Siapa yang tidak mengenal R. A. Kartini dan Dewi Sartika? Mungkin generasi muda masa kini hanya mengenal R. A. Kartini karena salah satu hari libur nasional digunakan untuk mengenang beliau yang identik dengan penggunaan kebaya bagi pelajar sekolah dasar. Dewi Sartika dan Kartini merupakan dua wanita pelopor pendidikan bagi kaum wanita di Hindia Belanda.
Mungkin, jika bukan karena mereka, wanita di Indonesia kini tidak dapat menempuh pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Tidak hanya itu, diberlakukannya Politik Etis yang diusulkan oleh Van Deventer sedikit banyak memengaruhi kebijakan pendidikan bagi penduduk pribumi.
Kedudukan Wanita Dibandingkan Pria
Kedudukan wanita dipandang lebih rendah dibanding pria pada masa kolonial. Hal tersebut disebabkan karena para wanita dituntut sebagai pelengkap suami (Hartutik, 2015, hlm. 90; Sulistiani dan Lutfatulatifah, 2020, hlm. 122).Â
Belum lagi dengan adanya adat istiadat yang dipertahankan oleh penduduk pribumi, seperti masa pingit, poligami, hingga kewajiban wanita untuk melayani suami serta mengurus rumah tangga (Faujiah dan Samsudin, 2020, hlm. 209).
Adanya ketimpangan sosial antara kaum bangsawan dan rakyat biasa juga mengekang wanita karena para bangsawan pada umumnya menjadi prioritas, sedangkan rakyat jelata hanya menjadi abdi dalem atau pelayan mereka. Dibuktikan dengan diberikannya akses sekolah bagi anak laki-laki dari golongan bangsawan.
Usaha Kartini dan Sartika
Pendidikan pada masa penjajahan merupakan hal yang asing bagi wanita, terutama bagi para keturunan pribumi. Wanita pribumi pada masa kolonial tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan. Perjuangan Kartini dan Sartika untuk memberikan pendidikan bagi kaum wanita tidak mudah dilakukan mengingat adanya pandangan meremehkan di kalangan umum.
Ketidakbebasan kaum wanita semakin mendorong Kartini dan Sartika untuk membebaskan kaum wanita dari jeratan masa lalu yang membelenggu. Melihat banyaknya wanita yang buta huruf dibandingkan kaum pria, baik Kartini maupun Sartika menjadi tergerak hatinya untuk merubah masa depan wanita.
Perjuangan Kartini dimulai setelah mendapat izin dari ayahnya serta dukungan dari sahabat penanya di Belanda. Dia mengajarkan membaca dan menulis di lingkungannya, baik anak-anak maupun perempuan. Selain itu, dia biasanya memiliki ide untuk memajukan kehidupan perempuan yang dituliskan dalam setiap suratnya (Hartutik, 2015, hlm. 89).
Tidak jauh berbeda dari Kartini, Sartika mulai mengajar sejak kecil dengan menjadi guru bagi adik-adik dan pembantunya. Sartika yang sempat merasakan bangku sekolah merasa sangat beruntung dapat mengajarkan semua pengalamannya kepada sesama wanita untuk menjadi setara dengan pria dan perlahan menunjukkan bahwa wanita dapat melakukan banyak hal. Sartika mengajarkan dasar-dasar kewajiban perempuan, seperti menjahit dan memasak, selain literasi dan bahasa Belanda (Zakaria, 2010, hlm. 5-6).
Perjuangan yang mereka lakukan untuk membebaskan perempuan serta menyetarakan derajat dengan kaum pria telah tercapai. Buktinya, kini kaum wanita bebas berekspresi di depan umum hingga dapat menjadi pemimpin layaknya kaum pria. Terbitnya buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan berdirinya Yayasan Dewi Sartika membuktikan bahwa perjuangan mereka tetap wangi hingga kini.
Sumber:
Faujiah, E., & Samsudin. (2020). Pemikiran Dewi Sartika Pada Tahun 1904-1947 Dalam Perspektif Islam. Al-Tsaqafa: Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, 17(2), 205-212. doi:10.15575/al-tsaqafa.v17i2.10402
Hartutik. (2015). R. A. Kartini: Emansipator Indonesia Awal Abad 20. Jurnal Seuneubok Lada, 2(1), 86-96. Dikutip dari ejurnalunsam.id
Sulistiani, Y., & Lutfatulatifah. (2020). Konsep Pendidikan Bagi Perempuan Menurut Dewi Sartika. Jurnal Equalita, 2(2), 118-129. Dikutip dari syekhnurjati.ac.id
Zakaria, M. M. (2010). R. A. Kartini Versus R. Dewi Sartika: Menakar Bobot Kepahlawanan. Dikutip dari www.google.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H