[caption caption="kebakaran hutan"][/caption]Publik saat ini tengah diramaikan dengan kasus menangnya perusahaan yang dituduh membakar hutan. Adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), anak perusahaan Sinar Mas Group, yang mengalahkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pengadilan Negeri (PN) Palembang.
Sebelumnya, KLHK menggugat PT BMH sebagai pembakar hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kementerian menuntut ganti rugi sebesar Rp 2,6 triliun dan meminta dilakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar dengan biaya Rp 5,3 triliun. Fantastis, hampir Rp 8 triliun. Jika, gugatan ini berhasil akan menjadi sejarah baru dalam kasus hukum perdata antara negara dan swasta, terutama dalam kasus pembakaran hutan. Gugatan atas perusahaan pembakar hutan ini dilayangkan pada Februari 2015. Sidang pertama PT BMH di PN Sumatera Selatan telah dimulai pada Maret 2015
Namun, hasilnya gugatan tersebut ditolak majelis hakim yang diketuai oleh Parlas Nababan dengan anggota Eli Warti dan Kartidjo. Majelis hakim menilai gugatan pemerintah tidak terbukti. Menurut majelis, kehilangan keanekaragaman hayati yang dituduhkan pemerintah tidak dapat dibuktikan. Kemudian, tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian akibat kebakaran hutan tersebut dengan PT BMH sebagai tergugat.
Publik terkaget-kaget, kok bisa perusahaan yang dituduh pembakar hutan dimenangkan. Padahal sudah jelas-jelas kebakaran hutan terjadi, asap meruyak dimana-mana, kerugian trilyunan, korban jiwa berjatuhan. Pasti hakimnya disuap perusahaan, hakimnya bodoh, tidak pakai logika, tidak memiliki nurani, tidak memiliki kompetensi di bidang lingkungan dan lain sebagainya.
Publik lalu ramai-ramai menghujat Parlas Nababan. Sial betul dia, wajahnya kemudian terkenal, ramai menghiasi dunia maya, namun sayangnya terkenal akan kejadian negatif yang bisa jadi akan menjadi aibnya seumur hidup. Meme-meme nyinyir dan mencaci Parlas bertebaran dimana-mana. Ia sudah kadung dicap sebagai hakim tak punya otak, plus nggak ngerti hukum. Cilaka dua belas Si Parlas!
Sebegitu parahkah hakim kita? Sebegitu bodohkah Parlas dan koleganya. Apakah tidak ada hakim kompeten dalam hukum lingkungan?. Pembelaan hakim sebagai pembanding bisa dibaca di sini.
Hmmh… sebelum ramai-ramai menghakimi hakim seharusnya kita perlu berpikir objektif terlebih dulu. Jangan menghakimi terlebih dulu sebelum melihat persoalan secara menyeluruh. Coba dilihat dulu gugatannya, jangan-jangan memang gugatannya, repliknya dan bukti-buktinya yang dibuat oleh kuasa hukum pemerintah memang amburadul. Majelis Hakim biasanya dan seharusnya memang bersikap pasif dan hanya melihat fakta-fakta persidangan, makanya juri diisolasi dari dunia luar agar tidak terpengaruh.
Jadi sekali lagi, mari kita berfikir objektif. Belum tentu hakim ngaco, bisa juga pengacara negara yang ngaco atau dua-duanya ngaco.
Memang, kita memang patut geram atas fakta di lapangan bahwa telah terjadi kebakaran hutan, kerugian materil trilyunan rupiah, asap meruyak paru-paru jutaan orang sampai jatuh korban jiwa. Namun, untuk membuktikan perusahaan itu turut serta membakar hutan perlu bukti-bukti yang kuat. Bisa jadi bukti yang diajukan lemah atau sengaja dibuat lemah sehingga kalah.
Jadi, terlepas dari fakta dilapangan bahwa telah terjadi kebakaran hutan yang masif, kekalahan pemerintah itu bisa saja akibat kelemahan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penggugat. Seharusnya penggugat mampu meyakinkan majelis hakim dengan bukti yang dimiliki sebab hakim hanya akan memutuskan perkara berdasarkan fakta yang diberikan dalam persidangan. Sidang itu seperti perang, harus ada strateginya.
Jika bukti-bukti lemah atau bahkan sengaja dilemahkan, plus pengacara negaranya, maaf, ecek-ecek, ya, sudah lah. Hakim pun memenangkan tergugat yang bisa jadi karena punya dana besar dan memiliki pengacara mahal yang berpengaruh dan jauh lebih berpengalaman. Namun bisa jadi karena memang seharusnya secara hukum tergugat menang dan penggugat kalah. Jadi, sekali lagi jangan buru-buru menghakimi hakim. Kita sudah mahfum bahwa negara sering kali kalah saat terjadi kasus swasta melawan negara. Bisa jadi sebagian besar diakibatkan oleh kelemahan negara yang mungkin banget bisa disengaja dan bisa jadi hakimnya sudah obyektif melihat fakta-fakta di persidangan.
Saya pun mencoba secara utuh membaca putusan majelis hakim PN Palembang itu. Memang banyak celah dan kejanggalan dalam gugatan yang diajukan pemerintah jika kita jeli membacanya. Untuk lengkapnya putusan setebal 116 halaman bisa anda baca di sini.
Berikut saya sarikan juga beberapa kejanggalannya :
Gugatan pemerintah terbilang prematur, pasalnya, pemerintah pada dasarnya merupakan pihak yang memberikan izin dan berwenang untuk melakukan pengawasan. Jika ada pelanggaran, pemerintah wajib menegur perusahaan pemegang izin dan nyatanya hal itu belum pernah dilakukan. Jika ada indikasi, pelanggaran hukum pemerintah pun berwenang untuk memberikan sanksi dan proses itu juga luput.
Jadi, perusahaan itu belum melakukan pelanggaran apapun karena belum pernah ditindak oleh pemerintah sebagai pihak yang member izin dan berwenang mengawasinya, bahkan memberikan sanksi. Kalau toh, sudah pernah melakukan kesalahan, berarti pemeritah juga lalai melakukan pengawasan sehingga aneh jika ujug-ujug mengajukan gugatan.
Kemudian, ekspeksi gugatan juga kabur, seperti contohnya lokasi telah terjadinya kebakaran tidak jelas titik-titik koordinat yang dicantumkan dalam gugatan maupun digunakan oleh ahli merupakan koordinat yang keliru dan tidak sesuai dengan teknik penggunaan Global Positioning System (GPS) dalam pembacaannya. Waktu terjadinya kebakaran juga sumir, data hotspot disimpulkan telah terjadi kebakaran pada bulan Februari 2014 hingga November 2014 sedangkan verifikasi lapangan baru dilakukan pada Oktober 2014 dan Desember 2014. Hal itu tentu saja bertentangan dengan gugatan yang diajukan bahwa api pertama ditemukan pada 26 September 2014 sehingga tidak jelas mengenai waktu kejadian kebakaran.
Dalil yang digunakan untuk menya yatakan bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan hidup juga tak jelas. Dalam gugatan tidak dinyatakan sama sekali kerusakan apakah yang telah terjadi. Penggugat tidak membuktikan atau menunjukkan hubungan apapun antara kejadian kebakaran yang didalilkan penggugat dan kerugian lingkungan hidup yang dituntutkan kepada PT BMH.
Eksepsi penggugat juga tak lengkap dengan tidak mengajak pemerintah daerah dalam mengajukan gugatan. Padalah dalam peraturan undangan yang berlaku, khususnya Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan “Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup”
Jadi, pemerintah wajib melibatkan Pemerintah Daerah. Namun, dalam kenyataanya hanya diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang ini menjadi cacat formal dan menjadi celah lemah gugatan pemerintah.
Itu baru sedikit celah lemahnya gugatan pemerintah. Maka, tak heran jika majelis hakim kemudian memenangkan menolak gugatan yang diajukan.
“Bahwa menurut tergugat, hasil pengecekan pengguat di lokasi, kebakaran hanya berbentuk arang, bukan titik api. Titik arang hanya bisa membuktikan bahwa lokasi tersebut bekas terbakar, tanpa bisa menunjukan kapan kebakaran tersebut terjadi. Apalagi bisa menentukan siapa pelakunya, termasuk motif maupun modus pembakaran," demikian putus majelis hakim sebagaimana dikutip dari salinan lengkap putusan tersebut
KLHK dinilai tidak bisa membuktikan hubungan sebab-akibat antara kebakaran dan tanggung jawab PT BMH. Curah hujan yang tergolong rendah pada periode September-Oktober 2014, dianggap majelis hakim meningkatkan potensi kebakaran.
Selain itu, KLHK juga menuding PT BMH tidak melakukan upaya pemadaman sehingga kebakaran tidak bisa dipadamkan. Majelis hakim menilai tuduhan ini tidak berdasar karena BMH memiliki satu unit menara api, 2 unit mesin pompa shibura, 1 unit selang, kanal dengan lebar 6 meter per 500 meter dan 6 unit mesin ringan ministriker, alat pemadam kebakaran, alat pengukur angin, 4 unit mobil, 2 speedboat, menara pengawas, eksavator, dengan tenaga 10 orang di Simbang Tiga dan 80 orang di Sungai Biyuku.
Seperti dilansir Detikcom, Ahmad Taufik dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel, kuantitas sarana pemadam kebakaran PT BMH sudah cukup yaitu regu kebakaran 244 orang, 4 menara api, sejumlah pemukul api dan 6 unit pompa air. Oleh karena itu, majelis hakim menilai tidak ada hubungan kausalitas antara terjadinya kebakaran tersebut dengan tanggung jawab yang harus ditanggungnya. Menurut Ahdtja Sondjaja ahli yang juga mantan hakim agung hubungan kausul antara kesalahan dan kerugian, tidak terpenuhi yang merupakan salah satu syarat atau unsur pada Pasal 1365 KUHPerdata.
Lihat berita tersebut disini : http://news.detik.com/berita/3110680/tolak-gugatan-rp-79-t-hakim-klhk-tak-bisa-buktikan-bmh-langgar-kuhperdata
Dalam putusannya tersebut, majelis hakim meyakini dan membenarkan ada kebakaran di lahan di Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Biyuku, sebagai salah satu wilayah konsensi PT Bumi Mekar Hijau. Namun, KLHK tidak bisa membuktikan bahwa PT BMH sebagai penyebab kebakaran tersebut karena sampel yang diambil tidak cukup mewakili 20 ribu hektare. KLHK hanya mengambil sampel di tiga titik.
“Memang benar adanya kebakaran di wilayah usaha Tergugat, akan tetapi kebakaran tersebut ditimbulkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, Tergugat tidak membuka lahan dengan cara membakar, Tergugat/PT. BMH membuka lahan tanpa membakar dan yang terbakar merupakan lahan tanaman akasia yang berusia 2 sampai 6 tahun telah siap panen, sehingga justru Tergugat yang sangat dirugikan, selain itu bahwa tentang standard minimum kelengkapan saranan dan prasarana pengendalian kebakaran tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan,” ujar Majelis Hakim dalam putusan tersebut.
Jadi, dengan melihat berbagai fakta itu, masih terus mau mencaci Parlas Nababan??
Mari kita lihat kelanjutanya. Pemerintah sudah melakukan banding atas kasus ini. Kita kawal bersama secara objektif siapa yang ngaco.
Selain itu, perlu digaris bawahi banyak kasus yang lebih besar. Masih banyak perusahaan-perusahaan hutan dan perkebunan, yang lebih besar dari sekedar pihak ketiga seperti PT BMH, yang terindikasi membakar hutan belum terungkap dengan jelas, belum juga digugat di persidangan. Pemerintah pun masih terkesan menutup-nutupi identitas perusahaan besar itu.
Pemerintah hanya menyebutkan di media, ada 23 perusahaan yang digugat, 3 izin yang dicabut, 16 perusahaan dibekukan dan paksaan pemerintah untuk menguasai lahan 4 perusahaan. Siapa perusahaan-perusahaan itu? Pemerintah sepertinya masih enggan menyebutkan dengan gamblang dengan alasan agar kondisi tak gaduh dan menjaga kestabilan ekonomi.
Jangan-jangan kasus BMH ini hanya pengalih untuk menutupi kasus-kasus yang lebih besar. Publik telah terkecoh dengan hanya ramai-ramai menghujat Parlas Nababan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H