[caption caption="Salah satu poster yang terdapat di Museum Pulau Onrust | dokpri"][/caption]
“The worst thing that colonialism did was to cloud our view of our past”.
Begitulah salah satu kutipan dari Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama dalam bukunya yang berjudul Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance. Ya, hal terburuk yang kolonialisme lakukan adalah mengaburkan pandangan dan konsepsi kita terhadap masa lalu, hingga buta pada akhirnya. Disini, proses mencipta dan memberikan makna simbolis terhadap hal yang telah lalu menjadi hal yang penting, sebagai prasyarat untuk terbentuknya sebuah ingatan. Ingatan yang digunakan untuk merekonstruksi sebuah kejadian di masa lalu; membuatnya sebagai pijakan masa kini; dan menjadikannya titian untuk masa depan yang lebih baik.
Kami mendapat kesempatan untuk kembali menelusuri sisa-sisa simbol masa lalu dalam acara blogtrip yang diadakan Kompasiana bersama Kementerian Pariwisata pada tanggal 24-25 Oktober lalu. Napak tilas ini diikuti oleh 19 peserta dan diadakan di Kawasan gugusan Kepulauan Seribu. Peserta diajak untuk menjelajahi beberapa pulau; sembari merasakan kembali atmosfer masa kolonial.
[caption caption="Berangkat dari dermaga 15, Marina Ancol | dokpri"]
Kepulauan Seribu merupakan kawasan yang terletak di utara Jakarta yang terdiri dari gugusan kepulauan dengan karakteristik pariwisata yang berbeda, yaitu: Wisata Bahari, Sejarah dan Konservasi. Pulau yang memiliki potensi kepariwisataan bahari terdapat pada sebagian besar pulau di gugusan Kepulauan Seribu, namun terfokus pada pulau dengan jumlah pengunjung yang banyak, antara lain: Pulau Harapan, Tidung, Pari, Pramuka dan Untung Jawa. Wisata sejarah dapat kita temui di Pulau Onrust, Cipir, Bidadari dan Kelor. Sedang di Pulau Rambut, Sepa dan Bokor, kita dapat menjelajahi wisata konservasi flora dan fauna. Dari sini dapat kita lihat bahwa Kepulauan Seribu mempunyai potensi yang besar sebagai Kawasan Pariwisata Terpadu, yang akan semakin memperkaya khazanah Pesona Indonesia
[caption caption="Peta kuno pulau disekitar Teluk Jakarta | dok Chandriyan Attahiyat"]
Eksplorasi kami mulai pada Sabtu pagi, 24 Oktober 2015 dengan titik keberangkatan Dermaga Marina nomor 15, Ancol. Setelah mendapat pengarahan dari Panitia, tepat pukul 10.30 WIB kami menuju ke Pulau Bidadari, sebagai basecamp sekaligus tujuan pertama rendezvous ini.
And here we go...
Pulau Bidadari
Setelah menempuh perjalanan 20 menit, tibalah kami di dermaga Pulau Bidadari. Pulau yang dulunya bernama Pulau Sakit ini mempunyai luas wilayah sekitar 6 hektar. Dulunya pulau ini dibiarkan dalam keadaan kosong, hingga diputuskan untuk dikelola sebagai resort pada tahun 1970. Karena alasan branding, maka pada tahun 1976, pulau ini berubah nama menjadi Pulau Bidadari.
[caption caption="Patung yang menjadi ikon Pulau Bidadari | dokpri"]
Tak jauh dari tempat reservasi, terdapat sebuah batu prasasti yang menceritakan bagaimana perkembangan pulau ini secara garis besar pada rentang abad 19 hingga tahun 1972; dari bagaimana pulau ini diperebutkan antara VOC (Belanda) dengan Britania Raya hingga bagaimana pulau ini ditetapkan sebagai situs cagar budaya.
[caption caption="Batu prasasti Pulau Bidadari | dokpri"]
Di pulau ini anda akan menemukan banyak sekali patung replika tentara kolonial dan meriam. Hal ini dilakukan untuk membantu menghadirkan suasana masa lalu dan memperkuat konsep heritage dari Pulau Bidadari.
[caption caption="Siluet patung tentara VOC | dokpri"]
Dengan dipandu oleh Bapak Chandriyan Attahiyat selaku Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta dan Bapak Wiratmoko sebagai Kepala Divisi Pengelola Resort PT. Seabreez , kami berkeliling untuk menjelajahi titik utama dari Pulau Bidadari, yaitu Menara Mortello.
[caption caption="Menara Martello nampak dari luar, dengan meriam asli tembaga | dokpri"]
[caption caption="Bagian dalam Martello | dokpri"]
Menara Martello ini dibangun Belanda pada tahun 1850 sebagai menara pengawas musuh yang akan mendekat ke Batavia dari arah barat. Menara yang dulunya berbentuk lingkaran ini meniru dari menara yang dibangun Kerajaan Inggris pada perang Napoleon. Dengan bentuk melingkar 360°, akan memudahkan untuk melihat ke segala penjuru. Namun Menara ini kemudian hancur pada tahun 1883 akibat gelombang tidal letusan Gunung Krakatau. Hal ini diperparah dengan diambilnya material bangunan menara ini oleh penduduk sekitar pada tahun 1968 sebelum kawasan ini ditetapkan menjadi kawasan yang dilindungi. Satu hal yang masih menjadi misteri, belum ditemukan dimana letak pintu masuk dari menara ini.
[caption caption="Pohon Jodoh, gimmick menarik di Pulau Bidadari | dokpri"]
Selain Menara Martello, di pulau ini juga terdapat banyak hal menarik, seperti Pohon dan Pantai Jodoh; dengan segala mitosnya. Selain itu bagi penggemar flora fauna, terdapat berbagai jenis spesies tumbuhan dan hewan yang bisa ditemukan di pulau ini. Anda bisa menemukan, Pohon Kayu Hitam (Diospyros maritama), Pohon Glodokan (Polyathea longifolia) Pohon Kepuh atau Kelumpang (Sterculia foetida), Pohon Sentigi (Pempis acidula) dan beberapa jenis tumbuhan lainnya. Ada juga tempat penangkaran rusa totol dan lumba-lumba. Apabila beruntung, anda bisa menyaksikan Elang Bondol dan Biawak yang berseliweran di sekitar pulau.
[caption caption="Rusa Totol, jinak dan ramah pada manusia | dokpri"]
[caption caption="Biawak sepanjang 2 meteran, menyaru dalam air | dokpri"]
Pulau Onrust
Tempat selanjutnya yang kami kunjungi adalah Pulau Onrust. Pulau ini memiliki sejarah panjang, dimulai ketika pada tahun 1610, JP. Coen meminta ijin untuk membangun tempat perbaikan kapal laut—yang akan berlayar ke Asia— disalah satu pulau di area Teluk Jakarta kepada Pangeran Jayakarta. Permintaan ini kemudian disetujui dengan memberikan ijin pemakaian di pulau ini hingga pada medio tahun 1600-an, VOC mulai membangun benteng pertahanan dan gudang. Pada tahun 1800-an, akibat berkecamuknya Perang Kontinental di Eropa —yang ikut menyeret koloni-koloni ke dalam peperangan— Inggris mulai melakukan serangan ke Batavia dan turut pula menghancurkan benteng pertahanan di Pulau Onrust.
[caption caption="Taman Arkeologi Onrust | dokpri"]
Cerita kemudian berlanjut ketika pada tahun 1911, setelah dilakukan pembangunan kembali, Belanda mengubah peruntukan Pulau Onrust (bersama dengan Pulau Cipir) menjadi tempat karantina bagi para haji. Karantina ini dilakukan untuk aklimatisasi dan mencegah penyakit yang mungkin dibawa oleh orang-orang selepas mereka menjalankan ibadah haji. Konon hal ini juga sebagai taktik politik Belanda yang ingin mengontrol pemikiran dari masyarakat muslim pada saat itu.
[caption caption="Yang tersisa di Onrust | dokpri"]
[caption caption="Desain melengkung khas Arsitektur Kolonial | dokpri"]
Menginjak tahun 1933, Pulau Onrust dijadikan sebagai tempat tawanan Zeven Provinciën atau peristiwa Kapal Tujuh Provinsi, sebuah peristiwa pemberontakan kapal angkatan laut Zeven Provinciën milik Belanda di lepas Pulau Sumatra. Pulau Onrust berubah fungsi lagi setelah invasi Jepang pada tahun 1942. Pada masa ini, pulau ini digunakan sebagai tempat tahanan bagi orang dengan kejahatan serius. Setelah Indonesia merdeka, Pulau Onrust kemudian bergantian digunakan sebagai Rumah Sakit Karantina, tempat penampungan gelandangan dan pengemis serta tempat latihan militer.
Sama nasibnya dengan Menara Martello, material bangunan yang sempat ada di pulau ini juga menjadi “korban” jarahan warga pada tahun 1968. Sedikit ironis, karena penjarahan ini dilakukan atas seijin kepolisian setempat. Baru pada tahun 1972, Gubernur DKI Jakarta saat itu—Ali Sadikin— mengeluarkan SK (Surat Keputusan) yang menetapkan Pulau Onrust sebagai pulau bersejarah yang dilindungi. Kini, yang tersisa hanyalah puing bangunan, bahkan beberapa hampir rata dengan tanah, bersanding dengan sebuah bangunan baru yang digunakan sebagai Museum Pulau Onrust.
[caption caption="Beberapa situs hampir rata dengan tanah | dokpri"]
[caption caption="Kuburan orang Belanda yang mati muda | dokpri"]
Di Pulau Onrust terdapat makam yang diduga adalah tempat dimana Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, seorang tokoh Darul Islam dikuburkan. Walaupun pada tahun 2012 lalu, Fadli Zon telah merilis sebuah buku berjudul “Hari Terakhir Kartosuwiryo”, buku yang merekam 81 foto jejak-jejak terakhir Kartosuwiryo. Buku itu menyatakan bahwa Kartosuwiryo dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Ubi, pulau yang kini sudah tenggelam.
[caption caption="Suasana eksekusi Kartosuwiryo | dok Fadli Zon"]
Hal yang berbeda diungkap oleh Arsip Nasional, dimana arsip yang ada mengungkapkan bahwa Kartosuwiryo dieksekusi dan dikuburkan di Pulau Nyamuk. Di Arsip Nasional pula anda dapat menemukan koleksi arsip VOC dalam penjajahannya di Indonesia.
Pulau Kelor
Pulau terakhir yang kami kunjungi adalah Pulau Kelor. Pulau yang beberapa waktu lalu menjadi tenar karena menjadi tempat dilaksanakannya pernikahan selebritis, yaitu Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto. Dari kejauhan, pesona utama pulau ini sudah terlihat, yaitu Benteng Martello. Bentuk melingkar ditambah nuansa warna merah membuat benteng ini terlihat fotogenik. Tak heran banyak yang melakukan sesi prewedding di pulau ini.
[caption caption="Pulau Kelor dari kejauhan | dokpri"]
Pulau yang dulunya bernama Pulau Kherkof ini memang seperti namanya sekarang, selebar daun kelor. Beberapa beton pemecah ombak nampak berada di salah satu sisi pulau, guna mengurangi efek destruktif akibat abrasi. Konon, abrasi sudah memakan separuh dari luas pulau ini sebelumnya.
[caption caption="Benteng Martello di Pulau Kelor | dokpri"]
Benteng Martello adalah benteng yang dibangun VOC pada abad ke-17 untuk menghalau serangan musuh. Benteng ini juga ikut terkena dampak meletusnya Gunung Krakatau pada tahun 1883, sehingga menimbulkan kerusakan di berbagai bagian. Ditambah dengan ganasnya abrasi yang terus terjadi. Dinding-dinding bata merah ini sebenarnya adalah dinding bagian dalam dari benteng ini. Jadi, dimensi benteng yang asli jauh lebih besar daripada yang ada saat ini. Pada tahun 2002, akhirnya Pemerintah memberikan status Taman Arkeologi kepada Pulau Kelor, Onrust, Cipir dan Bidadari guna melindungi situs-situs peninggalan kolonial yang terdapat di keempat pulau ini.
[caption caption="Sisi dalam Benteng Martello | dokpri"]
[caption caption="Elemen utama Benteng terbuat dari batu bata merah, dengan plester yang sudah terkelupas | dokpri"]
[caption caption="Senja di Martello | dokpri"]
Setelah menjalani kegiatan yang padat, peserta kembali ke Pulau Bidadari untuk melakukan review dan diskusi kegiatan blogtrip hari pertama. Pak Chandriyan masih mendampingi kami untuk brainstorming dan mengelaborasikan ide dan pendapat menarik dari banyak peserta. Kegiatan kemudian berlanjut ke sesi barbeque dan ramah tamah hingga tengah malam menjelang.
Hari kedua blogtrip diisi dengan kegiatan santai. Dimulai dengan kegiatan berburu sunrise, ada yang memilih melanjutkan untuk hunting foto, berkeliling pulau ataupun mencoba sensasi menaiki banana boat. Rasanya seperti tak ingin kembali ke rutinitas di keesokan hari.
[caption caption="Berburu sunrise di Pulau Kelor | dokpri"]
Menikmati blogtrip Pulau Bidadari, Onrust dan Kelor menimbulkan kesan mendalam bagi penulis. Kesan inilah yang mungkin dimaksud oleh Romo Mangun. Beliau mengungkapkan bahwa arsitektur punya guna dan citra; citra yang disampaikan dalam bahasa pesan dan kesan arsitektur pada lingkungannya. Tentang bagaimana sebuah karya arsitektur — sungguhpun ia mati— mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia. Pada akhirnya, melalui puing-puing dan sisa bangunan inilah penulis belajar mengenai kehidupan. Historia vitae magistra, la historia me absolvera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H