Jakarta baru saja dinobatkan sebagai kota yang memiliki tingkat polusi udara terburuk di Asia Tenggara pada 2018.
Data aplikasi pemantau polusi udara, AirVisual, dan Greenpeace Indonesia menyebut indeks partikulat debu melayang atau PM 2,5 mencapai 45,3 mikrogram per meter kubik udara. Padahal standar aman yang ditetapkan World Health Organizaton (WHO) adalah 10 mikrogram per meter kubik udara.
"Jakarta Peringkat Satu di Asia Tenggara untuk Kualitas Udara Terburuk. Itu hasil laporan Kualitas Udara Dunia 2018 oleh Air Visual didasarkan pada tinjauan, kompilasi, dan validasi data dari puluhan ribu stasiun pemantauan kualitas udara di seluruh dunia," cuit Greenpeace Indonesia dalam akun twitter @GreenpeaceID beberapa hari lalu.
Rata-rata harian kualitas udara di Jakarta lebih buruk 4,5 kali lipat dari batas aman dan batas sehat yang ditetapkan oleh WHO. Angka itu juga meningkat dibanding tahun 2017 di mana rata-rata harian kualitas udara di Jakarta adalah 29,7. Tingginya polusi udara di ibu kota disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor yang terus meningkat jumlahnya setiap tahunnya.
Dikutip dati data AirVisual, kota Hanoi di Vietnam menempati posisi kedua kota berpolusi udara terburuk di Asia Tenggara dengan 40,8 mikrogram per meter kubik udara. Dari kota-kota yang menempati posisi 15 besar, 9 kota diantaranya berasal dari Thailand. Â Kota Samut Sakhon di Thailand menempati posisi ketiga dengan polusi udara 39,8 mikrogram per meter kubik udara. Di posisi keempat dan kelima, masing-masing Tha Bo dan Saraburi juga dari Thailand, dengan indeks polusi 37,6 dan 37,2 mikrogram per meter kubik udara.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, ada beberapa hal yang membuat Jakarta menjadi raja polusi udara Asia Tenggara. Gas buang kendaraan, keberadaaan kawasan industri dan pabrik, serta Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi beberapa penyebabnya. "Sekitar 35-38% (polusi udara) disumbang PLTU apalagi dengan angin bergerak ke arah kota," jelasnya.
Bahaya dan pengurangan PM 2,5 ini merupakan salah satu hal gencar dikampanyekan Greenpeace selama dua setengah tahun belakangan. Apalagi partikel polutan tersebut dapat menyebabkan beberapa penyakit, seperti kardiovaskular (jantung) hingga Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
Perlu Perda Khusus
Dia juga menyayangkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta yang belum juga membuat aturan guna menekan angka PM 2,5 ini. Padahal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki otonomi dan kapasitas fiskal untuk mengatasi masalah ini. Pemprov bisa menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) untuk menekan tingkat polusi udara.
"Kalau Pak Anies (Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta) mau, bisa dibikin Perda khusus. Ini bisa menjadi referensi bagi provinsi lain dan nasional," ujar Leonard. Selain itu, Greenpeace menilai, DKI Jakarta memerlukan sistem peringatan untuk memberitahu warganya apabila kondisi udara telah melebihi batas aman.
Langkah pembatasan kendaraan hingga meregulasi pembangkit listrik juga menjadi hal yang perlu dilakukan pemerintah. "Seperti di Beijing dan Bangkok, warganya jadi tahu harus membawa masker atau tidak. Lalu tahu juga jenis masker apa yang perlu digunakan," kata dia.