Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dan maritim, seharusnya tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan atau memiliki ketahanan pangan yang tinggi. Namun, ini merupakan tantangan berat bagi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan. Rendahnya tingkat ketahanan pangan lebih disebabkan oleh letak geografis Indonesia dengan kondisi berupa pulau-pulau yang menyebabkan ketimpangan produksi, distribusi, dan penyerapan panganantar provinsi di Indonesia.
Pembangunan  pertanian  berperan  strategis dalam pembentukan  sistem perekonomian nasional, peran  strategis tersebut ditunjukkan  melalui  berbagai aspek  seperti,  pembentukan  kapital,  penyediaan bahan  pangan,  bahan  baku  industri,  pakan  dan bioenergi,  penyerap  tenaga  kerja,  sumber  devisa negara,  dan  sumber  pendapatan,  serta  pelestarian lingkungan melalui  praktek  usaha  tani  yang  ramah lingkungan (Adenle at al, 2019). Sepanjang sejarah Indonesia, aktor negara telah mengejar pendekatan yang berpusat pada negara dan produktif untuk menyelesaikan masalah ketahanan pangan. baru-baru ini, keterlibatan dengan pertanian organik telah menunjukkan peningkatan kemauan keingintahuan untuk mempertimbangkan kontribusi potensial dari skala, bentuk produksi yang lebih berkelanjutan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 menjelaskan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari sumber hayati hasil pertanian olahan, kehutanan, perkebunan, perikanan, air, peternakan, baik yang sudah diolah maupun yang tidak diolah yang dimaksudkan untuk dikonsumsi manusia sebagai makanan atau minuman, termasuk bahan pangan tambahan, bahan baku pangan yang digunakan pada proses pengolahan makanan atau minuman.Â
Melihat prospek ketahanan pangan Indonesia satu dekade atau lebih dari sekarang membutuhkan penilaian pada tiga masalah penting. (1) bagaimana Indonesia akan diatur (yaitu kualitas tata kelola); (2) bagaimana perekonomian akan menanggapi tata kelola tersebut (yaitu bagaimana "pro-miskin" akankah pertumbuhan ekonomi); dan (3) apa yang akan terjadi pada pasar beras dunia? Jika kita memiliki pengertian yang cukup jelas tentang apa hasilnya di ketiga bidang ini, itu akan relatif langsung untuk memahami kemungkinan hasil untuk ketahanan pangan negara.
 Produksi lokal dapat ditingkatkan tidak hanya secara pertanian tetapi juga dalam konteks kepemilikan individu. Daerah pedesaan di Indonesia khususnya di Bali, umumnya memiliki pekarangan yang dapat diisi dengan tanaman penghasil buah. Memanfaatkan pekarangan untuk menanam tanaman pangan untuk konsumsi sendiri dapat mendukung program ketahanan pangan di tingkat akar rumput. Dengan cara ini, keduanya petani dan non petani dapat berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Cara lain untuk mendukung swasembada pangan lokal adalah melalui diversifikasi pangan. Orang harus mendiversifikasi makanan mereka konsumsi untuk mengurangi ketergantungan pada satu produk pangan. Melalui diversifikasi konsumsi pangan, pertanian sistem juga dapat melakukan diversifikasi.
 Selain itu, menanam hanya satu tanaman membuat pertanian lebih rentan terhadap hama, gulma, dan penyakit, meningkat ketergantungan pada bahan kimia. Namun, informasi dan mekanisasi mengenai produksi di tingkat petani diperlukan untuk mendukung diversifikasi pangan dan sistem pertanian. Jadi, pengembangan teknologi diperlukan untuk mendukung produksi pangan lokal. Di Indonesia khususnya di Bali, beras bukanlah makanan pokok universal. Beberapa daerah makanan pokoknya adalah jagung, singkong, dan sagu. Hal ini menunjukkan bahwa diversifikasi pangan memiliki potensi di Indonesia.
 Menurut Neilson (2017) menyatakan bahwa banyak negara-negara di dunia gagal mencapai ketahanan pangan karena mereka tidak berbuat banyak dalam diversifikasi pangan. Hal ini menyarankan tradisi dan kearifan lokal perlu diperhatikan dalam konteks ketahanan pangan. Gagal panen, kehilangan hasil, dan sampah rumah tangga merupakan masalah ketahanan pangan. Hal ini merupakan aspek-aspek yang mewakili sisi positif dari pandemi dalam hal ketahanan pangan.Â
Orang ingin menghemat uang sebanyak yang mereka bisa, hal tersebut membuat mereka lebih sadar akan sisa makanan dan mengarah pada strategi untuk menggunakan semua yang telah dibeli. Kesadaran menghindari sisa makanan di masa pandemi semakin meningkat karena banyak orang yang merugi pekerjaan mereka dan tidak bisa makan pada tingkat yang sama seperti sebelum pandemi. Kesadaran ini dapat mendukung upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan.
 Meski Indonesia belum menerapkan tindakan lockdown yang ketat untuk meminimalisir penyebaran COVID-19, namun beberapa daerah telah menerapkan PSBB atau membatasi kegiatan tertentu. Produksi pangan umumnya terpusat pada daerah-daerah tertentu, dengan daerah lain yang mengimpor makanan itu. Namun, keterbatasan pada kegiatan ekonomi dan non-ekonomi telah berdampak pada rantai pasokan makanan.Â
Menurut Sun (2020) menyatakan bahwa setiap sistem pangan terkena dampak bencana. Respon cepat untuk masalah ini diperlukan untuk menyederhanakan rantai pasokan makanan. Masalah rantai pasok mempengaruhi sistem pasar dan harga pangan.Â
Hal tersebut pasar perlu dipantau untuk mengendalikan harga pangan dan menjaga agar pangan dapat diakses oleh semua orang; dengan kata lain, untuk mencapai ketahanan pangan. Harga beras di Indonesia selama masa pandemi tidak signifikan di beberapa daerah. Namun, jika pandemi berlanjut, peningkatan tidak bisa dihindari dengan perbedaan harga di setiap daerah disebabkan oleh sistem rantai pasok, penyebab lainnya adalah kurs US Dollar (Svanidze, 2019)