Mohon tunggu...
Krisnawan Wisnu Adi
Krisnawan Wisnu Adi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Lingkungan dan Partisipasi (Pergeseran Makna dari Suatu Konsep Ganda)

23 Mei 2016   09:48 Diperbarui: 23 Mei 2016   09:58 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Sejak meningkatnya kesadaran lingkungan pada akhir 1960an dan awal 1970an, muncul fenomena bahwa lingkungan dan partisipasi merupakan aspek yang terhubung dengan green discontent(ketidakpuasan hijau) yang sama. Ketidakpuasan tersebut selalu mengandung setidaknya dua aspek: protes mengenai lingkungan yang mengandung banyak keputusan terencana di dalamnya dan cara bagaimana keputusan itu diambil. Ketidakpuasan ganda ini nampak ketika lingkungan dipengaruhi oleh kepentingan industri dan bisnis individual.

Pesan Politis di balik ‘Green Discontent’

Pada masa itu green discontentmenjadi bagian dari kritisisme publik; fokus pada sistem kapitalisme dan peran negara yang mengatur ketimpangan. Muncul ajakan untuk mendobrak struktur sosial yang ada dan meningkatkan keterlibatan masyarakat sipil di dalam proses pembuatan kebijakan. Di awal 1970an terjadi periode radikalisasi politik. Radikalisasi ini memdobrak legitimasi dari institusi tradisional seperti gereja, universitas, gerakan uni dagang, politik, dll.

Ajakan radikalisasi politik tersebut juga muncul karena ketidakpuasan dengan adanya proses pengambilan keputusan politik yang hanya didasarkan pada kepentingan elit tertentu. Elit dapat dengan kuasanya memobilisasi masyarakat untuk kepentingan mereka. Partisipasi masyarakat sipil menjadi kunci untuk mengatasi hal ini.

Partisipasi Ditegakkan dan Secara Perlahan Dilembagakan

Pada tahun 1970an negara-negara barat, termasuk Jepang, banyak mengalami masalah lingkungan yang beragam. Dari beragamnya masalah lingkungan yang muncul, ada dua aspek dari green discontent, yakni protes dari masyarakat, penduduk lokal, gerakan environmentalis, dan sisi lainnya adalah mereka yang meremehkan dampak lingkungan dari aksi sengketa serta pengambilan keputusan yang tidak demokratis.

Protes tersebut menghasilkan beberapa bentuk partisipasi yang dilembagakan dalam kegiatan lingkungan maupun politik. Ada dua contoh internasional: pertama, munculnya Nuisance Act sebagai sebuah ijin yang mengatur keberadaan sejumlah besar kegiatan berbahaya, khususnya bisnis. Instrumen ini muncul di Eropa pada awal 1970an. Kedua, pelaksanaan EIA (Environmental Impact Assessment) di USA dan Kanada. Lalu menyebar hingga negara-negara Skandinavia, Belanda, dan Jerman. Bahkan berawal dari ketiga negara tersebut, EIA telah terinstitusionalisasikan menjadi komponen kebijakan lingkungan di semua negara anggota Uni Eropa. Karena itu semua, informasi mengenai lingkungan dari proses pengambilan kebijakan hingga instrumennya dapat diakses oleh publik. Partisipasi masyarakat pun meningkat.

Energi Nuklir: Kasus yang Diuji dan Hambatan untuk Partisipasi yang Lebih

Meningkatnya kemungkinan partisipasi politik belum tentu menghilangkan green discontent. Ada gagasan bahwa kebijakan yang diambil di dalam aspek industri masih berdasar pada kepentingan bisnis individual dan , bukan karena perhitungan dampak lingkungan.

Pada tahun-tahun antara 1973 dan 1986, energi nuklir menjadi topik yang controversial di negara-negara barat. Fenomena energi nuklir memunculkan oposisi di masyarakat terkait dengan adanya bom atom dan perlombaan senjata. Hal ini secara simbolis dilihat sebagai teknologi skala besar yang didominasi oleh teknokrat yang berbahaya dan tidak demokratis; sebuah simbol yang didominasi oleh politisi, militer, dan kesadaran teknologis.

Menanggapi situasi ini, pemerintah dari beberapa negara Eropa merancang skenario partisipasi yang baru, yakni dengan mengadakan debat publik mengengai topik energi nuklir yang dihadiri oleh masyarakat dari beberapa negara Eropa. Hal ini ditujukan untuk menciptkan atmosfer demokrasi langsung yang lebih luas dan ketakutan akan ancaman krisi legitimasi karena memudarnya kepercayaan publik. Akan tetapi, pemerintah Belanda tetap meningkatkan pengembangan energi nuklir dengan beberapa alasan: pertama, adanya argumen tentang estimasi yang berbeda antara keuntungan ekonomi dan resiko lingkungan; kedua, ketakutan Belanda bahwa mereka akan melewatkan pengembangan teknologi; ketiga, kontribusi energi nuklir untuk memerangi hujan asam. Semua ini menunjukkan bahwa tetap ada ketidakpuasan dari masyarakat, meskipun pada awalnya muncul pelembagaan partisipasi hingga menjadi instrumen politik.

Dampak dari Bentuk Partisipasi Baru

Sejak tahun 1970an, penelitian telah dilakukan terhadap bentuk partisipasi yang baru, seperti  debat publik yang telah dirancang oleh negara-negara barat di atas. Dampak dari instrumen yang baru ini adalah di antaranya terdapat warga yang absen, tidak adanya keseimbangan dalam mekanisme partisipasi kumulatif; individu yang hadir hanya berdasarkan kepentigan mereka, status, pengetahuan, dan kedekatan. Mereka diberi kesempatan lebih untuk berpartisipasi. Lalu, seperti apa gerakan lingkungan dan komunitas mana yang akan didengarkan pemerintah, juga telah diatur berdasarkan kepentingan tertentu. Peran gerakan lingkungan sebagai jembatan demokratis telah gagal memenuhi tujuannya. Terdapat dilema dan perdebatan di antara penggerak lingkungan. Ada yang mampu masuk ke dalam sistem pemerintahan, ketika mereka mampu menunjukkan keahliannya. Akan tetapi, gerakan lingkungan sayap kiri cenderung berpendapat bahwa ketika penggerak lingkungan telah masuk ke dalam sistem pemerintahan (rangkaian konsultasi) sebagai ‘teman bicara’, mereka akan terjebak dengan kesempatan politik yang berpotensi menimbulkan kesenjangan partisipasi. Gerakan lingkungan akan semakin sulit untuk memenuhi perannya sebagai saluran bagi partisipasi warga.

Partisipasi dan Sosialisasi Kebijakan Lingkungan dari Tahun 1985 sampai Hari Ini

Sejak tahun 1970an persoalan partisipasi telah berangkat dari telaah lebih jauh mengenai hubungan antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Konteks politik juga terkait dengan persoalan lingkungan, di mana meskipun isu yang terfokus mengarah pada aspek bisnis, pemerintah tetap menjadi sasaran. Hal ini disebabkan oleh peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan lingkungan.

Sejak pertengahan 1980an, baik di Belanda maupun negara-negara Eropa lainnya, perubahan telah memberi dampak pada debat mengenai partisipasi. Isu yang nampak pada masa itu adalah bahwa isu dan kebijakan lingkungan secara bertahap telah digagas oleh pemerintah, pasar, dan masyarakat sipil. Dalam perjalanannya telah terjadi perubahan strategi regulasi, di mana debat lingkungan dibungkus dengan lebih bersifat ekonomi dan komunikasi yang strategis.

Partisipasi tidak hanya tentang merombak keputusan yang telah dibuat oleh pemerintah, melainkan lebih pada diskusi dengan semua pihak yang terlibat: nasional, regional, dan pemerintah lokal, kelompok sosial dan pasar. Akan tetapi hal ini menimbulkan ketimpangan antara hubungan pemerintah-pasar-sipil. Sumbu pemerintah dengan pasar jauh lebih memiliki akses yang dominan dari pada masyarakat sipil. Hal ini membawa perubahan pada tahun 1990an, bahwa kunci di dalam konsep partisipatasi sekarang adalah partisipasi pembuatan keputusan, dukungan publik, dan co-produksi. Tidak lagi sama seperti tahun 1970an.

Partisipasi dan Marketisasi Kebijakan Lingkungan

Ada pergeseran dalam strategi manajemen pemerintahan. Dengan memperkenalkan pasar-instrumen yang sesuai untuk menarik warga dan bisnis untuk mengubah cara mereka dalam hal lingkungan. Warga dan bisnis cenderung dilihat sebagai konsumen dan produsen. Lalu pemerintah telah meninggalkan tanggung jawabnya dengan menyerahkan sepenuhnya pada kompetensi pasar melalui pembebasan dan privatisasi. Segala problem lingkungan di ranah bisnis, diserahkan kepada pasar untuk menemukan solusinya. Tentu, perspektif yang dipakai adalah tetap berbasis pada keuntungan ekonomi.

Lingkungan, Partisipasi dan Kekuasaan: Antara ‘Model Polder Hijau’ dan Demokratisasi Lebih Lanjut

Telah terjadi perubahan strategi politik untuk menciptakan partisipasi mengenai isu dan kebijakan lingkungan. Berawal dari hubungan oposisional antara pemerintah dan masyarakat, sekarang pemerintah justru telah menyerahkan tanggung jawabnya kepada pasar. Hal ini disebut dengan model polder hijau. Model ini sering diasosiasikan dengan model polder yang hanya didominasi oleh kelompok elit atau kelompok kepentingan.

Sumber:

Driessen, P. J., dan Pieter Glasbergen. 2013. Greening Society: The Paradigm Shift in Dutch Environmental Politics. Springer Science & Business Media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun