Mohon tunggu...
Nol Deforestasi
Nol Deforestasi Mohon Tunggu... Petani - profil
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nusantara Hijau

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mismanajemen Ancam Ketahanan Pangan

10 Mei 2019   16:24 Diperbarui: 10 Mei 2019   17:01 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketahanan pangan. Bulelengkab.go.id

Masa depan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau lebih akrab disapa Bulog boleh jadi ditentukan tahun ini.

Tahun 2019 menjadi tahun yang berat sekaligus menentukan bagi Bulog, dimana tugas pelayanan public alias public service obligation (PSO) dalam penyediaan dan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat berpendapatan rendah berkurang drastis. 

Ini terjadi seiring selesainya transisi program bantuan pangan nontunai (BPNT). Pertengahan tahun ini, diperkirakan 15,5 juta rumah tangga sasaran yang semula menerima beras sejahtera (Rastra) pengganti Raskin bakal terlayani semua. Sebagai otoritas pelaksana, Kementerian Sosial memastikan target itu bakal tercapai.

Alhasil, Bulog pun ketar-ketir dan terombang-ambing. Bagaimana tidak, tugas-tugas PSO Bulog dikempiskan, bahkan dihapuskan. Tahun ini bisa jadi amat menentukan bagi masa depan Bulog: tetap eksis atau rugi besar? 

Sinyalemen melempemnya Bulog sudah mulai terlihat jelas. Tentu kita ingat target pengadaan beras oleh Bulog tahun 2019 sebesar 1,8 juta ton. Hingga 25 April 2019, Bulog baru mampu menyerap sebanyak 274.984 ton beras. Sedikit sekali bukan? Mengingat dikebirinya tugas PSO Bulog mulai tahun ini, rasanya nyaris mustahil BUMN logistik pangan tersebut mampu mencapai targetnya.

Yang terbaru adalah menumpuknya stok beras di gudang-gudang penyimpanan Bulog akibat penyaluran yang tidak optimal. Akibatnya kualitas beras berkurang dan pada akhirnya tidak terpakai.

Pemerintah tampaknya "iba" dengan nasib Bulog. Wakil Presiden Jusuf Kalla bilang pemerintah tengah berencana pemerintah untuk mengubah skema bantuan sosial pangan untuk masyarakat yang selama ini diberikan dalam bentuk bentuk tunai, kembali menjadi bantuan beras guna mengoptimalkan penyerapan stok di gudang-gudang Bulog. 

Tandaseru.id
Tandaseru.id

"Sekarang kita akan kembalikan lagi ke raskin, dalam bentuk materi, jadi beras langsung ke masyarakat. Kenapa demikian, karena Bulog tidak tahu mau diapakan berasnya," terang Kalla saat memberikan pengarahan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2019 di Jakarta, pekan ini.

Bisa dimaklumi, ketika program Rastra berubah jadi BPNT, secara teoritis tak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang dalam setahun bisa mencapai 2,5 juta--3,4 juta ton. Tanpa outlet penyaluran yang jelas dan pasti, tugas penyerapan gabah atau beras petani sama saja dengan membuat BUMN ini pelan-pelan gulung tikar.

Ketahanan Pangan Terancam

Usut punya usut, saat ini masih ada 2,050 juta ton setara beras yang mangkrak di gudang-gudang milik Bulog. Beras tersebut merupakan kombinasi dari pengadaan dalam negeri sepanjang tahun 2018, pengadaan melalui impor, dan pengadaan dalam negeri pada 2019.

Ya tentunya kita masih ingat bagaimana sepanjang tahun 2018 Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai US$1,03 miliar. Angka itu jauh melonjak drastis jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2016 impor beras tercatat sebanyak 1,28 juta ton dengan nilai US$531,84 juta. Pada 2017 sebanyak 305,27 ribu ton dengan nilai US$143,64 juta.

Besarnya tonase impor beras pada 2018 bisa jadi dikarenakan stok awal tahun lalu yang hanya tersisa 700 ribu-800 ribu ton beras. Ini merupakan jumlah yang amat kecil dibandingkan dengan stok awal selama satu dekade terakhir yang berkisar 1,3 juta-1,5 juta ton. 

Disini jelas terlihat adanya mismanajemen pangan. Besarnya stok yang mangkrak di gudang-gudang penyimpanan Bulog, sekitar 2 juta ton, membuat serapan gabah dan beras dari petani sangat rendah. Hal ini diperkeruh dengan fakta dimana Rastra telah diubah jadi BPNT, sehingga secara teori tak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang biasanya dalam setahun bisa mencapai 2,5 juta--3,4 juta ton. 

Belum lagi Kementerian Pertanian (Kementan) yang tampak "tidak peduli" dengan kondisi Bulog. Mereka masih saja menekan Bulog untuk mengejar realisasi penyerapan beras di panen raya, yakni hingga 20 ribu ton per hari, agar target penyerapan beras petani sebesar 1,8 juta ton hingga akhir tahun ini tercapai.

Kacau sudah manajemen produksi dan distribusi pangan nasional. Masih ingat soal temuan 6.000 ton beras membusuk di gudang Perum Bulog Sub Divre Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, oleh tim Sergab TNI AD medio Februari 2019 lalu?

Itu hanya sebagin kecil yang terdeteksi. Masih ada ratusan gudang Bulog lainnya diluar sana. Pemerintah pasti sudah mencium aroma kegagalan ini. Jika tidak, tidak mungkin pernyataan "Sekarang kita akan kembalikan lagi ke raskin, dalam bentuk materi, jadi beras langsung ke masyarakat. Kenapa demikian, karena Bulog tidak tahu mau diapakan berasnya," terucap dari mulut Wapres Jusuf Kalla.

Dok. sindonews
Dok. sindonews

Acuan:

Simalakama Penyerapan Beras Bulog

Wapres: Stok Beras Bulog Numpuk, Bansos Pangan Bakal Kembali ke Raskin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun