Mohon tunggu...
Daniel Satrio
Daniel Satrio Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis resensi film, dan penikmat musik kebaratan. Terkadang menulis opini, kalau sedikit ofensif harap dimaklumi. Daniel masih perlu banyak belajar. nokitron.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Geliat E-Commerce, Nasionalisme dan Konsumerisme: Kita Semua Sama di Mata Mereka

21 Mei 2016   11:54 Diperbarui: 21 Mei 2016   12:14 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mpc-hc 2016-05-21 11-00-50-07

KFC telah hadir di Indonesia selama 36 tahun, 25 tahun untuk McDonalds, 16 tahun untuk Kaskus, 7 tahun Tokopedia, 11 tahun Jco, 30 tahun Cineplex 21, dan sampai 2016 terdapat situs e-commerce maupun usaha waralaba yang tidak mati kalau bukan karena kontribusi rakyat Indonesia. Apa yang berubah dari kita? Apapun, kecuali sikap konsumerisme.

Disclaimer: Jika beberapa teori ekonomi saya agak stretching, itu karena saya tidak belajar ekonomi; saya di sini bicara sebagai manusia yang muak, bukan ekonom handal

Kebutuhan adalah aspek-aspek kehidupan yang harus dipenuhi tergantung individu sendiri. Ada tiga kualifikasi kebutuhan, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Ketiganya digolongkan dari urgensi tiap individu. Primer biasanya mencakup pangan (makan), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal), meski tidak terbatas pada hal lain. Sekunder biasanya hadir karena untuk menunjang profesi tertentu, meski dalam kedesakannya masih bisa disubstitusi atau bahkan tidak dipenuhi. Tersier, yang sering disalahartikan sebagai sekunder maupun primer, adalah kebutuhan yang biasanya lahir dari nafsu daging seperti makanan selain 3 kali sehari, atau terlanjur hobi. Kalau anak jaman sekarang bilangnya "racun, bro, racun", seperti yang saya sering baca di seri komik online Ghosty dan kawan-kawan (komiknya cukup bagus, meski relasinya bakal paling terasa untuk kaum penggiat hobi tertentu).

Kebutuhan adalah aspek-aspek kehidupan yang harus dipenuhi tergantung individu sendiri. Saya sebagai mahasiswa harus membayar UKT (Uang Kuliah Terprogram), beli bensin, dan kebutuhan utama lainnya. Itu, bagi saya, adalah kebutuhan primer. Kebutuhan sekunder datang dari pergi liburan dua minggu sekali, televisi, atau gadget maupun fasilitas lain yang menunjang saya sebagai mahasiswa. 

Kebutuhan yang sebenarnya tersier seperti jajan cemilan ataupun makan di rumah makan cepat saji, dan kuota internet, justru kadang menjadi kebutuhan primer bagi saya. Hobi-hobi saya seperti mengoleksi CD album atau nonton film di bioskop tak jarang menghambat pergerakan dana (seperti yang saya alami dekat waktu ini).

Untuk beberapa kaum, kebutuhan tersier adalah hal penting yang alokasi dananya perlu disediakan sendiri. Di beberapa kasus bahkan tersier mempunyai alokasi dana lebih ketimbang kebutuhan primer itu sendiri.

Hal ini dapat disebabkan banyak hal, paling utama adalah karena tidak ingin lepas dari zona terlanjur nyaman dan pergerakan informasi (kata orang sih globalisasi). Saya sendiri pun sebenarnya mengalami hal serupa. Hidup tanpa komunikasi untuk 1 hari berarti berteman dengan kebosanan selama 24 jam penuh, dan itu adalah masalah besar untuk masa-masa seperti ini. Jangan bawa nostalgia 90-an lagi di mana kita sekonyong-konyong bisa hidup tanpa teknologi di waktu itu dan merelevansikannya di masa ini. Itu adalah lagu lama. Sisa penduduk yang mempunyai komunikasi tidak ingin repot-repot bicara ataupun bersapa dengan kita ketika satu tempat. Mayoritas selalu menang, kalian tahu itu.

Itu baru satu aspek. Kadang-kadang ada yang tidak ingin ketinggalan tren atau meme dengan temannya di internet, atau beberapa memang merasa perlu untuk menghamburkan uangnya untuk hal-hal berbau tersier. Hal ini tidak secara langsung berkaitan dengan topik yang saya angkat.

2016 tahun penuh berkah. Yang ingin berusaha kecil-kecilan tidak dihalangi, yang PHK dan bangkrut akan tetap begitu selama ingin mencari sukses sendiri, dan PNS yang tetap kecipratan gaji akan selamanya dapat duit. Tentu saja saya tidak ingin mengadu antara ketiga nasib ini, karena bahwasannya di mata kapitalis mereka itu sama.

Kapitalis, biasanya di sini lebih akrab dengan sebutan pengusaha besar, adalah orang yang memanfaatkan kekayaannya untuk meraih untung berskala besar dengan menaati prinsip ekonomi atau kapitalisme. Secara garis besar kapitalisme adalah membedakan antara urusan ekonomi negara dengan individu. Pasar kapitalisme adalah pasar yang dikendalikan oleh warga negara itu sendiri, yang meski pada pengawasannya dilakukan oleh negara.

Selama 70 tahun Indonesia merdeka, sudah banyak para pengusaha besar berdatangan untuk berinvestasi di Indonesia. Perusahaan waralaba dari Amerika Serikat seperti KFC maupun McDonalds atau bahkan grup "lokal" seperti Agung Podomoro dan Lippo Group adalah segelintir dari mereka yang berusaha mencari makan di kota ini. Komoditas mereka dulunya merupakan kebutuhan penting, namun seiring berjalannya waktu, tidak ada yang pernah benar-benar penting untuk dibeli lagi. Kenapa? Karena kita tidak perlu beli barang setiap saat kita tidak memerlukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun