Makin hari Aku makin bisa merasakan, juga dengan berat hati 'terpaksa' makin setuju dengan mereka yang mengatakan jika hari-hari ini hidup makin terasa berat.Â
Sebetulnya bagi sebagian orang mungkin akan berkata Aku terlalu lebay. Masak sih cuma karena sering dikasih jawaban memori penuh sama si gadget Aku sampai segitu susahnya.Â
Si gadget sudah ndak kuat lagi, memorinya sudah komplain, "Ngapain dipakai lagi, masih saja dipakai, aku menderita", jika saja dia bisa bicara pasti inilah yang akan 'dia' ucapkan
Tapi ya mau gimana lagi, karena kebutuhan akannya yang tak pernah henti, meski sering berasa sesak di dada, maafkan Aku gadget atas deritamu ini, kamu tetap harus kupakai, maafkan Aku yang sebegitu teganya, maafkan Aku yang begitu tidak memberi waktu bagi mu untuk bisa jeda dengan dukamu.Â
Sebuah kesadaran akan derita kehidupan yang sangat banyak bersileweran di sekitar kita, bukanlah fatamorgana, tapi nyata adanya dan Kualami sendiri.Â
Pagi itu, Aku bersiap-siap kelapangan, yang tidak begitu jauh dari rumah untuk sebuah kegiatan pengumpulan donasi bagi Palestina. Kuawali bersama beberapa orang dengan terlebih dulu mengelilinginya lapangan hanya beberapa putaran saja, untuk kemudian ikut menyibukkan diri dalam kegiatan donasi tersebut..Â
Setelah sekian lama, ada keinginan untuk cek info di gadget, siapa tahu ada yang menarik. Oo iya hampir lupa Aku ngasih tahu, kalau sudah bebrapa hari ini si gadget bukannya sering jawab kalau memorinya penuh, tapi dia sudah sampai pada, tidak bisa mendownload apk WhatsApp sewaktu diminta memperbaharui, karena sudah tidak ada space lagi sepertinyanya.Â
Padahal sudah berkali-kali, aku di suruh hapus, dengan penuh harap selesai menghapus, entah sudah untuk yang keberapa kalinya, si WhatsApp, tetap saja tidak mau lagi kooperatif dengan gadgetku.Â
Apa ada hubungan atau tidak, semenjak dia tidak bisa mendownload WhatsApp, gadget ku juga tidak bisa ditelpon pakai seluler di layar terlihat tulisan memanggil.Â
Lengkap sudah 'deritaku', untuk penggunaan paling minimal sebagai alat bantu komunikasi saja, dia benar-benar tidak berfungsi sama sekali.Â
Apalagi yang bisa kuharapkan darimu ooh gadget, andaiku ingin menghubungi, mengetahui sebuah informasi , inilah titik yang menurutku dia sebetulnya sudah komplain, habiis.Â
Sewaktu kuceritakan ke teman 'nasib' gadget ku, ternyata Aku bertemu orang yang tepat, Aku bertemu dengan orang yang senasib denganku.Â
Hanya satu kesimpulan, memang sudah harus lembiru, sebagaimana sudah berkali-kali dikomentari temanku yang lain, kalau gadget memang sudah harus 'lem biru', lempar beli yang baru, untuk komentar ini sering memang aku aamiinkan.Â
Sekembali ke rumah, dari berkegiatan semenjak pagi, terasa badan ini cukup letih perlu untuk diluruskan beberapa saat, bukan karena badanku 'berkelok-kelok', sebagaimana dulu pernah dikomentari buah hatiku.
Sewaktu Aku keletihan dan ingin istirahat dengan mengatakan, " Ummi ingin meluruskan badan", dengan spontan si gadisku berkata, " Emang badan Ummi berkelok-kelok", katanya, suatu komentar yang benar-benar di luar dugaan dan membuatku senyum sambil menahan tawa.Â
Setelah sejenak istirahat, kembali Kuingat akan si gadget dan kabar yang tersaji didalamnya. Tetapi dia tidak kutemukan dalam tas yang tadi Ku bawa ke apangan, terus kucari-cari kian kemari, bahkan juga Kutelpon dengan seluler pakai gadget suami, meski beberapa waktu lalu dengan cara ini tidak berhasil, tetap saja Kucoba.Â
Apalah daya, ternyata si gadget memang sudah tidak lagi Kutemukan, 'penderitaanya' di akhiri oleh Allah Sang Maha Penyayang dengan hilangnya dia dariku. Karena andaikan saja dia masih bersamaku entah berapa lama, berapa panjang lagi 'berat' yang akan menimpanya.Â
Allah punya cara sendiri, untuk mengakhiri derita gadgetku, karena dengan kondisi keuangan akhir-akhir ini, rasanya tidak mungkin untuk bisa membeli si gadget baru.Â
Sadar dalam diriku langsung bekerja, Aku harus secepatnya menyesuaikan diri tanpa gadget, belajar menikmati, kian kemari dengan berjalan kaki, karena Aku sudah tidak bisa lagi menelpon ibu tukang ojek langgananku, juga menelpon suami, untuk minta tolong dijemput.Â
Kebetulan Aku pulang berkegiatan selama beberapa bulan ini pada sore hari, berangkat harus berpanas-panasan siang bolong berjalan kaki sambil 'belajar menikmati', itung-itung anggap saja olah raga.Â
Belajar menikmati 'sulit' memang tidak mudah, tapi sebetulnya adalah sebuah keharusan bagi siapa saja yang belajar sadar. Aku memaksa diri untuk bisa lulus dengan nilai terbaik melewatinya, sebuah tekad yang pembuktiannya seiring berjalannya waktu.Â
Sesampai di tempat kerja, rekan kerjaku bertanya, apakah Aku ada mengikuti sebuah kegiatan dihadiri pejabat daerah yang juga melibatkan seorang siswa yang sebelumnya sudah dipilih.Â
Dengan rasa bersalah kukatakan tidak, karena Aku tidak dapat informasinya, sehubungan gadgetku yang hilang beberapa hari lalu dan sebetulnya sudah Kukasih tahu ke temanku yang satu ini.Â
Gawat juga nih pikirku, Aku mungkin bisa belajar menikmati hidup tanpa gadget, tapi ternyata jika itu berkaitan dengan pihak lain, apa mereka juga bisa memaklumi kondisiku.Â
"Zaman sekarang kita tidak bisa hidup tanpa gadget, belilah lagi, jika perlu pakai uang koperasi atau pinjam uang teman", kata seorang teman yang memahami kondisiku saat ini dan membuatku berfikir ulang untuk melanjutkan perjuangan, 'menikmati' hidup tanpa gadget.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H