Aku tak pernah ingin menyalahkan siapa saja yang memberiku ucapan selamat dengan membawa serta rangkaian bunga yang –menurut mereka- cantik. Aku hampir gagal membedakan mana yang aku benci. Bungakah? Atau jangan-jangan aku benci pada diriku sendiri?
Buket bunga selalu mengingatkanku padamu. Sialan!
Maka aku berpura-pura bahagia saat ada yang menyambutku dengan bunga dan –tentunya- dilengkapi dengan senyuman. Aku terlalu paham bagaimana cara menyunggingkan senyum yang baik nan sopan; menarik bibir ke atas dengan porsi kanan dan kiri sama atau tidak panjang sebalah. Finish. Aku berhasil.
Perlahan namun pasti, mereka mulai menanyakan mengapa aku memejamkan mata saat menerima bunga pemberian mereka. Sialan!
Bagaimana tidak? Wajahmu akan bertebaran di balik setiap bunga yang tersodor padaku. Pasti aku akan gila jika terlalu lama terjebak dalam momen ini. Aku mulai mengumpat dalam hati.
“Aku bahagia. Terimakasih ucapan dan bunganya..”
Aku mendekap siapapun yang memberiku bunga dengan mata tetap terpejam. Berharap mereka tak melihat ekspresi anehku yang mungkin akan sedikit demi sedikit mereka sadari.
Seperti biasa, mereka akan menangkap moment ini dengan kamera sialan yang sanggup mengabadikanku bersama bunga-bunga yang telah lama kubenci ini. Aku menurut saja. Bagaimanapun juga, aku sama sekali tak pernah membenci mereka yang sungguh mempedulikanku sedemikian rupa. Tolong, aku hanya benci pada bunga.
Bunga yang pernah mereka kirim untuk menggantikanmu disisiku. Sialan!
Kau ingat ‘kan? jika dulu aku sangat menyukai bunga? Karna bunga selalu datang bersama manis senyummu. Bunga apapun itu. Saat aku menerima bunga segar darimu, aku selalu berbisik mesra di telingamu bahwa cintamu tak pernah palsu. Lalu pernah sesekali kau memberiku bunga plastik. Kau ingat, ‘kan apa yang kala itu kubisikkan padamu? Ya, bahwa cintamu takkan pernah layu.
“Tak ada yang salah dengan bunga itu, Sayang. Yang asli akan layu termakan waktu, dan yang selalu rekah malah hanya yang palsu...”