Dua minggu yang lalu *terhitung ketika gue mengetik blog ini*, gue bangun pukul delapan pagi waktu bagian negara tetangga. Padahal biasanya gue baru bangun ketika jemuran tetangga sudah siap diangkat lagi.
Hari itu negara tetangga diguyur hujan lebat. Biasanya tatkala hujan turun, gue akan mengintip dari jendela kamar gue untuk kembali tidur, dininabobokan suara bulir air yang melepas rindunya pada sang bumi.
Namun hari itu gue menentang kemalasan gue dengan segenap niat untuk menggenapi tanggung jawab gue sebagai panitia konsumsi kegiatan ekstrakurikuler yang gue ikuti. Perusahaan gue memang memiliki berbagai macam kegiatan ektrakurikuler di luar jam kerja. Macam anak sekolahan memang! Bahkan aktifnya para karyawan dalam kegiatan ektrakurikuler dapat meningkatkan probabilitas yang bersangkutan untuk naik jabatan.
Adalah gue harus menyediakan sejumlah makanan untuk 50 peserta yang rencananya akan gue pesan di satu kedai di kantin kantor. Selain aksesnya lebih mudah, harga makanan di kantin kantor pun relatif lebih murah -apalagi kalau ditambah bujuk rayu agar diberi diskon ektra.
Bergerak lah gue keluar rumah, menerjang hujan angin, menuju kantor gue yang harus ditempuh dengan menaiki dua bus yang berbeda dilanjut dengan sepuluh menit berjalan kaki. Sesampainya gue di depan kantor, gue menemukan gerbang besi menjulang kukuh menutup akses gue masuk ke dalam.
Ada apa ini?!
Dengan segera gue merogoh telepon genggam dari tas gue untuk kemudian menemukan fakta bahwa hari itu adalah hari Sabtu.
“Oh pantesan sepi,” ujar gue dalam hati.
Tak elak gue pun malu dengan diri gue sendiri. Gue buta hari!
Untuk menghindari rasa malu yang lebih dalam lagi, gue pun melipir ke pusat kebugaran disebelah kantor. Biar setidaknya perjalanan gue tidak sia-sia.
Acara ektrakurikuler yang gue ikuti itu diselenggarakan di hari Rabu. Tertekan oleh keterbatasan waktu, mau tidak mau gue harus kembali ke kantor dua hari kemudian untuk sesegera mungkin memesan konsumsi. Padahal hari itu gue mengerjakan penerbangan dini hari dan kembali ke negara tetangga pada siang harinya. Namun untuk menjaga kredibilitas gue sebagai karyawati yang bertanggung jawab, gue pun bergegas menuju kantor selepas gue mendarat.
Perjalanan dari bandar udara menuju kantor gue tempuh dengan menaiki bus dilanjut dengan sepuluh menit berjalan kaki. Sembari menyeret koper kerja gue yang berat, gue menantang teriknya mentari di tengah siang bolong. Sesampainya gue di depan kantor, gue kembali disambut dengan jejeran selongsong besi abu-abu yang memisahkan gue dengan kantor gue.
Gue berdiri terpaku.
Ada apa lagi nih?!!
Kembali gue merogoh telepon genggam gue untuk memastikan kembali bahwa hari itu adalah hari Senin.
Bener kok ini hari Senin! Kenapa tutup lagi deh?
Tak lama kemudian petugas keamanan kantor gue menyadari keberadaan gue. Bagaimana tidak? Adalah seorang gadis berkantung mata tebal dengan koper di tangan kiri dan telepon genggam di tangan kanan berdiri dengan tatapan kosong di depan gerbang yang sedang beliau jaga.
“Hari ini kantor tutup Mbak. Kan hari libur nasional,” ujar bapak satpam.
“Loh? Hari libur apa Pak?” gue terkejut heran.
“Hari kemerdekaan loh!”
APAH?!!!
Ternyata selain buta hari gue pun buta tanggal. Dan karena jadwal terbang tidak mengenal tanggal merah, gue pun turut buta warna.
Seperti termuat dalam http://ceritakabin.com/2015/08/24/buta-hari/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H