Dalam perjalanan menuju salah satu kampung adat Sumba di Desa Rindi, aku dan teman-teman (Yambu, Bernard dan Umbu) berhenti sebentar di Melolo dengan tujuan menjemput teman yang lain. Bukannya langsung istirahat sebentar, aku langsung bergegas menuju belakang rumah, dimana pandanganku tersita sedari tadi ketika mulai memasuki tempat ini. Objek tersebut adalah rumah adat. Dia berdiri rapuh diantara hamparan hijaunya padi, didepannya terdapat jebakan lumpur dimana aku hampir terperosok didalamnya.Â
Tak jauh dari situ, kulihat dua bocah kecil sedang bermain sambil malu-malu menatapku yang memegang kamera sambil memotret tawa mereka. Dari jauh, tak jelas siapa yang berada dirumah tersebut. Atap rumbianya terlalu menjuntai kebawah, menghalangi pandang ke bagian dalam rumah. Kukira rumah ini sudah tak lagi ditinggali karena kereotannya di kejauhan, tapi kaki yang terselonjor dibagian pintu masuk itu menunjukkan adanya aktivitas yang dilakukan didalam rumah tersebut.
Kudekatilah bapak tersebut yang ternyata pemilik rumah, dikira sendiri, eh ternyata ada beberapa pemuda lain yang sedang tiduran dibagian tengah rumah tersebut sambil memegangi gadget dan berteriak satu sama lain menunjukkan sedang bermain game di gadget tersebut.
"Kenapa rumah ini tidak direnovasi atau diganti dengan bangunan yang lain?"
Sambil melihat pondasi yang sudah miring sana-sini, dinding yang sudah bolong sana-sini, dan bentuknya bukan hanya tidak simetris lagi namun sudah nyaris ambruk setengah badan rumah. Salah satu pondasi terlihat gerombolan lebah madu berterbangan yang ternyata bagian dalam pondasi tersebut menjadi sarang mereka dan sudah pasti banyak madu di dalam pondasi itu yang kalau dinikmati banyak dampak positifnya.
Bukan main kemudian respon mereka, bersahut-sahut sambil setengah teriak mereka menjawab
"E kaka, satu kampung yang kasih hancur ini rumah, satu kampung yang kena bencana."
"Tidak boleh itu kaka, tidak ada yang berani."
"Pamali itu kaka."
"Marah nanti leluhur bisa kena bencana satu desa."
Kaget? Sudah pasti!
Baru kemudian si bapak yang empunya rumah warisan dari kakek-kakeknya tersebut menjelaskan.
"Rumah Adat itu tidak boleh sembarang dibongkar. Setiap rumah dulunya dibangun dengan Adat Marapu, dimana melibatkan kekuatan-kekuatan lain disana (yang kemudian mereka sebut dengan leluhur). Dulu pernah ada pembongkaran rumah adat disini, selesai membongkar, orang-orang yang membongkarnya mati, ada yang sakit bahkan patah tulang dalam waktu yang berdekatan. Makanya ngga ada yang berani membongkar rumah adat ini."
"Oh, pantes rumah ini ngga dibongkar, padahal bapak udah punya rumah bagus disebelah rumah ini ya, pak."sahutku mengangguki.
"Iya, adik. Selain itu juga, rumah ini lebih sejuk daripada rumah yang ditempati sekarang. Walaupun rumah ini sudah tidak diurus, tapi masih banyak anak-anak disini yang bermain ke rumah ini karena sejuk. Tidak terasa panas matahari yang diluar kalau sudah masuk kesini."tambah beliau.
Memang, begitulah rumah adat. Sejuk, ramah lingkungan, dan masih mistis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H