Mohon tunggu...
Nol Deforestasi
Nol Deforestasi Mohon Tunggu... Petani - profil
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nusantara Hijau

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tommy dan Tentara di antara Jokowi dan Irian(a)

11 Maret 2019   15:38 Diperbarui: 11 Maret 2019   15:49 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desember 2018 lalu Indonesia dikejutkan oleh pembunuhan 31 pekerja konstruksi mega proyek Trans Papua yang diduga dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata, meskipun rinciannya masih belum jelas. Ketakutan bahwa kekerasan akan mengalami eskalasi pun menyeruak.

Ironisnya, peristiwa ini terjadi ketika pemerintah Indonesia membuat upaya luar biasa untuk mengembangkan wilayah Papua. Selama masa pemerintah Presiden Joko Widodo yang pertama, tidak ada daerah lain di luar Jawa yang mendapat begitu banyak perhatian, dibuktikan dengan kunjungan sebanyak dua hingga tiga setiap tahunnya dalam beberapa tahun terakhir.

Proyek Trans Papua sepanjang 4.330 km tersebut sejatinya dimulai sejak era Presiden BJ Habibie. Namun, pembangunannya baru dilakukan secara masif pada 2015 di era kepemimpinan Jokowi. Jalan raya ini diharapkan akan membawa pembangunan konektivitas, efisiensi biaya logistik dan transportasi bagi masyarakat Papua.

Entah apa alasannya, pembangunan mega proyek tersebut terus mendapatkan "rongrongan" dari kelompok bersenjata tertentu. Kamis 7 Maret 2019 lalu, sejumlah anggota TN yang tengah melakukan pergeseran pasukan untuk menjaga pembangunan proyek Trans Papua tiba-tiba  diserang oleh kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya. Dalam insiden itu, 3 prajurit TNI tewas, sementara di pihak penyerang diperkirakan sekitar 10 orang tewas. Buntut penembakan tersebut, diperkirakan sebanyak 2.000 orang terpaksa mengungsi ke Wamena, Papua

Meski sangat besar potensi terjadinya kembali baku tembak, proyek jalan Trans Papua diklaim akan terus berlanjut. TNI tengah mengirimkan 600 personel tambahan yang berasal dari Divisi Kostrad III Makassar dan Batalyon Zeni Tempur 8 Makassar untuk ditempatkan di Kabupaten Nduga, Papua. Personel tambahan nantinya akan disebar untuk melanjutkan sekaligus mengamankan pembangunan proyek infrastruktur tersebut.

"Saat ini personel sudah sampai di Timika, 600 prajurit akan mulai kami berangkatkan hari ini ke Nduga," ujar Kepala Penerangan Kodam VII/Cenderawasih Kolonel Infanteri Muhammad Aidi seperti dikutip dari Tempo.co, akhir pekan lalu.

Langkah eskalasi pasukan tersebut menuai reaksi negatif dari banyak kalangan. Para aktivis kemanusiaan dan Lingkungan Hidup, khususnya pemerhati Papua, menilai pemerintah lebih mementingkan keberlanjutan pembangunan proyek tersebut, ketimbang kondisi rakyat Nduga yang sampai harus mengungsi demi nyawa. Motif pemerintah juga dipertanyakan ketika memilih menyebar  personel untuk melakukan penjagaan ke kampung-kampung yang diduga menjadi basis kelompok bersenjata demi memutus jalur dan sumber logistik, ketimbang untuk melindungi masyarakat sekitar daerah konflik dari ancaman berulangnya kejadian serupa.

Twitter @WenePapua1
Twitter @WenePapua1

"600 anggota TNI sdh tiba di Timika utk jaga trans Papua. Pak @jokowi lebih prioritaskan Trans Papua daripada ribuan rakyat yang mengungsi ketakutan? Apa benar rakyat Papua tak penting bagi negara, yg penting adalah kekayaan Papua?" cuit akun @WenePapua1 pada 9 Maret 2019 lalu.

Gejala Militerisme Jokowi

Suatu hal yang ditunjukkan selama 17 tahun sejak wilayah itu diberikan status "Otonomi Khusus" adalah bahwa pembangunan ekonomi dan infrastruktur saja tidak cukup. Jokowi gagal memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua.

Oleh sebab itu, demi ambisi menuaikan janji lewat program kerja "Nawacita," yang salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran, mau tidak mau Jokowi wajib merampungkan target pembangunan jalan seluas 1.066 km di masa pemerintahannya ini.

Pengambilalihan pembangunan infrastruktur oleh pihak militer memperlihatkan gejala militerisme Jokowi yang makin kental. Pengiriman personel tambahan TNI ke Papua pasca serangan bukan tidak mungkin akan berujung pada diberlakukannya kembali Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, seperti di masa Orde Baru. TNI sendiri memastikan tidak akan melakukan Operasi Militer di Papua, namun siapa yang tahu seperti apa konflik ini akan berkembang.

Kecenderungan militerisme Jokowi belakangan juga tampak lewat keputusan untuk memperpanjang usia pensiun TNI. Hal ini tentu saja akan meningkatkan jumlah perwira TNI aktif, yang nantinya bisa saja berpotensi mendorong kembalinya Dwifungsi TNI. Belum lagi peristiwa penangkapan aktivis Robertus Robert hanya karena menyanyikan lagu plesetan Mars ABRI.

Aktivis Dandhy Laksono menilai, pembagunan proyek Trans Papua lebih dekat dengan kepentingan militer dan investasi, sehingga kerap kali luput melihat masalah sosial-budaya dan ekonomi masyarakat di Kawasan tersebut. "Benar Filep Karma, trans Papua lebih dekat dengan isu militer dan investasi daripada sosial ekonomi warga," ujar Dandhy lewat akun Twitter @Dandhy_Laksono pada Sabtu, 9 Maret 2019 lalu.

Twitter @Dandhy_Laksono
Twitter @Dandhy_Laksono


Memuluskan Langkah Tommy Soeharto?

Namun, satu hal menarik yang wajib kita cermati bersama adalah fakta bahwa Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Ketua Umum Partai Berkarya, anak dari diktator Orde Baru, HM Soeharto, memilih Papua sebagai dapil-nya untuk Pileg 2019.

Diatas kertas, anak bungsu dari Klan Cendana tersebut bilang faktor sejarah menjadi penentu pilihan tersebut. Maklum, ayahnya, Soeharto yang saat itu masih berpangkat Mayjen TNI, menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada 1962. Tahun dimana ia lahir.

Lantas, apakah ini semua hanya kebetulan belaka? Tommy Soeharto maju sebagai caleg dari dapil Papua dan disaat yang sama pemerintah mengeskalasi pasukan TNI ke wilayah Papua? Apakah mungkin gejala kembalinya militerisme di Papua adalah upaya mengawal langkah Tommy Soeharto dalam Pileg 2019?

Atau mungkinkah hal tersebut merupakan cara Jokowi "meninabobokkan" anak eks penguasa Orde Baru agar tidak mengganggu politik istana selama Pilpres 2019? Atau mungkinkah penangkapan aktivis kiri Robertus Robert adalah cara Jokowi "memanjakan" Tommy yang mencuit "Saya Bangga Menjadi Anak Pemberantas PKI dan Pembela Pancasila itu' itu?

Twitter @Tommysoeharto_7
Twitter @Tommysoeharto_7
Tidak ada yang tahu pasti. Dalamnya lautan bisa kita ukur, namun dalamnya hati Presiden Jokowi, siapa tahu?

Yang pasti konflik bersenjata yang menaungi pembangunan mega proyek tersebut hal itu menunjukkan bahwa pendekatan pemerataan pembangunan infrastruktur tidak serta merta dapat memulihkan situasi keamanan dan menyelesaikan kekerasan di tanah Papua. Masalah di Papua lebih dari sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan.

Acuan

TNI kirim 600 personel tambahan untuk amankan Nduga

Jokowi, Trans Papua, dan ambisi menunaikan janji 

Twitter @WenePapua1

Twitter @Dandhy_Laksono

Twitter @Tommysoeharto_7

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun