Siang merangkak petang, saat kulalui jalan Monkey Forest di kawasan Ubud, Bali. Wisatawan mancanegara maupun domestik hilir mudik. Hari ini memang hiruk pikuk, umat Hindu Bali tengah merayakan Hari Raya Galungan, kemenangan kebaikan atas keburukan, begitu yang kudengar dari mereka yang berbincang di salah sudut jalan.
[caption id="attachment_341697" align="aligncenter" width="472" caption="Sisi depan pasar Ubud/@NoMoreCry"][/caption]
Sebuah bangunan yang tak terlalu megah kulalui dengan biasa saja, karena corak gedung memang kebanyakan seperti itu di Ubud. Tapi mataku mulai tertarik saat kulihat tulisan “Pasar Umum Ubud,” ehm…bayangan tentang pasar tradisional tak layak, kotor, becek, riuh dan berbahaya hilang ketika melihat pasar satu ini. Ah, Bali memang istimewa, bisikku.
Aku baru dua minggu saja tinggal disini, banyak sisi Ubud yang belum kutahu termasuk pasar ini. Beruntung punya kesempatan bekerja di Ubud, merasakan denyut nadi kehidupan masyarakat Bali. Tidak sebagai wisatawan semata tapi sebagai bagian dari warganya. Ah, how lucky I am…
Kujejak langkah di halaman pasar, mataku langsung tertuju ke tempat-tempat sampah yang mudah ditemui, ukurannya besar, dan bukan asal tempat sampah. Tempat sampahnya baik dan ber-merk lagi. Hari ini pasar memang tak terlalu ramai, banyak kios yang tutup, tapi sebagian masih buka.
[caption id="attachment_341708" align="aligncenter" width="279" caption="Tempat sampah mudah dijumpai"]
Bangunan pasar khas sekali Bali, sisi-sisi pasar nampak klasik. Bahkan ada sisi pasar yang Nampak begitu artistik, tua tapi punya nyawa, begitu yang kurasakan. Kusandarkan tubuh di kursi kayu di sudut pasar, Bli Made Sudana (kalau aku gak salah ingat) pemilik warung jajanan tempat kuberistirahat memulai percakapan dengan menanyakan asalku dan sebagainya. Perbincanganpun makin renyah saat ia menceritakan pengalaman hidupnya. Dari beliau aku tahu ada beberapa kesepakatan bersama para pedagang di pasar Ubud yang sangat menarik ;
[caption id="attachment_341704" align="aligncenter" width="150" caption="Interaksi pedagang dan pembeli"]
Pertama, prihal kebersihan menjadi tanggung jawab bersama para pedagang. Mereka bertanggung jawab atas kebersihan lapak dan sekitar lapak mereka. Pedagang yang tidak menjaga kebersihan akan mendapat teguran. Para pedagang sadar betul kebersihan menjadi mutlak bagi mereka, karena wisatawan mancanegara biasanya sangat concern dengan prihal kebersihan dan hygiene. Kalau di lihat pasat-pasat memang pasar ini terbilang sangat bersih, paling tidak dibanding pasar-pasar tradisional yang pernah kukunjungi.
Kedua, para pedagang didorong untuk bisa berhasa asing, minimal Bahasa Inggris. Bagi pedagang yang sudah bisa diwajibkan membantu pedagang lain yang belum bisa. Pantas saja, wisatawan mancanegara betah berlama-lama di pasar ini, pikirku. Banner atau spanduk toko kebanyakan memang berbahasa asing. Mulai dari Inggris sampai China, bahkan ada yang mencantumkan bahasa Arab.
[caption id="attachment_341710" align="aligncenter" width="412" caption="Banner multi bahasa"]
Ketiga, bagi pedagang sayur, lauk pauk dan pernak pernik dapur lainnya disyaratakan untuk membersihkan sampah mereka sebelum jam 7 pagi. Memang aktivitas perdagangan sayur lebih dominan pada subuh hari.
Hari makin petang, langit mulai gelap, ini memang masa-masa awal penghujan di Bali. Kugegas langkah meninggalkan lapak Bli Made Sudana yang ramah. Kusempatkan menjelajah beberapa los pasar, kiosnya sempit-sempit tapi ditata dengan sangat artistik, jadi tak terkesan amburadul dan asal letak saja. Bau dupa wangi juga menjalari los-los pasar, memberi dimensi tersendiri bagi pengunjung.
[caption id="attachment_341709" align="aligncenter" width="240" caption="Los pasar"]
Pelancong dan pedagang sibuk cas cis cus ber-Inggris ria, senyum melekat erat di wajah para pedagang. Entah berhasil atau tidak negosiasi niaganya, senyum jadi semacam bahasa universal yang mereka gunakan. Tak ada perasaan takut atau ragu menawar di pasar ini, semua berlangsung santai saja.
Para pedagang kerajinan seni dan pedagang “basah” (sayur, ikan dll) memang berada di gedung yang berbeda, tapi kedua gedung nampak tak berbeda jauh; klasik, bersih dan penuh warna. Kotak sampah tersedia dimana-mana, satu hal lagi, meski Ubud terkenal dengan sulitnya mencari parkir kendaraan karena jalan yang sempit, tapi di pasar ini, sepertinya orang bebas-bebas saja meninggalkan kunci motor di motor, pertanda aman ini pasar.
Bali memang khas, Bali memang berbeda, tapi cara para pedagang menghargai tempat mereka mencari makan layak direplikasi di mana saja. Pengelolah pasar sepertinya hanya menjadi regulator dan fasilitator, pedaganglah yang akhirnya menjadi penentu kualitas pasar mereka. Wajah pasar boleh saja tradisional tapi cita rasanya internasional.
[caption id="attachment_341707" align="aligncenter" width="360" caption="Salah satu sudut pasar; klasik, artistik dan bernyawa..."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H