Mohon tunggu...
Nol Deforestasi
Nol Deforestasi Mohon Tunggu... Petani - profil
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nusantara Hijau

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Industri Sawit Teratas dalam Tindak Pencucian Uang

1 April 2019   17:56 Diperbarui: 1 April 2019   17:59 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum kunjung lepas dari predikat penyebab deforestasi dan kerusakan lingkungan, industri sawit kembali diterpa isu negatif.

Kali ini, tidak tanggung-tanggung. Industri yang selalu dibangga-banggakan dan dibela pemerintah itu disebut sebagai, dalam istilah "halus"-nya, industri yang berada di posisi puncak dalam menyumbang kebocoran perdagangan ekspor Indonesia. Dalam istilah yang lebih "keras", menghindari pajak alias money laundering atau pencucian uang!

idnews.co.id
idnews.co.id
Lembaga riset Perkumpulan Prakarsa menemukan sawit sebagai komoditas yang mengalami kebocoran perdagangan ekspor paling besar, dibandingkan lima komoditas unggulan perdagangan lainnya, yakni batu bara, tembaga, karet, kopi dan udang-udangan.


Rahmanda Muhammad Thaariq, salah satu peneliti Prakarsa, mengungkapkan riset menemukan sepanjang kurun 1989-2017, nilai total dana gelap yang masuk ke dalam negeri dengan cara over-invoicing US$101,49 miliar (sekitar Rp1.420 triliun). Sedangkan aliran keuangan gelap yang keluar dari Indonesia dengan cara under-invoicing mencapai US$40,58 miliar atau setara Rp 568,12 triliun.

Dielaborasi lebih jauh, bisnis sawit menyumbang "pemasukan" terbesar dengan nilai US$40,47 miliar. Batu bara menduduki peringkat kedua dengan nilai US$23,29 miliar, diikuti karet US$17,91 miliar, tembaga US$14,57 miliar, kopi US$2,68 miliar, dan udang-udangan senilai US$2,54 miliar.

Dibandingkan dengan lima komoditas lain, aliran keuangan gelap masuk dari komoditas minyak sawit merupakan yang tertinggi mencapai 35,62% terhadap keseluruhan nilai ekspor. Proporsi aliran keuangan gelap masuk paling tinggi dari komoditas minyak sawit terjadi pada 2001 dengan nilai mencapai 167,5%.

Selain itu, minyak sawit juga menjadi komoditas yang mengalami kebocoran perdagangan keluar dengan cara under-invoicing, dengan nilai paling besar adalah negara Rusia yang mencapai US$1,28 miliar.

"Dalam beberapa tahun terakhir, komoditas minyak sawit mengalami tren peningkatan aliran keuangan gelap masuk secara neto yang semakin besar," katanya.

Shutterstock
Shutterstock
Riset Prakarsa ini didasari penghitungan data nilai ekspor yang diperoleh dari United Nations Comtrade Database dengan klasifikasi Harmonized System. Untuk menemukan adanya aliran dana gelap, pihaknya menggunakan pendekatan Global Financial Integrity, yang dilakukan lewat menghitung kesalahan tagihan perdagangan atau trade misinvoicing, baik berupa over-invoicing maupun under-invoicing.

Kesalahan tagihan perdagangan dapat dikalkulasi dengan metodologi Gross Excluding Reversal (GER), yakni mengkalkulasi ketidakcocokan pada laporan nilai ekspor suatu negara dengan laporan nilai impor oleh negara lain. "Negara lain mengklaim mengimpor dari Indonesia, sedangkan di sini tidak mencatat ekspor tersebut," kata Thaariq.

Sebagai informasi, over-invoicing adalah tindakan menyatakan  harga suatu barang pada  faktur sebagai lebih dari  harga yang  sebenarnya dibayar, sementara under invoicing adalah tindakan sebaliknya.

Over-invoicing dilakukan untuk mengurangi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak ekspor yang berlaku. Pelaku bisnis akan mendapatkan keuntungan dari pengurangan bea impor atas impor bahan baku dan pengurangan PPN untuk barang yang diekspor. Sementara under-invoicing ekspor digunakan untuk mengurangi pembayaran pajak dan royalti di dalam negeri.  Praktik manipulatif ini dilakukan demi menghindari pajak.

Hasil riset menemukan adanya sejumlah negara yang mencatat impor dari Indonesia, namun tidak ada catatan ekspor oleh negara yang bersangkutan di dalam negeri. Contoh tindak fiktif manipulatif adalah ekspor komoditas udang-udangan ke Luxembourg dengan nilai ekspor US$1,6 juta, Guatemala sebesar US$887 ribu, dan Bermuda dengan nilai US$412 ribu.

Tiap tahunnya Indonesia mengalami rata-rata aliran keuangan gelap keluar pada enam komoditas ekspor unggulan sebesar US$233 juta. Sementara aliran keuangan gelap yang masuk, rata-rata mencapai US$583 juta.

Dengan demikian, potensi kehilangan penerimaan pajak Indonesia dalam kurun waktu tersebut mencapai US$11,1 miliar atau setara kira-kira Rp155,4 triliun.

Acuan:

Riset bisnis minyak sawit peringkat pertama aliran dana gelap

Panama Papers dan praktik penghindaran pajak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun