Sedikit cerita tentang usaha ku untuk mengikuti Program PhD Filsafat Politik di Glasgow University.... :)
"Apa yang kau telah ketahui saat ini dan nanti, hanyalah sebagian kecil dari sedemikian luasnya ilmu pengetahuan yang -mampu otak manusia taklukan- harus ditaklukan. (Keyakinan Para Pencinta Ilmu)
Ia sang economist revolusioner, salah satu figur terdepan the Austrian Schools, menerbitkan karya termasyur yang menggores sejarah, Road to Serdom. Friedrich von Hayek, salah satu arsitek liberal terdepan dalam kepemimpinan Margaret Theatcher mengargumentasikan sebuah kebebasan dititik esktreem hingga ia dikenal sebagal “libertarian sejati.” Isi kepalanya sedikit banyak dipengaruhi pemikiran Adam Smith, filsuf besar dan bapak ekonomi yang dilabel sebagai pengkonsep pertama sistem yang saat ini mendominasi dunia, the Perfect Liberty. Smith menghabiskan kisah hidupnya sebagai professor filsafat moral di Universitas Glasgow. Dari tempat inilah ia merumuskan sebuah formula dasyat bermuatan political-economy tentang peran negara dalam memberi kebebasan kepada individu. Kontribusi besarnya tidak pernah akan terjangkau sekalipun oleh sebuah patung gagah menjulang di Universitas Glasgow yang dibangun sebagai pengenang jasa-jasanya bagi dunia, dulu, hari ini dan yang akan datang.
“Ditempat itu pulalah aku kelak menyiapkan konsep ideal yang nantinya akan mempreteli sistem Smith yang dianggap sempurna” bisikku dalam hati sambil memandang dalam webpage salahsatu dari tiga universitas terbaik di UK dan di dunia. Hanya dalam kurun waktu dua minggu setelah email pertamaku dikirim sebuah balasan “terdasyat” sepanjang sejarah pendidikan seorang Nofia sampai dikotak surat. Professor Dudley Knowles dari Department of Philosophy, University of Glasgow menulis “thanks for your email, you’re right choosing Glasgow for your future education.” Pada email pertamanya Prof. Knowles menulis dengan ekspresi yang tidak seramah email kedua, dimana ia mengkritisi kemampuan bahasa terkait jurusan filsafat yang kutuju. Satu hal yang hari itu kufikirkan adalah, jadikan kelemahan sebagai kekuatan. Dalam email keduaku yang dibalas hanya dalam kurun waktu lima jam setelah dikirim, aku berusaha keras meyakinkannya bahwa aku memiliki kemampuan untuk menjadi bagian dari kelas filsafat yang rumit dan berbaur dengan english speakers dengan kekuatan bahasaku yang semakin terasah.
Aku menyadari jalanku menuju Glasgow tidak akan mudah, masih ada tahapan-tahapan panjang yang mesti dilalui. Kesuksessan dimulai dari keyakinan kawan, mulailah dengan menyakini dirimu sendiri kan kau temukan sebuah kemampuan untuk meyakinkan orang lain. Mengutip Nuku Soleman, senior aktivis di kampus Perjuangan UNAS almamater tercintaku “ragu-ragu pulang saja.” Keraguanmu hanya akan menghambat jalanmu, seperti halnya aku memulai, dari hidup sebagai ‘seni memilih’ seorang yang cerdas tahu bagaimana menentukan pilihan dan camkan lah hal ini “jika kau lihat didepanmu ada hambatan, lewatilah, karena sesudahnya ada keberhasilan. Jalannya boleh berliku tapi selalu ada sepuluh menit terakhir untuk merubah keputusan jalan mana yang paling memungkinkan untuk dilalui.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H