Meski sudah tiada, Gus Dur dan humornya selalu mampu mengetuk pintu-pintu pikiran warga yang tertutup rapat. Belakangan humor Gus Dur bahkan membidik dengan tajam pintu pikiran beberapa aparat kepolisian sehingga membuat 'gelagapan', yang kemudian mengharuskan aparat tersebut mengambil sikap despotis secara berlebihan.
Cerita ini bermula dari pemanggilan seorang pria oleh Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara, karena postingan seorang pria soal candaan "tiga polisi jujur" Gus Dur yang berujung polemik. Pria yang dipanggil tersebut dimintai klarifikasi karena menulis di dinding Facebook-nya soal lelucon Presiden RI ke-4 terkait pesan 'Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: Patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng'. Bahkan sempat beredar di media sosial perihal isu 'penangkapan' pria itu (detik/19/06/2020). Meskipun modus 'panangkapan' tersebut berubah menjadi 'klarifikasi', tetapi fakta ini menjadi markah betapa teledornya cara pandang aparat terhadap satu perspektif yang dibalut dalam sebuah humor sederhana.
Postingan semacam itu sejatinya merupakan humor lawas dan lazim yang telah lama mengundang banyak tawa anak bangsa. Ia menjadi pesan distingtif untuk melukiskan cara kerja 'abstrak' aparat kepolisian selama ini. Sehingga ketika aparat sontak reaktif maka sesungguhnya ia sedang mempertontonkan parade eskapisme (Corvin, 2002) dimana seorang aparat ingin berpaling dari kenyataan yang sebenarnya persis seperti apa yang disindir dalam humor Gus Dur itu sendiri.
Estimasi Kejenakaan
Humor politik adalah jalan komunikasi yang cukup nyentrik, komikal, Â bahkan sarkastik. Homor dan Gus Dur adalah hempasan gelombang dan lautnya, nyaris tidak bisa dipisahkan. Homor tidak hanya menjadi alat komunikasi dan diplomasi, tetapi ia seperti menjadi bagian dari sublimasi kehidupan Gus Dur yang sangat dalam. Ia menjadi bab khusus dalam seluruh episode panjang kehidupan nyeleneh Gus Dur.
Ketika ada seseorang yang kemudian mengunggahnya maka humor itu bisa bermakna ganda; hendak mengekspresikan hikayat yang janggal bahkan pelik, terutama terkait peran dan posisi aparat kepolisian. Pada konteks yang berbeda dapat menyingkap kebenaran normatif tanpa harus mengungkapkannya secara terang-terangan.
Melalui dua dalih ini, secara spontan seseorang tersebut akan menunggangi statemen Gus Dur untuk mempertegas sudut pandang dirinya ke permukaan. Seperti ingin menarik individu-individu untuk terkekeh bersama-sama mengestimasi kejenakaan kinerja aparat kepolisian.  Atau Semacam keterampilan dalam sebuah komunikasi untuk mengkritik aparat tidak dengan sentimen yang bergejolak dan besar kepala, tetapi dengan menginsinuasi realitas ke dalam sebuah pesan politik  secara seksama.
Homur semacam ini dalam pendekatan linguistik termasuk bagian penting dari implikatur (Mey, 1994). Sebuah trik untuk menjelaskan apapun secara implisit dan metaforis. Siapapun yang membaca atau mendengarkan, ia tidak hanya berhenti di satu titik, tetapi akan tergelitik untuk menggali aspek penting di balik ujaran. Pengetahuan mereka atas apa yang ada di balik ujaran memungkinkan seseorang menjadi girang bahkan juga sanggup mendedahkan tawa.
Reaktif
Sikap aparat  yang tergesa-gesa menandai sebuah gelagat dari sebuah tindakan defamatory (P.S Arend, 1997). Sikap  ganjil utuk menjatuhkan bahkan mematahkan satu sudut pandang yang diyakini merugikan marwah aparat.  Sikap-sikap ini kerap kali terjadi dalam sebuah institusi yang tidak memiliki kesanggupan untuk menerima kritik secara bebas dan terbuka. Sehingga berbagai kritikan yang datang kemudian dengan begitu mudah diterjemahkan sebagai manuver yang memiliki konotasi negatif terhadap keberlangsungan institusinya. Â
Langkah 'klarifikasi' aparat kemudian tidak tampak kalis seperti apa adanya, tetapi ia seolah-olah menunjukkan kekuatan (show of force) untuk menggertak dan menggetarkan nyali siapapun yang berurusan dengan mereka. Sikap demikian berpotensi menuai 'hasil' karena sejak awal sudah dirancang untuk menggunting penyebaran akseleratif pesan kritik tersebut. Artinya, aparat akan membentuk predisposisi terhadap tindakan sosial tertentu untuk menghadapi isu-isu yang bertentangan dengan kecenderungan cara pandang aparat itu sendiri.
Tetapi perlu dicatat, dalam babakan yang lain ia justru akan menjadi parasit bagi aparat. Setidaknya, jika memang aparat tidak merasa tertuduh dengan pesan-pesan dalam humor Gus Dur yang diorbitkan oleh seseorang, mengapa mereka harus meradang? Apapun itu, yang jelas para anak bangsa akan tertawa untuk kedua kalinya. Tertawa pada humor Gus Dur, dan tertawa karena tenyata humor tersebut semakin lucu dan semakin menemukan konteksnya akibat ulah aparat kepolisian di Kepulauan Sula.
Tak perlu ada ketegangan dalam adu sudut pandang bernegara, apalagi harus merasa berang pada sebuah humor politik. Humor tetaplah homur. Ia kerapkali menjadi alat sindiran pada apa yang disebut apatis, statis, dan acuh tak acuh. Bahkan ia kerapkali menjelma menjadi self-deprecating (Gove,1989) untuk sekedar menertawakan diri sendiri. Jika aparat tidak mampu menertawakan dirinya sendiri padahal ulahnya berkelok, maka tentu saja perlu humor sebagai alat meremas bibir yang berfungsi sebagai relief di tengah situasi kebangsaan yang penuh kepura-puraan ini; semisal pura-pura tidak sadar, pura-pura kaget, pura-pura tidak tahu, dan kepura-puraan yang sejenis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H