Mohon tunggu...
Nofi Ndruru
Nofi Ndruru Mohon Tunggu... Guru - Hidup harus berjalan

traveller, writer, teacher

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Lawan Kanker Nasofaring Ep.1

16 April 2019   13:05 Diperbarui: 22 April 2021   07:46 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leher sebelah kanan yang tidak bengkak | dokpri

Carcinoma Nasopharingeal, nama cantik itu seakan-akan sejenis betina jalang yang ada disekitar hidupku. Ya, nama cantik itu menyimpan keganasan yang teramat sangat sehingga dia dinobatkan menjadi penyakit membunuh dan mematikan di peringkat ke empat di Indonesia. 

Persoalannya bukan bagaimana dampaknya, namun caranya merasuk jasad hidup sangat tidak terduga dan perlahan tetapi pasti dia menyebarkan racunnya mulai dari nasofaring (belakang hidung) ke leher, telinga hingga ke otak. 

Carcinoma dengan jenis malignant kini menjadi ancaman terbesar dalam hidupku yang tercipta entah karena kebiasaan entah karena kedatangan virus yang tetiba entah karena kombinasi keduanya. 

Yang jelas sejak akhir Agustus dengan jelas dr. Zalfina, dokter THT-KL di RSU Sari Mutiara -- Medan menjelaskan secara rinci daging tumbuh ganas yang menempel di belakang hidungku hanya dalam waktu tak lebih dari 5 menit yang cukup meruntuhkan mimpi dan anganku dalam sekejap dan mengaburkan pandanganku di masa depan menjadi abu-abu.

Kronologi

Pada Maret 2018 entah diakhir atau dipertengahan, ada benjolan kecil dibawah telinga kiriku. Benjolan bulat keras itu tidak sakit ketika dipegang ataupun tidak menyebabkan sakit dibagian sekitarnya.

Sebulan kemudian, saat aku bersampingan dengan Joice Paila, salah satu sahabat dekat di Sumba. Saat itu kami sedang di halaman belakang Gereja Katolik Maria Bunda Selalu Menolong, Waingapu mengikuti jalan salib terakhir sebelum misa Jumat Agung. 

Sesaat setelah jalan salib selesai, saya todong dia untuk mengantarkan saya ke rumah sakit yang terdekat saat itu adalah RSUD Umbu Rara Meha untuk memeriksa sakit di leher yang sampai ke telinga. 

Sedari malam sakit di leher sudah cukup membuat saya kesakitan dan semakin pagi semakin akumulatif sakitnya hingga ke telinga dan saat itu saya tidak bisa menoleh saking sakitnya. 

Masuk ke bagian IGD dan langsung diberikan obat. Obat penghilang rasa sakit itu ampuh bekerja sehingga besoknya saya sudah bisa menggerakkan leher dengan leluasa.

Baca Juga: Hari Kanker Sedunia, Sejauh Mana Kita Peduli?

Takut sakitnya kambuh lagi dan penasaran bengkak di leher semakin besar, aku putuskan untuk ke Rumah Sakit lagi besoknya. Setelah malamnya mengambil surat rujukan BPJS dari dokter yang tertera pada kartu BPJS ku, Pagi hari aku langsung ke rumah sakit ke bagian poli umum yang kemudian setelahnya dialihkan ke poli paru. 

Nah, disini aku diduga TBC akibat ada bengkak di leher sebagai indikatornya. Hanya saja, indikator lain tidak ada padaku seperti berat badan tidak berkurang, tidak batuk dan tidak ada riwayat TBC di keluarga. Jadi, cukup membingungkan.

Tindakan yang dilakukan saat itu yaitu dirontgen. Diagonosa TB pun mendapatkan hasil negative setelah seminggu menunggu hasilnya. Minggu berikutnya pun dilakukan biopsi. 

Biopsy adalah proses pengambilan sampel dari bagian tubuh yang kemudian akan diperiksa di laboratorium. Biopsy yang dilakukan yaitu menusukkan jarum suntik ke bagian leherku yang bengkak lalu disedot sedikit, kemudian hasil sedotannya disemprot keatas plat kaca kecil. 

Leher ku yang bengkak ditusuk berkali-kali pada titik yang sama! Bayangkan sakitnya. Kata dokter seharusnya dilakukan sebanyak 10 kali namun jadinya 8 kali karena ngga tega melihat meringis dan lubang bekas tusukan berkali-kali makin lama makin membesar. 

Malangnya, tidak ada laboratorium di Pulau Sumba ini! Sampel itu harus dikirim ke Bali untuk diperiksa. Janjinya sebulan kemudian hasilnya baru keluar. Sebulan.

Sebulan berlalu, hasil tak kunjung datang.

Leher sebelah kanan yang tidak bengkak | dokpri
Leher sebelah kanan yang tidak bengkak | dokpri

Mimisan

Lelah dengan kabar menunggu yang kusampaikan setiap harinya kepada keluarga, mereka selalu memaksaku untuk pulang tanpa harus menunggu hasil lab. Tetapi, aku tidak mau terburu-buru. Sakit ini masih kuanggap sakit biasa yang penanganannya sederhana.

Sampai kemudian malam hari ketika hari terakhir (25/5) Bakti Sosial bersama Kidung Pelita Nusantara di Desa Ngadulanggi, aku mimisan. Tadinya kupikir aku sedang ingusan biasa karena Ngadulanggi malam hari itu dingin sekali.

Kuhempas saja zat cair yang kuanggap ingus itu ke tanah secara sembarang sampai kemudian aku terperanjat melihat jari-jariku berlumur darah. Dengan panik aku ke tim medis dan mereka memberikan tisu serta menjelaskan bahwa mimisan itu terjadi karena adanya bagian dalam hidung yang sedang luka sehingga mimisan. Aku tak menerka lebih jauh lagi.

Kali kedua, entah kenapa Ngadulanggi lagi yang menjadi tempat mimisannya. Setelah beberapa minggu dari kegiatan baksos, aku bersama teman Sumba Volunteer (Bang Ardi, Hengki, Sri dan Wati) memutuskan kembali kesini untuk menjenguk dan mengobati anak yang kepalanya borok karena kutuan. 

Kami menempuh perjalanan dengan menggunakan motor dan saat itu aku membawa motor dengan Sri sementara Hengki dengan Wati dan Bang Ardi sendirian dengan motor trail-nya yang rada sableng karena ngga di gas jalan sendiri dan hampir membuatnya terperosok ke semak. 

Sesampainya di tujuan, kami duduk di Posyandu tempat biasa kami menginap jika sedang ada kegiatan, siang itu disitulah ngucur lagi darah dengan banyaknya.

Selang beberapa minggu lagi dari mimisan terakhir, aku semakin sering mimisan. Pagi, siang malam, saat sedang makan, tidur ataupun berkegiatan. Berturut-turut selama sepuluh hari. Malangnya, mimisan itu terjadi saat sedang mengikuti kegiatan pelatihan guide selama seminggu di Weetabula, Sumba Barat Daya.

Mimisan dimulai dalam perjalanan menuju kesana, seperti biasa mobil penumpang singgah dulu di perbatasan Sumba Timur-Sumba Tengah, di warung makan tentunya. Aku sudah menyiapkan handuk merah untuk menghadapi mimisan ini, jadi tidak akan terlalu kelihatan kalau-kalau sedang mimisan. 

Celakanya, darah itu mengucur saat aku sedang menyantap mi rebus sebagai makan siangku. Merasa masih bisa diantisipasi, aku lanjut menyendokkan makanan ke mulutku sementara tangan kiri sibuk menutup hidung dengan handuk merah. 

Ternyata mimisan yang deras saat itu susah sekali dikontrolnya, darah keluar seenaknya saja hingga 'tesss' menetes didalam mangkokku bercampur dengan kuah pecin itu. 

Tanpa ada reaksi apa-apa, aku yang kadung lapar ini tetap menghajar suapan demi suapan sampai akhirnya tak terelakkan lagi mimisannya semakin menjadi sehingga aku harus ke kamar mandi.

Tanpa ada kecurigaan, semuanya berjalan seperti biasa hari demi hari pelatihan sampai kemudian mimisan kala diskusi dalam pelatihan guide tersebut. Orang-orang tersekat pun bertanya kenapa-kenapa. Aku pun tak banyak memberikan jawaban karena aku sendiripun tak tau ini mengapa. Petunjuknya hanya leher bengkak, mimisan dan nunggu hasil biopsi dari Bali. Dan saat itu bengkak leherku di sebelah kiri sudah ada dua.

Pertemuan dengan dr. David (Juli)

Tuhan memang selalu punya cara untuk mereka yang kebingungan. Aku sudah tidak lagi menunggu kabar hasil biopsy seperti sebelum-sebelumnya. Ada ya syukur, ngga dikabarin juga ngga apa-apa. Gitu konsepnya. 

Sampai kemudian pertemuanku dengan teh Riri dari Bandung yang kami berkenalan lewat media sosial Sumba Volunteer. Kedatangannya ke Waingapu yang kemudian menyempatkan kami untuk bertemu di Lapangan Pahlawan saat itu. 

Ternyata teteh tidak sendiri, ada saudaranya, dokter David yang menemani. Ketika tau beliau adalah dokter penyakit dalam, aku langsung memberitahukan keluhanku. Responnya cukup bikin aku panik.

Dengan serius beliau bilang, "Sudah kamu tidak usah lagi menunggu hasil lab dan kamu ke dokter BPJS mu lalu minta rujukan langsung ke saya. Saya nanti siapkan rujukan untuk ke rumah sakit yang punya dokter THT, kamu punya masalah serius ini. Ngga bisa main-main. Ngga bisa ditunda-tunda."

Beberapa minggu kemudian aku ke RSK Lindimara di Waingapu tempat dimana dr. David bertugas dan darisana obrolan semakin serius.

"Ini masalah hidup mati, nof. Kamu ngga boleh tunda-tunda ini lagi. Segera setelah dapat rujukan kamu harus siap-siap untuk berangkat. Rujukannya mau kemana?"

"Ke Medan aja dok, karena keluarga di Sumatera Utara"sahutku.

Bisa-bisanya selesai dari rumah sakit, pukul 14.00 aku bersama dengan om driver dan satu adik nona, bertiga kami pergi ke Tena Teke untuk mengantarkan donasi buku dan lainnya. Lalu bertemu kak Kiki dari Happy Hearts Foundation di Weetabula setelah berkenalan dari medsosnya Sumba Volunteer juga. 

Setelah semua kegiatan selesai, kami langsung kembali ke Sumba Timur dan mendapati rumah pukul 02.00 dinihari karena jarak Waingapu-Weetabula itu sekitar 4-5 jam.

Go Home

6 Agustus tanggal tiket menuju Jogja. Sesuai dengan pesan Mamak, sebelum pulang ziarah dulu ke Muntilan -- Sendangsono. Muntilan merupakan tempat berdoa dan peziarahan bagi umat Katolik karena darisanalah awal mula agama Katolik di Pulau Jawa. 

Sendangsono yang terkenal mengalirkan air yang dianggap suci ini menjadi ritual wajib untuk membasuh muka atau meminum airnya ketika disana. Untung saja tuan rumah (JP) di Jogja ramah, kalau tidak ramah su sa sikat memang! :D

digendong Joice di Candi Ijo | dokpri
digendong Joice di Candi Ijo | dokpri
Selama dua hari di Jogja, Joice selalu siap mendampingi kemana pun kaka nona pergi kecuali ketika dia sedang mengajar yaitu di hari terakhir di Jogja, jadi yang nganterin ke bandara itu ketuanya Palastta (Pecinta Alam STTA) si Jeli. Lalu berangkatlah kita ke Sumateraaaaaa....

Kekhawatiran yang kubawa dari Sumba tidak kuberitahukan kepada keluarga. Jadi, keluarga hanya sekedar tahu leher bengkak ku ini aja. Mamak pun membawaku ke salah satu Pastor di Sibolga yang terkenal dengan keahliannya mengetahui sakit seseorang. Pergilah kami ke Keuskupan Sibolga yang ada di Pandan, dekat dengan SMA Fransiskus, Aek Tolang.

Sesampainya disana, pastor hanya menekan telapak tangan, lalu kemudian lengan dan aku selalu kesakitan dengan pencetan-pencetan itu. 

Selesai menekan tanganku, pastor hanya bilang aku sakit pinggang dan punggung dan itu sama sekali ngga nyambung dengan sakit yang kurasa. Sebelum kami pulang, pastor hanya menyarankan pergi ke tukang urut.

Dibilang Diguna-guna

Walaupun pinggang dan punggung tidak sakit, tapi aku tetap ke tukang urut sesuai saran pastor. Aku ditemani mamak pergi ke tukang urut langganan mamak, yang biasa ngurut kaki mamak semenjak mamak jatuh dari sepeda motor. 

Diurutnya dulu kaki kemudian perut dan pinggang lalu leher. Hal yang jauh dari perkiraan terjadi, saat mengurut leherku yang bengkak, tante tukang urut berteriak, keringat dingin dan nafasnya tersenggal-senggal. Sambil setengah berteriak, tante itu berkata

"Kak, yang dibikin orang ini kak!"

"Ambil dulu air sama garam, bikin dulu garam di air itu."teriaknya ke anaknya perempuan.

Lalu kembalilah anaknya masuk ke dalam kamar lengkap dengan pesanan ibunya. Garam itu kemudian dilempar-lempar ke arahku dan air yang telah disiapkan itu diminumnya dan masih melanjutkan pijatan pada leherku dengan tenaga yang lebih kuat dari sebelumnya sampai-sampai aku meringis dan mengeluh sakit.

"Aduh..Aduh.. Ya Tuhan.."ucapnya lirih sambil menunduk dengan mata terpejam.

"Aduh kak, udah ditunjangnya aku. Kuat kali ini. Udah marah dia kak."ucap tante itu kepada mamak yang sedari duduk tadi terdiam dibelakangnya.

Perasaanku saat itu masih tidak percaya dan responku pun biasa saja ketika itu terjadi. Tetapi aku coba pikir-pikir kemungkinan-kemungkinan ada potensi apa sehingga ada yang mengguna-guna. Namun percuma, tidak ada petunjuk. 

Baca Juga: 9 Cara Bersikap Saat Menjadi Pendamping Pejuang Kanker

Di Sumba aku hanya seorang pekerja paruh waktu yang menyelingi kesibukan dengan berkomunitas yang sering mengunjungi sekolah-sekolah di pelosok Sumba. Aku tidak hidup dalam persaingan dari aspek apapun. Jadi, dugaan diguna-guna itu tidak masuk akal, pikirku.

Selesai pijat, aku dan mamak langsung pulang. Sesampainya di rumah, ada telepon dari guru di Lapinu yang SD tempatnya mengabdi sering kami antarkan donasi. 

Pak Guru bertanya tentang kondisi dan sakit apa. Aku pun menjawab dengan sakit yang belum diketahui. Lalu Pak Guru balas dengan dugaan lain.

"Jangan sampai ada yang bikin itu ibu."jawab Pak Guru.

"Apa maksudnya Pak?"balasku.

"Iya, siapa tau ada yang bikin-bikin ibu sakit itu."ucap Pak Guru.

"Memangnya ada disana yang bisa bikin-bikin sakit begini, Pak Guru?"tanyaku.

"Eee terlalu banyak, ibu."balas beliau yang maksudnya banyak banget.

Aku tentu saja berharap agar sakit yang kualami jauh dari kata 'diguna-guna'...

***

Cerita lanjutan tunggu di ep.2  ;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun