Mohon tunggu...
Ema Silaen
Ema Silaen Mohon Tunggu... lainnya -

Ain't diligento nor stupido!!!\r\nnomadstudent.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Alih Fungsi Danau Toba

29 September 2014   14:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam buku Indonesians: Potraits from an Archipelago terjemahan Indonesia, Indonesia Manusia dan Masyarakatnya, Ian Charles Stewart mendeskripsikan secara jelas pamor Danau Toba di mata dunia. Dikatakan bahwa tujuan pertama adalah menjumpai orang Indonesia yang hidup dalam masyarakat yang masih penuh dengan tradisi dan kebudayaan kuno dan terkadang secara menyolok berbeda dengan dunia modern. Dengan destinasi awal mengunjungi Danau Toba, danau Kepundan gunung yang terbesar di Asia.

Sebagai orang Sumatera Utara siapa yang tidak bangga saat membaca buku tersohor itu, Danau Toba disebutkan sebagai destinasi pertama dan bukan secara kebetulan karena bertendensi dari rujuk Sabang-Merauke. Ingat, secara geografis ada kota Sabang dan kota lainnya, namun Potensi dan Landscape Danau Toba telah meluluh lantakan rasa kagum Ian Charles Stewart.

Buku terbitan 1987 tersebut rasanya tidak surut oleh gulir angka zaman, justru malahan menimbulkan paradoks dengan komparasi kehidupan konvensional dan modern. Rekam era tersebut dikenal sebagai era kontemporer.

Kini, 2014 pertengahan tahun, saya berkesempatan mengunjungi Danau Toba untuk ketiga kalinya. Apa yang saya temukan tidak jauh berbeda hanya beda tipis, lagi-lagi masalah kebersihan lingkungan. Masyarakat setempat dan pengunjung tampaknya kurang menyadari apa itu "Pariwisata"

Pengunjung Danau Toba tentunya memiliki ekspektasi tinggi soal ledakan gunung Toba yang kini menjadi kaldera. Mulai dari airnya yang jernih, tawar, bentukan pulau Samosir ditengah danau, sisa kikisan kehidupan tradisional, dan banyak lagi.

Fokus utama adalah Danau Toba. Orang-orang penasaran tinggi tentangnya, bagaimana jika orang tersebut tiba di TKP dan yang dijumpainya tidak sesuai ekspektasi apalagi sesuai dengan buku. Kecewa adalah kata yang tepat bagi mereka.

Sangat disayangkan sekali fungsi pariwisata mulai bergeser entah ke arah mana dan defenisi mana. Masyarakat tidak peduli lagi dengan pencitraan Danau Toba, pengunjung secara langsung dapat menonton masyarakat melakukan aktifitas rumahan di sekitar Danau Toba. Misalnya saja mereka menajajakan dagangan kepada pengunjung namun tidak menyediakan tempat sampah, pada akhirnya Danau tak bersalah itu menjadi korban tumpukan sampah dengan bau busuk melebihi pasar tradisional perkulakan ikan di Muara Angke, Jakarta.

Bukan hanya itu pencemaran lingkungan datang dari arah yang lain yaitu sanitasi dan kesehatan. Oragn-orang memanfaatkan air danau yang tawar secara langsung, misalnya mencuci di jamban dengan perasan sabun maupun deterjen. Ingat, Danau Toba bukan hanya milik masyarakat lokal. Ia adalah milik semua umat dengan disahkannya (entah kapan tepatnya) sebagai destinasi wisata.


Aktifitas pemanfaatan ini cukup mengganggu pemandangan yang tadinya ingin melihat dasar Danau atau biota yang hidup di dalamnya, eh malah melihat makhluk yang hidup di atas danau. Karena danau telah menjadi keruh akibat aktifitas tidak bertanggung jawab ini, maka tidak terlihat apa-apa dari permukaan danau jika posisi kita di atas kapal. Apa gunanya menonton orang yang sedang mencuci pakaian di Danau.

Daripada wasting time mending ke destinasi lain dengan pemandangan alam memukau bukan pemandangan aktifitas manusia. Toh, di tempat saya tinggal atau bagi saya sendiripun aktifitas orang mencuci adalah hal yang terlalu biasa. Tidak wow gitu.

Lagi, pencemaran tidak hanya dari mereka-mereka yang disebut tadi. Para gembala kerbau membawa kerbaunya mandi di Danau Toba. Itu saya lihat secara langsung. Para kerbau itu menikmati mandi sinar matahari sore yang menawan. Sebelum terjun ke air mereka dibiarkan ada di sekitar pinggiran sambil menunggu sore. Kotoran kerbau-kerbaumenimbulkan tidak hanya polusi aroma juga polusi pemandangan. Di belahan danau bagian lain masyarakat memanfaatkan air danau sebagai kebutuhan sehari-hari. Berbagai campuran tidak steril telah mencemari air danau.


1411949182336179500
1411949182336179500

1411949229414529288
1411949229414529288

1411949126333831542
1411949126333831542

Saya datang untuk menikmati potrait Tuktuk dari seberang sini. Eh malah si kerbau teronggok di depan mata sambil berlarian dengan anaknya yang mungil. Waduh decak kagum saya berubah menjadi luapan kesal. Entah kemana harus menyampaikan opini ini, saya merasa dirugikan dengan berita yang beredar mengenai kabar gembira soal Danau Toba. Ditambah lagi kini Danau Toba memiliki slogan "Negeri indah, Kepingan Surga."

Sebuah pepatah mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada surga melainkan hanya kepingannya saja.

Kutipan asli "On earth there is no heaven but there are the pieces of it" oleh Jules Renard. Well, entah surga yang bagaimana yang dimaksud oleh Danau Toba jika environment-nya masih begitu-begitu saja. Atau malah semakin bobrok ke depannya jika tidak dibenahi. Entahlah, saya tidak tahu. Saya bukan seorang teleporter!!

Saya juga tidak tahu menahu tentang jumlah pengunjung Danau Toba pertahun, perbulan, perminggu, perhari, atau bahkan perjam, oh mungkin perdetik. Bagaimana dengan angka yang saya pertanyakan ini?
Bukankah ini mempengaruhi berbagai aspek rotasi kehidupan di Danau Toba?

Ya, kesimpulannya Danau Toba telah beralih fungsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun