Mohon tunggu...
Nofia Fitri
Nofia Fitri Mohon Tunggu... Administrasi - Political Researcher

Doctoral Student of Political Science at the University of Indonesia; Civic Lecturer at Poltekkes Jakarta III; Manager Program of an NGO Aliansi Kebangsaan. An owner of a Big Data Company, Warung Data Indonesia, and a Digital Politics platform Exploiticha.id (Exploration on Global Politics, Computer Technology, and Ethical). My research interest is in the areas of Digital Politics, Global Politics, and Political Ideology.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Syair Harmony untuk Kepergian Radiandra

28 Mei 2017   23:20 Diperbarui: 28 Mei 2017   23:45 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syair Harmony

Dalam goresan syair harmony,

kau meninggalkan pertanda tentang datangnya takdir kehidupan.

(Harmony, 2 September 2008)

            Sebuah lambaian tangan menandai perpisahan yang ditutup dengan tetes air mata di pipi Harmony. Hal ini bukan akhir dari segalanya, Harmony berusaha menghibur dirinya. Dia hanya sementara waktu tak kuasa untuk menahan kesedihan akan kebahagiaan sesaat yang dirasakannya bersama Radian. Kelak sulit untuk bisa menyentuh dan memandang mata indah itu, semua hanya mungkin dengan media dan kekuatan khayal, Harmony memikirkannya dan membuatnya nyaris tak mengatakan ‘iya’ saat Radian mengungkapkan keinginannya.

            Seperti dikatakan Radian, ”jika mendalami sastra kulakukan ditempat yang tepat, maka aku akan menciptakan karya yang bernilai. Kepergianku ke Teheran, untuk mempelajari sastra Persia, adalah mimpi terpendam yang harus diwujudkan”. Harmony berupaya mengungkap ke-ego-an nya dengan alih jauhnya Teheran, dan mungkin masih banyak tempat yang bisa menjadi pilihan untuk mendalami sastra, tanpa harus melintasi lautan. Tapi mimpi adalah mimpi, sesuatu yang harus dikejar dan diwujudkan. Rasa cintanya yang paling tidak didasari kesucian hati tak pelak membantah keinginan Radian menggapai mimpinya.

            Pesawat yang membawa Radian lenyap dalam pandangan sayu Harmony. Seperti ucapannya, Radian akan menelepon saat transit di Malaysia. Lalu mungkin akan kembali menelepon setelah Teheran menyambutnya. Kalau bukan karena Masterpiece Sadeq Hidayat yang membawanya pada keinginan untuk menciptakan karya lebih dari goresan The Blind Owl, mungkin tidak akan sampai Radian berfikir untuk meninggalkan Jakarta. Kalau bukan karena ambisi mensejajarkan diri dengan Poe, atau sebatas menjadi seperti Lovecraft, Harmony yakin tidak akan merasakan hampa yang menyita kefasihan berfikirnya saat ini.

            Hamony terus memandangi telepon genggamnya. Matanya bahkan tak menyingkir, dan fikirannya penuh dengan keinginan terlebih dahulu memencet nomor Radian dari telepon genggamnya. Sepanjang perjalanan Bandara Soekarno Hatta hingga Bekasi tempat tinggalnya, Harmony hanya memperhatikan telepon genggamnya hingga fikirannya mulai melalang buana dari Pajero hitam yang membawanya. Suara Pak Kendil menyentakkan Harmony.

            “Neng, handponenya kedip-kedip”. Ucap pak Kendil. Ia melirik dari spion depan dengan tetap menjaga keseimbangan kemudinya.

            ”Iya pak”. Harmony menyadari lamunan kosongnya. Dilihatnya layar telepon genggam yang tererat dalam kuat jari-jari kecilnya.

            ”Mami” bisik Harmony.

            ”Iya mam” Harmony mengangkat telepon genggamnya. Dari kejauhan, suara mami begitu merdu memberikan sedikit ketenangan batinnya.

            ”Sudah dimana sayang?” Tanya mami.

            “Keluar tol barat mam” Jawab Harmony.

            “Jiwamu masih dengan ragamu kan?” Mami melempar pertanyaan yang dalam dengan keinginan tersembunyi untuk mengukur kesedihan putrinya.

            ”Dalam setiap aliran darah, dan detak nadi, nyawa ini bersemayam pada ketenangan hati mami. Radian mungkin sudah merasakan hal itu dalam pandangannya padaku. Kalau tidak, mungkin takdir menghentikan  kepergiannya.”

            “Bisa mami pastikan kekuatanmu akan menyingkirkan ruang jiwa yang penat menghimpitmu. Ingat sayang, takdir tidak pernah menjauh, ia akan selalu mendekat, dan takdir itu akan segera mendekatimu.”

            Harmony seperti menerima energi dari ucapan lembut mami, dengan harapan dan pengaduan tentang kesedihannya, Harmony mengakhiri telepon mami. Mungkin aku memang terlalu mementingkan ego ku, mungkin aku yang terlalu lemah menghadapi semua ini, atau justru terlalu kuat. Kuatnya kebuntuan berfikir menutup alam rasionalku. Harmony kini tidak lagi melihat Radian dihadapannya, karena banyak garis yang menyusun sebuah rangka tentang masa depan, masa depannya dan masa depan Radian, mungkin.

”Aku juga mendalami sastra, aku mencintai sastra, dan aku adik kelasmu. Tak sedikitpun terbesit dalam hati ini untuk mengurung diri dalam mimpi. Aku juga punya mimpi, tapi apa mimpi itu harus membawaku menjauhimu”, Harmony pernah menyampaikan ungkapan hatinya. Tapi Radian seperti telah menemukan jalan luas menuju ambisi pujangganya. Radian bersikeras, dan energi itu luruh bersama dengan hilangnya Radian dari hadapan Harmony, saat pertama kali disampaikannya keputusan itu.

            Harmony melangkahkan kakinya, pintu rumah terbuka dan menyambut Harmony dengan penuh suka cita. Mami mungkin akan menghadangnya sebelum sampai ia pada peraduan terakhirnya. Mami mungkin akan memberikan sederet pertanyaan yang membuat Harmony membongkar rahasia hatinya, atau mami akan menggaungkan serangkaian kata yang panjang untuk mendinginkan raganya, dan mengisi kekosongan jiwanya. Tapi mami hanya diam, Harmony berlalu dalam pancaran cahaya dari mata mami, Harmony menatap tajam pandangan itu, disambut sekilas senyum mengembang diwajah mami. Aku tidak akan menghampiri mami, dan mami akan membiarkanku melakukannya.

            Dibaringkannya tubuh itu diatas alas tidurnya. Harmony melempar tatapannya pada ruang kosong atap putih yang bersih dihadapannya. Langit-langit itu seperti hati ini, tak berwarna, pucat, dan hampa. Apa yang aku fikirkan tentang Radian. Harmony bertanya pada kedalaman jiwanya. Apa yang aku rasakan kini dengan kepergiannya. Mungkin akan memakan waktu cukup lama hingga kehangatan itu dapat dirasakan kembali dengan sentuhan lembut Harmony yang mendarat pada kulit cerah Radian. Mungkin akan berlangsung setelah beberapa bulan, beberapa tahun, atau mungkin Harmony tidak dapat menghitungnya.

            Harmony terperanjak, ia membuka kelopak matanya lebar, dilihatnya jam dinding dengan bentuk masjid melekat kokoh didinding kamarnya. Tepat pukul empat sore, pesawat yang membawa Radian seharusnya sudah transit di Malaysia. Harmony mengambil telepon genggamnya, dilihatnya layar warna dihadapannya, tak berubah, masih seperti saat ia mulai memejamkan matanya. Tak ada miscall, tak ada sms, tak ada tanda-tanda seseorang menghubungi telepon genggamnya. Harmony berupaya menguasai keinginan hatinya. ’Tidak’, Radian akan meneleponku, aku tidak akan menghubunginya lebih dahulu.

            Harmony mengangkat tubuhnya yang lemah, ia melangkahkan kakinya yang begitu langsing memasuki kamar mandi. Dibasuhnya wajah putih itu. Kehangatan yang Harmony rasakan seperti masuk melalui pori-pori, mengalir melalui ribuan saraf tubuhnya, mungkin akan menusuk kuat jantungnya, atau justru mencairkan kebekuan hatinya. Harmony memandang wajahnya di cermin. Rambut hitam ini, seharusnya adalah milik Radian, mata indah ini seharusnya juga milik Radian, bibir ini, hidung ini seharusnya adalah milik Radian. Mungkinkah Radian akan memilikinya, Harmony bertanya pada cermin dihadapannya. Tapi cermin itu bisu, bahkan wajah dicermin itu hanya mengikuti ucapan Harmony.

            Tiba-tiba Harmony mendapati wajah dicermin itu mencemohnya, pancaran bola mata tajam mengusik pandangan Harmony, hidungnya mengendus, seperti bau yang menusuk, bibir itu mencibir, dan ia bersuara, ’semua takdir menjadi cerita dari syair harmony, tapi takdir itu akan mengakhiri penggalan syairmu’. Harmony tersentak, secara refleks disentuhnya wajah dicermin itu. Air mata, air mata mengalir dipipi wajah itu, putih bersih, tiba-tiba berubah menjadi merah. Harmony melihat darah, diambilnya botol shampoo yang tidak jauh dari tumpuan tangannya. Prang....cermin itu pecah, kini Harmony melihat darah itu sudah menyentuh kullitnya.

            Mami membalut luka ditangan Harmony. Ia memandang dengan penuh cinta wajah putrinya. Mami membelai rambut hitam Harmony, dikecupnya kening itu, seperti mengalirkan energi baru ketubuh Harmony.

            ”Kenapa kau pukul cermin itu?”

            ”Aku melihat wajah itu menangis, air matanya berubah menjadi darah. Aku takut mami.” Harmony memeluk erat tubuh mami. Ia tak kuasa menahan tetesan air mata membasahi wajahnya.

            “Mami melihat kesedihan itu, tapi kau tidak bisa terus-menerus larut sayang. Ini hanya perpisahan yang sesat. Radian akan kembali, dan kalian akan merangkai syair itu bersama.”

            ”Aku tidak berfikir tentang kemungkinan Radian kembali. Ia bahkan belum juga menelepon, tidak akan sampai khayalku melihatnya di tempat ini. Terlalu jauh mami, anganku tak akan mampu mencapainya.”

            ”Kau hanya perlu memikirkannya. Takdirmu akan datang, tidak peduli seberapa jauh atau dekat. Ia pasti akan datang menghampirimu, kau hanya perlu sedikit bersabar untuk menunggu.”

            Mami meninggalkan kamar Harmony. Balutan perban itu sudah mengikat erat luka dilengannya. Mungkin dalam satu minggu Harmony tidak akan bisa menggunakan laptopnya, mengetik sms, dan menggoreskan tinta untuk menumpahkan syair. Lengannya masih sakit, Harmony kadang merintih dalam kesendiriannya. Diambilnya buku harian disisi tempat tidur, Harmony mungkin belum bisa menuliskan sesuatu apapun, tapi bukan hal yang sulit untuk membacanya. Harmony melihat sekilas telepon genggamnya, ia mengalihkan perhatian dari buku harian ditangannya. Tangan kiri Harmony menggenggam erat, ditekannya nomor Radian. Tepat pukul enam sore, pesawat itu seharusnya sudah mendarat di Malaysia, dan telepon genggamnya akan memperdengarkan suara merdu Radian dari kejauhan.

            Telepon yang anda hubungi sedang diluar jangkauan area.

            Hanya operator yang menjawab. Kemana suara Radian, bisik Harmony dalam hatinya. Harmony melempar telepon genggam ditangannya. Seharusnya aku memang tidak menyentuh handphone itu, Harmony meneriaki dirinya sendiri. Diambilnya buku harian yang tadi diletakkannya. Radian meminjam buku ini tiga hari yang lalu. Harmony belum sempat membukanya, karena perhatiannya pada persiapan keberangkatan Radian. Harmony belum menuliskan sesuatu yang baru di buku itu, dan ini lah saatnya. Tapi ia tak berdaya, karena perban itu membalut erat lengannya.

Semua tentang harmony, bagaimana hidup membawamu pada petualangan tentang alam. Bagaimana hidup membawamu pada keindahan, danmungkin kedasyatan alam, semua tentang harmony.

Jika takdir mengubur mimpiku, maka hanya terwakilkan hatiku dalam sepenggal syair untukmu.

            (With Love, Radiandra)

           Secarik kertas terlampar dari buku harian diganggaman Harmony. Aku melihat jiwa Radian yang hampa, besit Harmony di kedalaman jiwanya. Aku dapat merasakan kepergian itu, aku dapat melihatnya dengan kekuatan hatiku. Aku akan kehilangannya, mungkin ia akan lepas bersama barisan syair harmony digenggaman tanganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun