Mohon tunggu...
Daniel Satrio
Daniel Satrio Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penulis resensi film, dan penikmat musik kebaratan. Terkadang menulis opini, kalau sedikit ofensif harap dimaklumi. Daniel masih perlu banyak belajar. nokitron.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Geliat E-Commerce, Nasionalisme dan Konsumerisme: Kita Semua Sama di Mata Mereka

21 Mei 2016   11:54 Diperbarui: 21 Mei 2016   12:14 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mpc-hc 2016-05-21 11-00-50-07

Untuk tulisan kali ini saya hanya akan bicara soal e-commerce dan waralaba.

Jujur, siapa yang tidak pernah melihat iklan Tokobagus (sekarang diakuisisi OLX) di tahun 2014 dulu? Promosi yang gencar yang beberapa intinya mengutarakan kalau barang bekas pun akan dibeli orang lain. Kenapa? Apa kita benar-benar perlu barang bekas? Harganya lebih murah kah? Atau karena kita hanya ingin membeli barang itu? Iklan-iklan e-commerce serupa mulai bermunculan. Rumah123, berniaga, dan lainnya. Kaskus yang sejak dulu berdiri sebagai situs e-commerce pertama di Indonesia tidak perlu repot-repot beriklan di televisi untuk mengokohkan sosoknya sebagai salah satu website terbesar di Indonesia. Kita tahu, dan jika perlu, akan mengunjungi Kaskus untuk satu dan lain hal.

Kita kehabisan bahan makanan, kita tahu kita harus ke toserba A atau pasar A. Mereka tidak perlu promosi besar-besaran kenapa kita harus beli di sana. Kita perlu, maka kita beli. Simpel.

Berbeda dengan tahun-tahun belakangan. Situs-situs besar yang lebih berbasis e-merchant seperti Tokopedia, Blibli.com, Bukalapak.com (strategi marketing-nya cukup bagus), dan yang paling fresh saat ini adalah MatahariMall.com; mereka mulai berkeliaran di televisi Indonesia dengan iklan-iklan menarik mereka. Ada yang menyewa artis sebagai duta korporasi mereka, bahkan ada yang menobatkan CEO mereka sendiri sebagai duta mereknya. Dan kreativitas iklan mereka pun sebenarnya bagus-bagus. Ada yang memakai strategi nasionalisme dengan menangguhkan "memajukan perekonomian Indonesia" atau sekedar bilang semua ada di tokonya. Saya hargai usaha mereka, meski ujung-ujungnya adalah usaha yang bisa saya bilang busuk.

Kembali ke analogi bahan makanan. Satu toserba atau pasar sudah lebih dari cukup untuk membeli kebutuhan makanan selama sebulan. Tetapi ada apa ini? Toko baru mulai bermunculan. Mereka menawarkan barang-barang dan jasa yang lebih variatif. Mereka mulai berjualan elektronik dan gadget di pasar B. Ada juga yang bilang kalau belanja di supermarket C maka nilai nasionalisme kita akan naik. Maaf, apa itu berdampak pada fakta bahwa kita akan beli elektronik di toko elektronik, dan bukannya di pasar? Oke, saya mau jadi nasionalis garis keras. Saya bisa ikut kerja bakti tiap minggu, atau sekadar berkomunitas di RT tempat saya tinggal, tetapi membeli barang seperti orang tanpa otak bukan salah satu definisi nasionalisme bagi siapapun. Usaha yang bagus, kawan, namun cukup tengik.

Iklan-iklan yang beredar bukan sekadar bertujuan untuk mempromosikan merek lagi, mereka lebih bertujuan untuk menyuruh kita membeli barang yang kita tidak perlu lagi. Tokopedia menyediakan semua kebutuhan kita untuk dibeli di sana, dan jujur, memang koleksi mereka sangat lengkap dan rapi. Saya bisa mencari produk yang saya inginkan secara cepat dan tepat. Sistem e-commerce ala Tokopedia terstruktur rapi. Tokopedia menyediakan lapak untuk para penjual agar dapat mempromosikan barang-barangnya di sana secara cuma-cuma atau berbayar. Anehnya, situs lain juga mempromosikan hal serupa. "Semua ada di ...", "Ayo beli di ... . Semunya ada.", "Silakan beli." Beli, beli, beli. Saya akan tahu di mana untuk mencari kebutuhan saya. Tempat yang murah, nyaman, aman, dan pastinya menghargai konsumen lebih dari sekedar subjek konsumerisme. Saya tahu. 

Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. 

- Wikipedia

Saya sudah ada langganan beli keperluan hardware di Jakartanotebook.com atau Bhinneka.com. Harganya lebih murah, barang-barangnya tidak pernah alami komplain, dan saya tahu situs mereka dari hasil browsing di Google. Untuk keperluan lain pun saya juga sudah tahu ke mana kalau ingin beli barang secara online. Iklan tidak perlu aneh-aneh. Pembeli akan datang kalau butuh. Hal yang dibutuhkan adalah SEO (search engine optimization) yang baik dan, sudah, pembeli akan datang sendiri. Tidak perlu lah perilaku konsumerisme ditekankan sebagai alat iklan di mana kita harus "dipaksa" beli apapun dari situs mereka.

Di lain hal, ada fakta yang menarik sepanjang saya melihat fenomena ini. Nasionalisme tampaknya cukup menjual. Beberapa usaha termasuk Gojek telah mengambil strategi marketing seperti ini (dan sayangnya gagal). Untuk kasus serupa, ayo kita ambil contoh khusus: Saya dihadapkan pada dua pilihan, yaitu waralaba A dan waralaba B. 

Keduanya adalah merek besar dan ternama. Perbedaan terletak di pemilik awal waralaba dan rasa yang mereka jual. Waralaba A milik Indonesia, sedangkan waralaba B berasal dari pengusaha negara lain. Waralaba A ternyata dimiliki oleh pengusaha sebangsa, baik, tapi saya lebih suka waralaba B. Barang yang mereka tawarkan lebih cocok di selera dan sejauh pengalaman saya tidak mengalami komplain berarti. Apa itu tandanya saya adalah antek negara bersangkutan? Sudah yakin kalau saya beli di waralaba A nasib warga Indonesia akan lebih maju? Nasionalisme mengenal tempat, dan kapitalisme bukan salah satunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun