4. Peraturan Bersama Mendagri dan Menbudpar No. 43/41 2009
Sebelum kita membahas lebih detail dari sisi perundang-undangannya, mengenai kebebasan beragama secara jelas diatur dalam konstitusi kita sebagai grondwet bahasa kerennya atau sebagai dasar dari undang-undang yang ada dan berlaku di negara kita. Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjelaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Ini adalah janji yang 'diucapkan' negara kepada kita, rakyat. selain janji ini, negara juga berjanji pada forum negara di dunia dengan meratifikasi konvenan hak sipil politik (UU Nomor 12/2005). Dalam konvenan internasional tersebut juga dnyatakan bahwa negara menjamin hak atas kebebasan beragama yang memiliki dua spektrum yaitu forum internum dan forum eksternum. forum internum adalah hak untuk memeluk agamanya. sedangkan forum eksternum adlah hak dalam memanifestasikan agamanya salah satunya adalah mendirikan tempat ibadah. hak manifestasi agama ini dapat saja dibatasi oleh negara dengan alasan melindungi ketertiban umum, keamanan publik, hak-hak atau kebebasan orang lain dan lain sebagainya (biasanya yang sering jadi sengketa adalah hak manifestasi beragama ini). Berdasarkan uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa dengan memeluk suatu agama atau kepercayaan, tidak akan mengurangi hak seorang warga negara. Jelas, ini adalah rasa yang pas dengan rasa yang saya yakini. artinya, dari segi konstitusi dan UU ratifikasi, gelombangnya sama dengan perasaannya, insting saya berkata ini benar. harusnya tidak ada yg salah dengan hukumnya. dalam tataran ini.
Namun perlu kita ketahui bahwa pelaksanaan hak-hk sipil politik diturunkan k dalam banyak Undang-Undang. Penjaminan atas hak-hak ini diturunkan dalam banyak peraturan. yang paling hakikat dan dasar menurut saya adalah administrasi kependudukan, karena bagian inilah yang akirnya jadi dasar untuk pelayanan lain2 bagi warga negara kita. dari liputan dalam metro realitas, permasalahan besar yang dihadapi oleh para penghayat kepercayaan adalah memang prmaslahan administasi kependudukan. Bahwa mereka kadang 'terpaksa' mencantumkan agama islam dalam KTP mereka karena susah ketika berhadapan dengan Bank untuk membuat buku tabungan dan lain sebagainya. hal ini jelas tidak sesuai dengan rasa keadilan saya. mereka selayaknya dapat hak dan kewajiban yang sama atas segal jenis layanan. lebih jauh lagi ketika bicara tentang pernikahan. kebanyakan yang terjadi adalah akhirnya pernikahan mereka tidak tercatat, pastinya efek domino dari hal ini akan kemana2 dan bukan efek yang kecil. karena akan menyangkut keabsahan kelahiran anak2 mereka dan lain sebagainya. kalaupun 'diakali' tentu tidak sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya, misalkan anak tersebut dicap sebagai anak luar kawin, tentu pelanggaran prinsip adanya pengaturan administrasi kependudukan jelas terjadi dalam hal ini. administasi kependudukan yang seharusnya mengahsilkan data yang valid atas apa yang terjadi pada penduduk Indonesia, malah jadi sekedar kegiatan 'adminsitrasi' saja, yang sekedar menyajikan data, tidak benar secara faktual.
sebenarnya dalam UU No. 23/2006, keberadaan penghayat kepercayaan telah diakui  pada pasal 8, 58, 61 dan 64. Apabila kita melihat lagi keperaturan turunannya yaitu PP No. 37/2007, keberadaan penghayat kepercayaan ini lebih tegas lagi diakui. mengenai penghayat kepercayaan ini dengan tegas definisinya diatur dalam Pasla 1 PP 37 pada bagian definisi. Karenanya secara struktur perundang-undangan, pengakuannya ada pada bagian konsep dari PP 37 dan menrut saya pengakuan itu cukup tegas. tinggal bagaimana dari segi teknis pengaturannya sebagaimana dijelaskan dalam batang tubuh (pasal perpasal yang lebih khsuus).
Pada UU No. 23/2006 diatur bahwa Instansi Pelaksana (atau biasa dikenal Disduk di tingkat kabupaten/kota) di bidang urusan Administasi Kependudukan salah satu kewajibannya adalah Pencatatan Peristiwa Penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan  ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan. artinya secara tugas dan fungsi, menjadi salah satu tugas dari pemerintah untuk melayani masyarakat penghayat kepercayaan. mengenai penghayat kepercayaan selanjutnya termasuk dalam data kependudukan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 58 UU 23. Namun memang, untuk KK dan KTP, aliran kepercayaan tidak dimasukan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 dan 64 UU 23, namun tetap dimasukan ke dalam database kependudukan. tidak dimasukannya aliran ini sejauh ini belum saya ketahui alasannya apa, karna dalam penjelasan pasal tersebut hanya dicantumkan "cukup jelas". hal ini disinyalir akan merugikan para penghayat kepercayaan dalam hal berhubungan dengan pihak ketiga karena pihak ketiga yang tidak paham akan menyangka mereka "atheis" atau "komunis". kalau saya liat mengapa masalahnya tidak dicantumkan dalam KK dan KTP, lebih ke arah untuk menghindari liarnya pencantuman "aliran kepercayaan". karena ketidakmampuan dari pemerintah untuk mendata aliran kepercayaan dan disamping itu belum efektifnya surat keterangan terdaftar aliran kepercayaan (mengingat aliran kepercayaan wajib dapat surat keterangan terdaftar (Perber Mendagri dan Menbudpar 43 dan 41/2009)). Jadi aliran kepercayaan belum dimasukan ke KK dan KTP namun dimasukan ke dalam database kependudukan.
Selain itu, apabila kita menilik PP No.37/2007, maka banyak terdapat aturan-aturan yang menegaskan bahwa seharusnya tidak masalah menganut aliran kepercayaan. seharusnya instansi pelaksana tetap harus melayani mencatat peristiwa penting penduduk walaupun mereka penghayat aliran kepercayaan. sebagaimana diatur dalam Pasla 81 sampai dengan 83, pejabat instansi pelaksana administrasi kependudukan mencatatkan perkawinan penghayat aliran kepercayaan dengan syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam peraturan tersebut. cuma yang menjadi catatan dalam pecatatan perkawinan ini adalah sikap pro aktif dari organisasi penghayat kepercayaan yang harus mendaftarkan diri pada Instansi yang berwenang (Bupati/Walikota atau Gubernur untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar dan Menbupar untuk mendapat surat keterangan terverifikasi). Perlunya sikap ini, saya lihat lebih karena memang untuk menilai suatu aliran kepercayaan itu ada atau tidak, mengingat banyak sekali aliran keprcayaan yang ada di Indonesia, perlu adanya inisiatif dari pemeluk aliran kepercayaan tersebut.
Simpul
Karena itu, berdsarkan uraian di atas, memang menurut saya pemerintah masih belum mampu mengamankan, menyamaratakan aliran kepercayaan dgn beberapa agama besar yang banyak dianut di Indonesia, namun bukan berarti hal tersebut tidak dijamin. amatlah mudah menilai kegagalan pemerintah, namun apabila menjadi regulator atau eksekutor, banyak sekali kebijakan yang perlu diperhatikan. karenanya semangat yang harusnya adalah adalah semangat memperbaiki bangsa ini bersama, bukan sekedar menuntut hak, tapi menyelesaikan masalah bersama. Pagi para pelaksana administasi kependudukan, ahrus paham bahwa semua orang memiliki hak yang sama, jangan melihat ketidak adilan lantas diam saja, lantas bilang, yah sudah diatur kayak gitu bu, ya kalo mau nikah ya cara islam ajalah, kalau mau ada akta ya  nikahnya diislamin aja. akhirnya data faktual dan data yuridis berbeda. akhirnya ga ada gunanya itu sistem bagus2 dibuat. Selain itu kepada para pemuka, tokoh aliran kepercayaan, mohonlah agar tidak terus 'nyinyir' pemerintah. daftarkanlah organisasi penghayat kepercayaan anda. mungkin setelah ini regulasi akan berubah dan mungkin akan ada lagi kemudahan bagi para penghayat kepercayaan. tapi menurut saya, secara prinsip hak anda sudah cukup dilindungi paska reformasi ini.
Adapun adanya pendapat tidak dicantumkannya aliran kepercayaan di KTP dan KK sehingga menimbulkan persepsi bahwa mereka tidak beragama seharusnya ditanggapi ke inti permasalahannya, yaitu memang masyarakat kita yang harus diedukasi tentang perbedaan, tentang bahwa bukan berarti tidak adanya agama di KTP dan KK lantas mereka tidak beragama. ini yang harus disosialisasikan. bukan malah akhirnya nyinyir dan menyimpelkan masalahnya pada adanya kolom agama di KTP. menurut saya hal ini simplifikasi maslah. padahl kita tau, untuk menghilangkan kolom agama bukan hal yang mudah, karena sejatinya KTP digunakan sebagai identitas kita, apapun latar belakang kita. identitas itu untuk apa? jelas untuk menunjukan siapa orang itu karena pasti ketika ada peristiwa yang terkait dengan dia dan kita hanya punya kTP, mungkin ada yang dapat membantu dia dari identitasnya, termasuk bagi para penghayat kepercayaan. apakah kita akan menguburkannya secara islam, padahal haram bagi mereka untuk dikuburkan diluar kepercayaan mereka kalau tiba2 terjadi kecelakaan misalnya? Karenanya jangan akhirnya stigma di masyarakat yang salah ini, yang menganggap tidak adanya kolom agama itu menyimpulkan jadi atheis dan lainnya, dan tidak menerima perbedaan beragama, akhirnya mengaburkan esensi kartu tanda penduduk yang didalamnya berisi identitas penduduk. obatilah penyakit sesuai dgn penyakitnya. Sedang untuk golongan mayoritas (islam) dan para ulama, mohon jangan 'memaksakan' agama pada saudara kita yang tidak ingin beragama layaknya kita, ada satu ayat di Surah Albaqoroh. letaknya bersebelahan persis dengan ayat Kursi. ayat itu berkata "Tidak ada Paksaan dalam beragama...."
Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H