Perwujudan cita-cita luhur Reforma Agraria yang dicoba dilaksanakan pemerintahan Jokowi-JK lewat pembagian sertifikat tanah gratis sebagai bagian dari program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) terbukti belum mampu "memerdekakan" seluruh tumpah darah Indonesia.
Apa pasalnya? Meski Jokowi menegaskan bahwa tak ada biaya yang harus dikeluarkan saat mengurus sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional (BPN), ternyata masih ada saja yang harus membayar.

Salah seorang warga di Kelurahan Pondok Cabe Ilir bercerita bahwa label gratis untuk sertifikat tanah tersebut tidak benar. Ia mengatakan demikian karena keluarganya diminta membayar Rp 2,5 juta untuk mengurus sertifikat tanah dalam program kebanggaan Jokowi itu.
"Bapak saya ikut program ini kan karena katanya gratis, tapi pas tanya ke RT ternyata harus bayar sekitar Rp 2,5 juta," kata warga yang enggan disebut Namanya.
Parahnya lagi, menurut penuturannya ternyata kejadian serupa terjadi bukan hanya di wilayahnya saja. Di beberapa wilayah lain pun disebut harus membayar untuk mengikuti PTSL. Bahkan bayarannya lebih besar, rata-rata pembayarannya berkisar di atas Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta.
Yang lebih parah, Naneh, seorang lansi berusia 60 tahun, diharuskan membayar hingga Rp200 juta jika ingin memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan di atas tanahnya sekarang. Ini karena tanah yang didiami pemilik warung nasi di RT 2 RW 5 ternyata milik pemerintah daerah.
Besaran Rp 200 juta muncul dari hitungan uang pemasukan untuk daerah, rumusnya 25 persen kali luas tanah kali NJOP tahun berjalan menurut Pergub Nomor 239 Tahun 2015. "Saya enggak sanggup, saya mau batalkan saja," ujarnya seperti dikutip dari  Tempo.co pada Rabu 13 Februari 2019.
Sertifikasi Tanah Bawa Masalah Baru
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menilai, program Reforma Agraria yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK tidak berhasil mengurangi monopoli kepemilikan lahan garapan di berbagai daerah. Sebaliknya, program reforma agraria yang mengandalkan kebijakan sertifikasi tanah rakyat tersebut justru meningkatkan monopoli tanah di tangan segelintir tuan tanah besar baik perusahaan swasta maupun negara.
Mereka memandang program sertifikasi tanah Jokowi-JK hanyalah land administration project (LAP) atau hanya mendata dan melegalisasi tanah-tanah yang sebelumnya sudah dimiliki perorangan.
"Secara hakikat, reforma agraria yang dilakukan Jokowi-JK adalah sertifikasi tanah. Jadi, tidak ada sejengkal pun tanah yang diambil dari tangan tuan-tuan tanah dan dibagikan kepada petani tak bertanah. Jadi, tak sejengkal pun tanah yang dimonopoli berhasil dikurangi melalui program itu," ujar Ketua Umum AGRA Rahmat Ajiguna.
Jika ditelaah lebih juah, program sertifikasi tanah Jokowi-JK justru menimbulkan setidaknya empat masalah baru. Masalah pertama, tidak ada sertifikasi gratis seperti yang dijanjikan pemerintah. Karena di sejumlah tempat, petani dibebani biaya Rp300 Â ribu sampai Rp700 ribu untuk keperluan administrasi.
Kedua, banyak sertifikat tidak dibagikan kepada rakyat setelah seremonial yang dilakukan Presiden Jokowi. Sebab, banyak sertifikat masih tertahan di BPN. Ketiga, terdapat sertifikat yang sudah dibagikan ternyata "bodong", sehingga tidak dapat dianggunkan ke bank, karena belum melunasi Biaya Tunggakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPH TB).
Terakhir, tidak benar sertifikasi untuk mengatasi konflik agraria. Pasalnya, tidak ada tanah rakyat yang terlibat konflik yang disertifikasi. Sertifikasi tanah rakyat banyak dilakukan sekitar di area rencana pembangunan proyek infrastruktur.
Padahal, sertifikasi tanah tanpa merombak pola monopoli kepemilikan tanah justru menjadi petaka bagi kaum petani. Program ini akan mempercepat dan memperdalam kaum tani terjerat dalam peribaan yang mencekik. Sebab, sertifikat akan menjadi anggunan petani ke bank. Akhirnya, tanah-tanah mereka akan hilang disita atau terjual, karena tidak dapat menutupi biaya produksi yang tinggi akibat mahalnya biaya produksi pertanian, rendahnya harga produksi petani, dan mahalnya biaya hidup.
Ilusi Perhutanan Sosial

Pasalnya, ketika HGU suatu perusahaan yang memonopoli tanah habis, para pebisnis dimudahkan kembali mengurus perpanjangan izin hak tersebut. Sedangkan program "Perhutanan Sosial" yang terus digencarkan oleh Jokowi-JK, hingga memobilisasi berbagai pihak untuk mendukung, bukanlah memberikan akses bagi petani tak bertanah untuk dapat mengelola tanah.
Perhutanan Sosial, pada kenyataanya dijalankan oleh pemerintah Jokowi untuk merampas kembali tanah-tanah yang kekinian sudah di garap dan di kelola oleh kaum tani. Program itu juga digunakan untuk "mengikat" petani tak bertanah menjadi tenaga kerja, yakni sebagai penggarap lahan-lahan milik tuan tanah dengan dikenakan swa tanah melalui konsep bagi hasil yang tak menguntungkan.
Acuan:
Kata Jokowi sertifikasi tanah gratis kok ada warga bayar Rp 25 juta
Sertifikat Jokowi harus ditebus Rp 200 juta, nenek ini menangis
Aktivis kritik bagi-bagi sertifikat tanah ala Jokowi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI