Bersiaplah guru serta orangtua murid untuk mengajarkan Oktavianus sebagai wunang(juru bicara luluk) dan Kandihang (pendamping Wunang). Mereka menyiapkan syair-syair yang pas untuk dibawakan oleh kedua anak tersebut dan Oktavianus serta partnernya yang saat itu tidak hadir ketika kami berkunjung berlatih untuk menyesuaikan kecepatan dan irama luluk. Setelah berlatih seharian hingga malam dan siang menjelang lomba, akhirnya SD Lapinu memperoleh juara dua dalam lomba luluk.
Secara singkat, luluknya sendiri berisikan makna dalam mengenai perjuangan para pahlawan ketika Indonesia sedang dijajah oleh bangsa asing. Selain itu, dilisankan juga bagaimana usaha proklamator yaitu Bung Karno dan rekan-rekannya dalam memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Bukan hanya menceritakan, Oktavianus dan pengganti Kandihang sebelumnya mempertontonkan kepada kami bagaimana aksinya saat membawakan luluk yang hasilnya membuat saya merinding karena terkagum-kagum. Bukan suatu kebetulan juga, saat itu ada juga mahasiswa yang ahli dalam ber lulukyag mengunjungi SD Lapinu yaitu Wunang Adi yang kemudian mempertunjukkan kebolehannya setelah Wunang Oktavianus ber luluk.Â
Wunang Adi sendiri juga telah mengikuti kejuaran luluk tingkat SMA se kota Waingapu. Selain penamplan itu, para anak gadis kecil juga melangkah berjingkat-jingkat membawakan tarian khas Sumba sesuai dengan irama dari gendang kulit lembu dan gong yang semuanya sudah usang tersebut. Tak rela rasanya meninggalkan murid-murdi ini dengan cepat, namun kami harus bergegas pulang sebelum hari terlalu gelap. Sampai jumpa lain kali, Lapinu. Tetap ceria, tetap semangat berolahraga walaupun tak punya seragamnya. Tetap semangat belajar karena buku di sekolah sudah tambah banyak. Tetap beri senyuman terindahmu bagi bapak ibu guru di sekolah karena pengabdian mereka yang tak ternilai jasanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H