Mohon tunggu...
fitri dwi febrina
fitri dwi febrina Mohon Tunggu... -

it's all about me

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Compact City, Membangun ke Atas Bukan ke Samping

5 Desember 2016   06:39 Diperbarui: 5 Desember 2016   06:57 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika pertumbuhan penduduk semakin meningkat diikuti dengan kebutuhan lahan yang semakin meningkat, solusi utama yang akan terlintas dalam fikiran beberapa orang adalah melakukan pembangunan vertikal. Berangkat dari sebuah ide yang pernah dicetuskan oleh Le Corbusier yaitu konsep Radiant City merupakan konsep mix used development dimana di dalam suatu unit lingkungan terdapat berbagai aktivitas atau kegiatan yang saling bersinergi dan untuk menjalankannya dapat ditempuh hanya dengan jalan kaki atau berbagai aktivitas atau kegiatan tersebut berlangsung hanya pada satu tempat. 

Pada tahun 1973, dua matematikawan George Dantzig dan Saaty menyempurnakan kembali konsep ini menjadi lebih matang yang menekankan pada high density dengan pembangunan secara vertikal dan menyebutnya sebagai Compact City. Kehadiran konsep Compact City seakan-akan menjadi jawaban yang tepat untuk masalah kekurangan lahan yang menjadi permasalahan klasik pada era modern ini bahkan untuk mengatasi kemacetan.

Hal ini mengubah pemikiran bahwa untuk melakukan perpindahan hanya dengan menggunakan kendaraan tapi cukup perlu berjalan kaki dengan terjangkaunya lokasi yang ingin ditempuh dalam melakukan aktivitas mulai dari perumahan, perkantoran, tempat makan, bahkan sarana rekreasi atau hiburan. 

Kurangnya penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak dapat mengurangi emisi yang maka mengakibatkan polusi. Jika hanya dengan berjalan kaki tentu saja tidak akan menimbulkan polusi dan bahkan dapat membuat tubuh menjadi lebih sehat. Hal ini akan mengurangi kebiasaan penduduk yang selalu akan ketergantungan terhadap kendaraan. Adanya pemendekan jarak ini juga dapat mempermudah penduduk untuk bersosialisasi pula.

Kota Samarinda sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Timur turut serta mengalami peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya. Menurut data BPS, pada tahun 2014 porsi terbesar penduduk Kalimantan Timur berada di Kota Samarinda (23,78%), selebihnya berada di Kabupaten Kutai Kartanegara (20,90%), Kota Balikpapan (18,05%) dan sisanya tersebar di kabupaten/kota lain berkisar (0,77% - 9,16%). 

Pola persebaran penduduk seperti ini sejak tahun 2012 tidak banyak berubah yang artinya Kota Samarinda selalu meenjadi kota dengan jumlah penduduk tertinggi dibanding kota lainnya di Provinsi Kalimantan Timur. 

Oleh karena itu, dengan kondisi tersebut maka permintaan terhadap penyediaan rumah akan turut meningkat pula. Mengingat bahwa luas wilayah Kota Samarinda yang hanya berkisar 695 km2, ketersediaan lahan yang tersedia saat ini belum tentu dapat mencukupi kebutuhan perumahan untuk beberapa tahun ke depan. Sehingga, solusi yang dapat ditawarkan adalah dilakukannya pembangunan ke atas atau secara vertikal.

Pembangunam vertikal di Kota Samarinda saat ini masih didominasi oleh pembangunan hotel seperti Hotel Bumi Senyiur, Hotel Mesra, Hotel Aston, dll. Namun, kini semenjak tahun 2007, dimulailah pembangunan dengan konsep Compact City pertama di Kota Samarinda yaitu proyek Mixed Use dari owner PT. Selyca Mulia. Diawali dengan pembangunan Plaza Mulia kemudian pembangunan Selyca Hotal yang baru saja diresmikan pada tahun 2015 lalu, untuk pembangunan berikutnya adalah Graha Mulia Apartement dan Plaza Mulia Extension yang masih dalam masa pengerjaan. 

Dari sini dapat dilihat bahwa Kota Samarinda mulai mengarah pada pembangunan yang menerapkan konsep mix used development. Kini muncul beberapa proyek yang diantaranya sudah Ground Breaking yaitu Samarinda Global City, Samarinda Central Business District, Ibis and Mercure, dan Mesra City. Seluruh pembangunan tersebut disambut hangat oleh pemerintah, sedangkan para developer melihat ini sebagai ladang emas. Tak jarang bila untuk beberapa tahun kemudian kota Samarinda akan dikelilingi oleh lebih banyak gedung-gedung bertingkat disekitarnya.

Namun, meskipun dirasa sebagai salah satu contoh kota ideal sayangnya konsep ini bukan merupakan sebuah contoh kota yang berkelanjutan (Sustainable City). Hal ini dikarenakan konsep Compact City yang dapat dikatakan sebagai kapitalisme, dimana aspek yang paling penting hanya dilihat dari aspek ekonomi yaitu pencarian keuntungan belaka tanpa melihat dari aspek lain yang sama pentingnya yaitu aspek lingkungan. Kota yang berkelanjutan adalah kota yang mampu menyetarakan keseimbangan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan sehingga untuk memenuhi kebutuhan masa kini tidak perlu mengorbankan kemampuan generasi masa yang akan datang tetap dapat memenuhi kebutuhannya kelak.

Konsep Compact City yang menekankan pada pembangunan secara vertikal ternyata mempunyai dampak negatif yang cukup besar terhadap lingkungan. Adanya pembangunan gedung bertingkat yang menjulang tinggi dengan penggunaan kaca dalam jumlah banyak (Glass High Rise Building) mengakibatkan permasalahan refleksi radiasi pantulan matahari serta efek thermal yang juga turut meningkatkan suhu lingkungan disekitamya. Namun, utamanya yang dapat dirasakan adalah penurunan muka tanah, hal ini dikarenakan ketidaksanggupan menampung bobot berat gedung-gedung besar bertingkat maupun skyscraper tersebut terutama apabila pembangunan terjadi secara terpusat.

Fenomena yang sudah pernah terjadi diakibatkan oleh adanya pembangunan vertikal secara terpusat adalah Guangzhou, Hongkong, dan Ibukota Indonesia, Jakarta. Untuk mengatasi persoalan gedung-gedung bertingkat tersebut, Guangzhou dan Hongkong memberlakukan kebijakan tegas yakni, di dalam kota tidak dibolehkan ada lima gedung yang berdekatan. 

Jika itu terjadi, dua dari lima gedung itu harus dirobohkan. Sayangnya untuk di Ibukota sendiri kebijakan seperti itu belum dilakukan. Oleh karena itu, tak heran pembangunan vertikal dijadikan salah satu penyebab penurunan muka tanah Kota jakarta yang semula hanya 5 cm/tahun berubah menjadi 10-11 cm/tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun