Mohon tunggu...
Nomsy Gusti Semesta
Nomsy Gusti Semesta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Airlangga

A full-time carat and part time human.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Bukan Pakaiannya, melainkan Pikirannya

10 Juni 2023   23:50 Diperbarui: 11 Juni 2023   00:16 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Pada zaman kerajaan kuno, perempuan dituntut untuk tampil menarik agar dapat menghibur kaum yang berkuasa atas uang, jabatan, dan kekuatan, yaitu laki-laki. Sehingga untuk bertahan hidup, perempuan harus menggantungkan nasibnya ke orang yang memiliki kekuasaan lebih besar darinya.

Seiring berjalannya waktu, bukan hanya laki-laki yang suka melihat keindahan, tetapi juga perempuan. Mereka akhirnya berdandan untuk dirinya sendiri dan ingin memerdekakan dirinya tanpa harus menggantungkan nasib ke laki-laki. Hal ini tentu menjadi masalah bagi kaum laki-laki karena perempuan sudah tidak membutuhkan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan laki-laki masih membutuhkan perempuan untuk hiburan. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya perempuan yang menjadi bahan candaan menjurus ke pelecehan seksual. Pelaku merasa bahwa menggoda orang lain dapat dilakukan dengan bebas karena terasa menyenangkan dan tidak akan menyinggung perasaan karena tujuannya candaan belaka.

Pelecehan seksual sendiri berarti perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki sehingga mengganggu penerima pelecehan. Pelecehan seksual sebenarnya bukan soal seks, intinya adalah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas, sekalipun pelaku mencoba meyakinkan korban dan dirinya sendiri bahwa ia melakukannya karena seks atau romantisme. Dengan kata lain, pelaku baru merasa "berarti" ketika ia bisa dan berhasil merendahkan orang lain secara seksual. Rasa "keberartian" ini tidak selalu dapat atau mau disadari. Rasa puas setelah melakukan pelecehan seksual adalah ekspresi dari "berarti" tersebut. Pelaku biasanya mempunyai posisi lebih kuat (bisa dari berbagai aspek) daripada korban. Inilah yang menyebabkan baik pelaku atau korban bisa laki -laki ataupun perempuan (Triwijati, 2007).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak 1 Januari hingga saat ini (29 Mei 2023), terdapat lebih dari 79% atau 8.722 korban dari 9.761  kasus pelecehan seksual adalah perempuan. 30.1% di antaranya terjadi pada umur 13---17 tahun dan 25---44 tahun. Pernyataan tersebut linear dengan kasus pelecehan seksual pada pelajar (37.9%) dan ibu rumah tangga (20.3%). 

Dalam data lebih lanjut, ditemukan 58.2% kasus pelecehan seksual dilakukan dalam rumah tangga, sebanyak 6.013 kasus dan pelaku paling banyak adalah pacar/teman 1.963 kasus, dan nomor dua terbanyak adalah suami/istri 1.674 kasus.

Faktanya, banyak orang yang menganggap bahwa setelah menikah, hak atas diri sendiri dan pentingnya consent menjadi hilang karena sudah 'diperbolehkan' untuk menyentuh dan melakukan hubungan seksual oleh agama dan sosial, padahal hak-hak asasi manusia itu harus tetap dihargai meski sudah terikat tali pernikahan. Banyak kelompok orang yang tidak tahu bahwa tindakan-tindakan yang mereka kira enteng dan lucu untuk mereka ternyata termasuk dalam pelecehan seksual.

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa lebih banyak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual:

 

  1. Kentalnya sistem sosial patriarki di Indonesia.

Sistem patriarki yaitu menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan dalam suatu kelompok masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan (Sakina & Siti A, 2017). Sebagai kelompok yang lebih lemah, tidak jarang perempuan kehilangan hak atas dirinya oleh kelompok yang lebih kuat, menjadikan mereka korban penindasan, salah satunya adalah korban pelecehan seksual. Hal ini yang mendasari pengaruh sistem patriarki dalam tingginya angka pelecehan seksual di Indonesia. 

  1. Kondisi biologis pria lebih kuat daripada wanita.

Tidak dapat dipungkiri bahwa secara biologis, pria memang lebih kuat daripada wanita. Hal ini dikarenakan pria memiliki massa otot yang lebih besar akibat produksi hormon testosteron yang lebih tinggi pada pria guna membentuk kepadatan tulang dan menunjang kekuatan otot. Terlebih kebanyakan pria memiliki badan yang lebih besar daripada wanita, hal ini membuat pria merasa superior dan bisa melakukan hal yang dimau tanpa takut balasan yang setara dari korban karena menganggap mereka lebih lemah. 

  1. Tuntutan agama dan norma sosial yang mengatur cara perempuan berpakaian.

Tidak jarang ketika ada korban pelecehan seksual menyuarakan kegelisahan atau sekadar berbagi pengalaman pahitnya, masyarakat malah menyalahkan dan menyudutkan korban dengan pertanyaan seperti "Kamu pakai baju pendek ya?", "Pasti kamu pakai baju seksi.", sampai "Makanya tutup aurat, kan kalau pakai baju terbuka laki-laki jadi tergoda." seakan-akan perempuan salah untuk memakai baju yang diinginkannya padahal pelaku yang tidak mampu mengontrol dirinya. 

Faktanya, banyak korban yang mengaku mengalami pelecehan seksual saat masih mengenakan seragam sekolah, pakaian kasual, bahkan pakaian menutup aurat. Secara logika, setiap anatomi tubuh manusia pasti sama. Letak kepala di atas, dua tangan di samping kanan dan kiri, dan kaki di bawah. Jika pelaku ingin melakukan pelecehan, maka terlepas dari apapun baju yang dikenakan korban, mereka pasti tetap bisa melakukan pelecehan karena mereka ingin karena pada akhirnya, manusia satu tidak akan bisa mengendalikan pikiran manusia lain.

  1. Anggapan tabu, kurangnya perhatian, dan kurangnya pengetahuan terhadap pelecehan seksual.

Anggapan tabu pelecehan seksual ini juga menjadi alasan mengapa pelecehan seksual kurang mendapat perhatian, sehingga banyak orang yang tidak tahu cara menghadapi dan menanggapinya. Pada akhirnya, hal ini membuat pelaku secara sadar dan tidak sadar melakukannya.

Lontaran kalimat, "Mungkin itu cara dia menunjukkan rasa sayang.", "Ah, biasalah, laki-laki kan guyonan-nya begitu." atau, "Kamu nggak malu kalau orang tahu kamu pernah dilecehkan? Mending nggak usah cerita ke siapa-siapa." sering kali ditujukan pada korban, membuat korban lagi dan lagi terintimidasi dan kesulitan menghentikan kasus pelecehan seksual karena sesudah mengalami trauma, mereka masih harus menerima komentar negatif dari sosial. 

Sebagai sesama manusia, kita wajib menghargai hak atas hidup satu sama lain, terlepas dari apapun jenis kelaminnya. Setiap orang berhak untuk merdeka atas dirinya dan merasa aman dalam hidupnya, sehingga tidak ada seorangpun yang boleh mengganggunya. 

Ada berbagai cara untuk menghentikan pelecehan seksual, seperti dengan mengedukasi orang sekitar tentang tindakan-tindakan yang sering tidak disadari termasuk dalam pelecehan seksual, seperti bersiul atau catcall untuk menggoda, memegang anggota tubuh tanpa persetujuan, sampai  melakukan hubungan seksual antara pasangan sudah menikah secara paksa. 

https://www.11thprincipleconsent.org/consent-propaganda/rape-culture-pyramid/
https://www.11thprincipleconsent.org/consent-propaganda/rape-culture-pyramid/

Cara lain adalah dengan melawan, konfrontasi pelaku, apalagi dari pihak yang lebih atau sama-sama memiliki privilege kekuasaan. Contohnya seperti bos yang langsung mengingatkan manager kantornya untuk berhenti melontarkan lelucon tidak pantas menjurus ke pelecehan seksual, teman laki-laki yang mengingatkan teman satu tongkrongannya untuk berhenti bersiul pada perempuan yang lewat, dan perempuan yang berani menyuarakan ketidaksukaannya pada lelucon yang melecehkan dirinya. 

Kita tidak bisa terus menuntut perempuan untuk berpakaian tertutup, kalau masalahnya ada di laki-laki yang tidak bisa mengontrol dirinya. Pada akhirnya, kewajiban untuk menjaga diri akan terus ada karena bahaya dapat datang di manapun juga, tetapi pengendalian diri agar tidak merugikan orang lain juga sama pentingnya. 

Jadi, mari mulai berdiri dan membela kaum kita, ibu kita, saudara perempuan kita, maupun teman-teman perempuan kita agar kehidupan menjadi sedikit lebih ringan untuk dijalani. 

Sumber Referensi

Brzycki, M. (2002). Gender Differences in Strength: A Comparison of Male and Female World-Record Performances in Powerlifting. Scholar Princeton Edu.

Halodoc, R. (2022). Halodoc.com. Retrieved from Dampak Kelebihan dan Kekurangan Hormon Testosteron: https://www.halodoc.com/artikel/dampak-kelebihan-dan-kekurangan-hormon-testosteron

Kemenpppa. (2023). Kekerasan Kemenpppa. Retrieved from Simfoni PPA: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Sakina, A., & A. Siti, D. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. Social Work Journal.

Triwijati, N. (2007). Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Journal Unair. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun