"Kalau Indonesia mau menggugat melalui WTO, saya pikir itu langkah yang tepat. Kami tentu ingin meningkatkan perdagangan dengan Indonesia lebih jauh, baik sawit maupun produk lainnya, tapi melalui cara-cara yang berkelanjutan, yang terbaik bagi planet kita," jelasnya.Â
Seperti diketahui, dalam rancangan terbaru regulasi Union Delegated Act RED (Renewable Energy Directive) II yang disahkan pada 13 Maret lalu, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran. Oleh karena itu, pemerintah Uni Eropa akan menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis CPO hingga 0% pada 2030.Â
Adapun kajian tersebut menyebutkan bahwa hanya 8% dari ekspansi produksi minyak kedelai (soybean oil) dan 1% dari minyak rapeseed dan bunga matahari (sunflower oil) yang berkontribusi pada kerusakan yang sama, seperti dilansir dari Reuters. Tiga komoditas ini merupakan kompetitor sawit dalam pasar minyak nabati global.
Komisi Eropa sendiri menetapkan angka 10% sebagai batas untuk menentukan produksi tanaman minyak nabati mana yang lebih berbahaya bagi lingkungan. Ketentuan ini diterapkan melalui kriteria indirect land use change (ILUC) yang oleh negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia disebut sebagai kriteria yang cacat secara ilmiah dan tidak diakui secara universal.Â
Dalam waktu dua bulan sejak 13 Maret lalu, rancangan regulasi RED II yang diajukan Komisi Eropa akan dibawa ke dalam persidangan Parlemen Eropa untuk disahkan menjadi suatu regulasi dengan kekuatan hukum yang mengikat.Â
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, Indonesia mengekspor 4,78 juta ton CPO ke Uni Eropa sepanjang tahun lalu. Dari jumlah tersebut, sekitar 61% di antaranya digunakan untuk biofuel.
Sekalipun tampak berani, tidak semua pihak mendukung keputusan pemerintah tersebut. Aktivis Dandhy Laksono menilai, boikot akan mengancam keberlangsungan investasi asing di dalam negeri. Lagipula belum tentu benar argumentasi yang mengatakan bisnis sawit telah menghidupi jutaan orang seperti yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini.
Lewat akun twitter @Dandhy_Laksono secara khusus ia mempertanyakan argumentasi Luhut dan Darmin yang menuduh UE melakukan proteksi terselubung dengan membatasi sawit Indonesia karena lebih murah dibanding minyak nabati produksi Benua Biru.
"Propaganda Darmin dan Luhut: Eropa melakukan proteksi terselubung dengan membatasi sawit RI karena lebih murah dibanding minyak nabati Eropa. Mengapa bisa murah? Tanahnya dari menggusur rakyat, land clearingnya bakar lahan, buru dibayar rendah, dan standar lingkungannya jeblok."Â
Acuan: