT. Menjadi satu satunya perwakilan dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang melakukan pertukaran mahasiswa di UNDANA merupakan tantangan sendiri bagi saya.
Perasaan menjadi wanita minoritas dari kampus Muhammadiyah dan menjalani pertukaran mahasiswa selama 4 bulan atau satu semester di kampus dengan mayoritas non muslim merupakan pengalaman baru untuk saya. Jika biasanya saat doa bersama dipimpin dengan mengucapkan bismillah namun sekarang dimulai dengan Tuhan Yesus, kami saat ini berdoa.
Hal itu yang pertama kali saya rasakan saat pembukaan upacara penyambutan mahasiswa PMM di Auditorium Undana. Mungkin kejadian itulah yang menjadi awal perjalanan saya menjadi minoritas perempuan muslim di Kupang.
Di NTT sendiri ada beberapa mayoritas penduduk muslim yang tinggal di pulau Solor, Ende , Lembata dan banyak di daerah Flores. Namun khusus di Kupang rata - rata mayoritas penduduknya ialah katolik & protestan. Penduduk muslim di kota kupang biasanya merupakan penduduk Sulawesi dan penduduk Jawa yang merantau ke Kupang untuk berbisnis.
Hal ini membuat mayoritas perempuan muslim berhijab di Kupang dipanggil “bibi” walaupun ia masih remaja. Terkadang panggilan “bibi” ini menjadi panggilan untuk menghargai namun tak jarang juga digunakan untuk cibiran dan bahan olokan kepada kami.
Memang sisi gelap Kupang salah satunya ialah sering terjadi “catcallling” , catcalling adalah penggunaan kata-kata yang tidak senonoh, ekspresi secara verbal dan non verbal yang kejadiannya terjadi di tempat umum atau publik.
Hal ini bukan terjadi pada masyarakat muslim disana namun hampir menyeluruh terjadi di seluruh perempuan di Kupang. Seperti yang dialami oleh beberapa mahasiswa PMM yang sedang berbelanja di pasar inpres, Naikoten Kupang. Beberapa mahasiswa tersebut berasal dari Jakarta, Jambi, Bogor,Purwakarta.
“Pas belanja ikan langsung di kerumunin abang - abang yang jualan, awalnya biasa aja nawarin ikan tapi lama - lama ditanya juga darimana asalnya, kenapa rapih banget. Sebenarnya lebih keganggu dengan digodain gitu sih sepanjang jalan dan bukan kali ini aja sering banget di pinggir jalan di godain kayak ‘Nona manis, mau kemana ee’ ” Ujar Aqila mahasiswa Al- Azhar] Jakarta
Tidak hanya catcalling, tindak kekerasan non verbal dan verbal di NTT terhadap perempuan juga sering terjadi di kehidupan sehari - hari. Menurut Dinas Pemberdayaan, Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT mencatat 276 kasus kekerasan terjadi terhadap perempuan sepanjang tahun 2022.
Kasus - kasus yang tercatat tidak begitu banyak dan banyak pelapor yang melaporkan tindak kekerasan jika sudah sangat keterlaluan seperti kekerasan fisik sampai upaya pembunuhan. Banyak masyarakat NTT yang tidak melapor tindak kekerasan yang dianggapnya ringan salah satu faktornya yaitu faktor psikologis, lingkungan dan budaya. Mayoritas suku di NTT memang patriaki terutama dalam pernikahan.