Langkah 'klarifikasi' aparat kemudian tidak tampak kalis seperti apa adanya, tetapi ia seolah-olah menunjukkan kekuatan (show of force) untuk menggertak dan menggetarkan nyali siapapun yang berurusan dengan mereka. Sikap demikian berpotensi menuai 'hasil' karena sejak awal sudah dirancang untuk menggunting penyebaran akseleratif pesan kritik tersebut. Artinya, aparat akan membentuk predisposisi terhadap tindakan sosial tertentu untuk menghadapi isu-isu yang bertentangan dengan kecenderungan cara pandang aparat itu sendiri.
Tetapi perlu dicatat, dalam babakan yang lain ia justru akan menjadi parasit bagi aparat. Setidaknya, jika memang aparat tidak merasa tertuduh dengan pesan-pesan dalam humor Gus Dur yang diorbitkan oleh seseorang, mengapa mereka harus meradang? Apapun itu, yang jelas para anak bangsa akan tertawa untuk kedua kalinya. Tertawa pada humor Gus Dur, dan tertawa karena tenyata humor tersebut semakin lucu dan semakin menemukan konteksnya akibat ulah aparat kepolisian di Kepulauan Sula.
Tak perlu ada ketegangan dalam adu sudut pandang bernegara, apalagi harus merasa berang pada sebuah humor politik. Humor tetaplah homur. Ia kerapkali menjadi alat sindiran pada apa yang disebut apatis, statis, dan acuh tak acuh. Bahkan ia kerapkali menjelma menjadi self-deprecating (Gove,1989) untuk sekedar menertawakan diri sendiri. Jika aparat tidak mampu menertawakan dirinya sendiri padahal ulahnya berkelok, maka tentu saja perlu humor sebagai alat meremas bibir yang berfungsi sebagai relief di tengah situasi kebangsaan yang penuh kepura-puraan ini; semisal pura-pura tidak sadar, pura-pura kaget, pura-pura tidak tahu, dan kepura-puraan yang sejenis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H