PENGERTIAN, DAN MENGAPA KRISIS BISA TERJADI
Krisis keuangan global 2008 merupakan salah satu peristiwa ekonomi paling mengejutkan dalam sejarah modern yang mengubah wajah sistem keuangan dunia. Krisis ini bermula dari sejumlah faktor yang saling berinteraksi, termasuk praktik peminjaman yang tidak terkontrol, spekulasi yang berlebihan dalam pasar real estat, dan lemahnya pengawasan regulasi terhadap lembaga keuangan. Pada awal tahun 2000-an, tepatnya antara tahun 2001 hingga 2006, Amerika Serikat mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, diikuti oleh meningkatnya permintaan terhadap rumah. Banyak bank dan lembaga keuangan mulai menawarkan hipotek subprime, yaitu pinjaman Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan suku bunga tinggi untuk individu dengan kredit buruk, tanpa mempertimbangkan risiko yang ada. Hal ini menyebabkan lonjakan dalam harga rumah dan menciptakan gelembung properti yang besar.
Ketika suku bunga mulai naik pada tahun 2006, banyak peminjam yang tidak mampu membayar cicilan hipotek mereka. Pada tahun 2007, angka kegagalan pinjaman mulai meningkat, yang mengakibatkan mulai runtuhnya harga rumah. Kejatuhan ini memicu gelombang gagal bayar yang lebih luas dan menimbulkan krisis likuiditas di pasar keuangan. Pada bulan September 2008, kebangkrutan Lehman Brothers, sebuah bank investasi terkemuka, menjadi titik tolak krisis yang lebih mendalam. Kebangkrutan ini menyebabkan ketidakpastian yang meluas di pasar global, memperburuk krisis kepercayaan di antara lembaga keuangan yang saling bergantung.
Seiring dengan itu, dampak dari krisis ini meluas ke seluruh dunia, memicu resesi di banyak negara. Negara-negara seperti Spanyol, Irlandia, dan Yunani mengalami dampak signifikan, berujung pada program penyelamatan dan intervensi dari pemerintah. Krisis ini bukan hanya berpengaruh pada sektor keuangan, tetapi juga berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan meningkatnya pengangguran dan penurunan kualitas hidup secara umum. Kemudian bagaimana keadaan Indonesia pada saat terjadi peristiwa ini?
KONDISI INDONESIA SAAT KRISIS TERJADI DAN ANTISIPASI YANG DILAKUKAN
Saat krisis keuangan global 2008 melanda, Indonesia berada dalam posisi relatif lebih stabil dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Meskipun dampaknya dirasakan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, berbagai langkah yang diambil oleh pemerintah dan pihak terkait membantu meminimalisir efek negatif yang lebih parah. Di tahun 2008, pemerintah Indonesia melihat ancaman baru ketika pada bulan Oktober, pasar saham dan nilai tukar rupiah mulai mengalami volatilitas yang tinggi.
Salah satu faktor yang membantu Indonesia mengatasi krisis ini adalah fundamental ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Pasca krisis moneter 1997, Indonesia telah melakukan reformasi ekonomi yang signifikan, termasuk memperkuat sektor perbankan melalui peningkatan modal dan penerapan regulasi yang lebih ketat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terjaga pada angka 6,0%, meskipun ada tanda-tanda perlambatan. Namun, Indonesia tidak luput dari dampak dari krisis tersebut, yang ditunjukkan oleh penurunan investasi asing dan keluarnya modal besar-besaran dari pasar.
Untuk mengantisipasi dampak lebih lanjut dari krisis keuangan global, pemerintah Indonesia melakukan sejumlah langkah strategis. Salah satu tindakan penting diambil oleh Bank Indonesia, berupa menurunkan suku bunga untuk mendorong likuiditas (kemudahan perubahan aset menjadi uang) di pasar. Selain itu, pemerintah juga meluncurkan program stimulus ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat daya beli masyarakat serta dukungan kepada sektor-sektor yang sudah terdesak. Pada bulan Desember 2008, pemerintah mengumkan rencana untuk meningkatkan belanja infrastruktur, yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan sedikit memicu pertumbuhan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H