Beberapa bulan yang lalu ketika teman-teman saya di Jakarta update status mereka di jejaring social media tentang film AADC2. Saya yang berada jauh dari tanah air hanya bisa gigit jempol kaki karena belum bisa menonton film tersebut. Ketika ada seorang teman yang berkunjung ke Belgia, saya sempat nitip untuk dibawakan buku kumpulan puisi dari film tersebut: 'Tidak Ada New York Hari Ini' hanya untuk sekadar ikut merasakan demam AADC2 di Indonesia.
Saya sempat mencari di Youtube film ini tapi ternyata kualitasnya tidak bagus dan membuat saya pusing jadi urung saya nonton. Beberapa waktu lalu ketika saya pergi ke KBRI di Brussels guna memperpanjang paspor, saya yang kebetulan sudah tamat saya melihat selebaran tentang acara AADC2 Goes to Europe yang akan digelar di Swiss, Jerman dan Belgia. Acara ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang ada di negara masing-masing.
Saya pun tertarik untuk datang karena ketika dulu film AADC pertama di putar begitu fenomenal dan menjadi salah satu film yang bisa dibilang sebagai awal kebangkitan kembali film Indonesia setelah sekian lama mati suri dan diisi oleh film esek-esek. Acara ini digelar di Kinepolis, Leuven, tanggal 4 September kemarin. Kenapa dipilih Leuven dan bukan Brussels yang adalah Ibu Kota Belgia? Karena Leuven terkenal dengan kota pelajar, banyak pelajar datang dari seluruh dunia untuk kuliah di sini, salah satunya adalah para mahasiswa Indonesia.
Sebelum film diputar, ada kata sambutan dari anak-anak PPI Belgia yang diwakili oleh Krisna selaku ketua PPI Belgia, setelah itu ada kata sambutan juga dari dua pemain AADC2 yaitu Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti, juga M Aan Mansyur selaku penulis puisi di film ini. Duta besar Indonesia untuk Belgia juga hadir bersama istri dan juga beberapa orang dari KBRI di Brussels. Ada sekitar 220-an orang yang menonton film ini.
Kurang tahu bagaimana anak-anak PPI melakukan promosi untuk acara ini, karena yang saya lihat hanya di KBRI dan juga Twitter dan FB saja. Kurang tahu jika mereka melakukan sosialisasi di kampus masing-masing. Tapi yang terjadi adalah, sebagian besar penonton adalah orang Indonesia yang berada di sini. Meski demikian, acara ini cukup sukses.
Yang menarik buat saya justru lokasi syutingnya di Yogjakarta yang membuat kita yang tinggal di luar negeri merasa kangen dengan tanah air juga tempat-tempatnya yang baru dan belum banyak orang yang tahu. Juga jargon-jargon yang sebenarnya tidak begitu penting tapi jadi menarik seperti papan peringatan di gang-gang kecil di Jogjakarta seperti ‘Awas Asu’, ‘Ngebut Benjut’ dan juga ketika geng Cinta sedang dugem dan ada seorang rapper nyanyi lagu rap dalam bahasa Jawa, "Ra Minggir Tabrak".
Setelah film selesai, ada acara tanya jawab dengan Nicholas Saputra, Adinia Wirasti juga Mas Aan. Penonton cukup antusias bertanya tentang banyak hal tentang film ini seperti kenapa tokoh Alya ditiadakan di film ini, apa kesulitan Nicholas memerankan tokoh Rangga setelah vakum selama 14 tahun, dll.
Saya sendiri tidak ikut dalam acara tersebut karena ada keperluan lain setelah acara nonton ini. Kesimpulannya dari acara kali ini adalah semua penonton merasa senang dan merasa seperti berada di Indonesia. Karena bukan pemandangan biasa kita menonton film Indonesia dan penonton orang Indonesia di sini, senang bisa ketemu para perantau dan para pelajar yang berada di Belgia.
Sepanjang film banyak celoteh-celoteh atau komentar-komentar dari penonton yang lucu terdengar dan hal ini sangat wajar karena mungkin sudah terlalu lama mereka tidak menonton film Indonesia di bioskop. Bagi penonton yang hadir, mungkin acara ini sedikit mengobati kekangenan mereka akan tanah air seperti yang saya rasakan juga. Maju terus film Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H