Cerita punya cerita, ketika gue berada di babak lebih lanjut gue menemukan fakta bahwa Mbak F dulunya adalah awak kabin di perusahaan yang sama. Sejak saat itu gue menaruh curiga, jangan-jangan awak kabin kalau ngomong harus begitu?
Dan kecurigaan gue pun terjawab lah!
Selama berbulan-bulan gue merasakan langsung perihnya disilet dengan sindiran-sindiran ultima hingga hati gue bernanah. Lama-kelamaan gue pun menjadi terbiasa. Malah turut fasih berbahasa sarkasme!
Ketika gue kepanasan, gue akan bilang, “duh baju gue kurang tebel nih!”
Ketika gue kelaperan, gue bilang, “kok nggak ada yang kasih tau gue ini udah bulan Ramadhan sih?”
Ketika gue ketemu orang yang ngaret, gue bilang, “kayaknya jam gue ajah deh yang berdetak lebih cepat.”
Tak elak, sahabat gue pun kerap menjadi korban kesarkastikan gue. Padahal gue nggak bermaksud menyakiti hati ia yang rapuh itu. Nampaknya kemampuan gue bertutur sarkasme telah berkembang pesat hingga sarkasme pun menjadi bahasa kasih gue.
Menurut gue sarkastika adalah seni bertutur kata yang indah. Gue mulai mencintai sakrastika seperti matematis mencintai matematika.
Ketika gue disindir orang lain, bukannya gue merasa sakit hati malahan gue berbalik kagum dengan kemampuan yang bersangkutan. Terutama ketika sarkasmenya mampu menebus hati gue yang telah menebal dan semakin kebal terhadap perihnya kehidupan.
Kini gue pun paham mengapa Mbak F menggunakan sarkasme terhadap gue waktu itu. Bayangkan kalau beliau harus berkata, “G, kamu gemuk.”
Atau, “G, saya rasa tubuh kamu kurang proporsional.”