Mohon tunggu...
farhan abbas
farhan abbas Mohon Tunggu... -

saya farhan SGI IV

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Guruku Tolong Ngertiin Aku dong

9 Desember 2012   10:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:57 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diam,,,,kata seorang guru ketika mengajar bahasa sunda di SD yang berada pada kawasan jampang Bogor. Kalian ini tidak bisa diatur, kalian memang menar-benar anak yang nakal. Semua siswa terdiam mendengar ibu gurunya mengomel sambil mengikuti gayanya.

“Riki maju kedepan” Kata ibu Nur (samaran) melihat gaya marahnya ditiru. “Kamu ini memang benar-banar ya, tidak henti-hentinya kamu membuat ulah di kelas, omelan Ibu Nur seraya menjewer telinga Riki”.

Hari pertama aku melakukan surve, aku sempat kaget melihat anak-anak yang bandelnya minta ampun seperti itu. Aku bahkan sempat berdo’a mudah-mudahan aku tidak dapat mengajar di kelas mereka. Tapi, harapan tidak selamanya jadi kenyataan, yang terjadi justru sebaliknya, aku dapat di kelas mereka yang sudah dikenal bandal oleh semua guru yang ada di sana. Hari pertama aku mengajar, aku benar-benar kewalahan menghadapi mereka, mereka super duper nakal dan tidak bisa diatur. Memang sich aku sudah dikasih tahu oleh gurunya bahwa kelas mereka itu yang paling tidak bisa diatur dan mereka tidak bisa diam meskipun lagi ada gurunyadi dalam. Maklum meraka dari latar belakang keluarga yang kurang mampu, meskipun ada beberapa anak yang serba berkecukupan dari sisi matrial, tapi mereka tidak dapat kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya, orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Intinya anak-anak tersebut membutuhkan kasih Sayang karena mereka sebagian besar dari keluarga yang broken home, tutur guru kelasnya. Aku berpikir bagaimana caranya aku menaklukkan hati mereka, sementara mendengarkan ibu gurunya saja mereka acuh tak acuh, apalagi aku yang hanya dua hari akan mengajar disana pikirku. Aku tidak akan bisa masuk kelingkungan mereka kalau aku masih memposisikan diriku sebagai guru, maka aku putuskan memposisikan diriku sebagai sahabat bagi mereka seraya berkata:

“Adik-adik boleh aku ikut belajar bersama kalian?” tanyaku sebagai pembuka pembicaraan.

“Boleh bang, boleh”kata seorang siswa yang duduknya paling belakang, siswa itu adalah Riki yang terkenal paling bandel di kelas itu.

“Abang dari mana?” tanyanya dengan celetukan khas Riki yang menurut sebagaian gurunya kurang sopan. Sehingga sering buat guru-guru disana stres menghadapinya.

“ Aku dari lombok NTB dek” Jawabku singkat.

“ Jauh yaa bang?” tanyanya lagi sambil ketawa-ketawa kecil.

“Iy aku datang jauh-jauh hanya untuk bisa belajar bersama kalian jawabku”.

“Dia yang paling bandel itu bang kata teman-temannya yang lain nyeletuk!!!”

“ Bohong bang,,bohong,,kata Riki membela diri”.

“Ya sudah aku percaya Riki anak yang baik dan tolong buktikan sama aku”. Mendengar jawaban itu Riki tidak bertanya apa-apa lagi.

“Sekarang bisa kita mulai pelajarannya?” “Bisa bang, bisa kata mereka serentak”. Aku mulai membuka pelajaran hari itu dengan membuat kontrak belajar. Adik-adik sebelum kita masuk kepelajaran ada beberapa hal yang perlu kita sepakati, yang pertama: Ketika aku bilang anak cerdas maka kalian jawabnya: semangat,yes, yes, yes. “sepakat?” “Sepakat” kata mereka dengan serentak seperti oarang latihan paduan suara. Kalau begitu kita coba, “Anak cerdas?” “Semangat yes,,yes,,yes jawabnya dengan lantang”. Peraturan yang kedua: ketika aku bilang bayam, maka kalian harus diam. Itupun mereka sepakati tanpa ada komentar apa-apa. Dan yang ketiga dan keempat adalah “ketika mau bertanya maka acungkan tangan dan kalau mau keluar harus minta izin dulu Okey?” “Oke bang jawab mereka”. setelah mereka sepakati kontrak belajar yang telah aku buat barulah kemudian aku mulai pembelajaran. Meskipun kontrak belajar yang telah disepakati tidak 100% berhasil, tapi sedikit tidaknya telah membantu mempermudah aku dalam mengajar. Sebab ketika ribut bukan aku yang bilang “bayam” tapi teman-temannya yang lain. Dan anehnya merekapun diam.

Jam dindingpun sudah menunjukkan pukul11:00, anak-anak masih diskusi menyelesaikan tugas kelompok yang aku berikan. Dari depan terlihat Riki menganggu taman kelompoknya yang masih mengerjakan tugas.

“Riki.....!!! Tidak ikut kerjakan tugas sama teman-temanmu?”

“Sudah jadi bang” katanya dengan nada lirih.

Aku kaget mendengar jawabanya, padahal tugasnya baru aku berikan 15 menit yang lalu dan perkiraanku anak-anak akan menyelesaikan dalam waktu paling cepat30 menit, dan teman-temannya yang lainpun belum ada yang selesai.

“Mana coba aku lihat?” karena pikirku dia hanya mengerjakan asal-asalan.

“Ini bang kata Riki sambil menyodorkan bukunya”.

Aku mengambil buku yang diberikan oleh Riki dan mulai membacanya. Ternyata sebagian besar yang ditulisnya adalah benar sesuai dengan pelajaran pada hari itu yakni mengenai ekosistem. Akupun lansung memegang pundaknya dan mengangkat jempolku untuknya seraya berkata “ Kau hebat dek” dengan senyum semeringah dia bilang “biasa saja bang”. Ini anak lama-lama nyebelin juga gumamku dalam hati, sudah dipuji masih saja bersikap dingin. Sambil aku mencoba menenangkan diri, sabar han,,sabar..

“Aku boleh duduk disini?” tanyaku sama Riki,

“duduk saja bang” jawabnya singkat.

“Riki dari mana?”aku coba membuka pembicaraan.

“Dari pontianak bang”, jawabnya dengan nada ketus tanpa melihat kepadaku.

Melihat respon Riki yang kurang baik ketika ditanya soal asal-muasalnya aku alihkan pembicaraan. “Wiiih,,,bagus sekaligambarmu dek, coba Aku lihat sambil memegang tangannya yang bergambar naga, ini kamu yang buat?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Iy jawabnya singkat”, dengan badan yang masih membelakangiku.

“wiiich,,,hebat kau dek”, coba kamu gambar di buku gambar terus dikasih warna pasti bagus.

“Aku tidak punya uang untuk beli buku gambar bang”. Katanya dengan suara memelas.

“Minta sama bapak atau ibunya khan bisa lanjutku”, paling-paling buku gambar harganya 2000-3000 ribuan, memancing dia mau bercerita sama aku mengenai dirinya.

“Bapakku sudah tidak ada bang”, sudah kurang lebih satu tahun dia meninggal, Riki mulai membuka diri sama aku, dia menatapku dengan tatapan yang tajam dan sorot mata berbinar-binar, mencari tahu bahwa aku memang bisa dipercaya untuk cerita seperti ini. Akupun menatapnya dalam-dalam sebagai tandan bahwa aku mau mendengarkan apa yang dia cerita dan bersimpati kepadanya.

“Yang sabar ya dek”, kita sama bapakkujuga sudah lama meniggal sekitar 3 tahun yang lalu tandasku mengimbangi ceritanya Riki.

“Teruz sakarang tinggal sama ibumu?” tanyaku lagi ingin tahu lebih jauh.

“Tidak bang sama bibi”. Jawabnya dengan nada lirih sambil membalikkan badannya dan menghadap kepadaku. Riki kelihatannya sedikit demi sedikit sudah mulaI percaya kepadaku sambil melanjutkan cerita tantang kehidupan bersama bibiknya.

“Ibumu kemana?” kataku dengan nada sedikit mamaksa, aku semakin penasaran dengan kehidupan Riki dan terus menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Dia sekarang lagi di Saudi bang”. Saudi? Tandasku lagi dengan nada tidak percaya.

“Iy bang Saudi” katanya sambil cengingisan menghadap teman-temannya yang fokus melihat dia..

“Semua sudah jadi?” Aku memecahkan fokus anak-anak yang masih melihat Riki.

“Belum pak, belum tinggal sedikit”, kata mereka dengan suara yang saling berebutan.

“Kalau begitu aku kasih waktu tinggal 10 menit lagi”. Jadi tidak jadi,,,harus dipresentasikan.

Mendengar sisa waktu yang ada, Semua bergegas kembali mengerjakan tugas kelompok yang aku berikan. Aku masih duduk didekatnya Riki. Melihat anak-anak sudah kembali fokus dengan pekerjaannya. Aku melanjutkan kembali perbincanganku dengan Riki yang sempat tertunda tadi.

“Riki sering dikirimi ibu uang?” melanjutkan pertanyaanku sama Riki.

“Aku tidak tahu bang” bibiku saja yang tahu karena sekarang aku tinggal sama dia.

“Riki pernah ditelpon sama ibu?” tanyanku terus menggali informasi tentang dirinya.

“Pernah bang kemarin dia telpon sama bibik dan ngomong juga sama Riki”.

“Riki kangen ya sama Ibu?”

Pertanyaan terakhirku membuat Riki terdiam tidak berkata apa-apa. Matanya berkaca-kaca dia seperti ingin menumpahkan semua air mata kangennya sama Ibu bapak yang jauh darinya. Melihat hal tersebut aku cepat-capat mengucapkan kata maaf kepadanya, tapi diapun tetap diam tidak bergeming...

Waktu sudah habis, “silahkan siapa yang mau duluan mempresentasikan hasil kelompoknya?” ujarku seraya mengakhiri perbincanganku sama Riki. Salah satu siswa dari kelompoknya Riki mengacungkan tangan “ kami pak” silahkan siapa yang membacakan?, merekapun saling tunjuk-menunjuk, dan Rikipun akhirnya maju kedepan membacakan hasil kelompoknya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Aku memandu anak-anak yang lain untuk tepuk tangan untuk Riki. Setelah Riki selesai mempresentasikan hasil kelompoknya kemudian kelompok yang lain secara bergiliran mempresentasikan hasilnyasampai kelompok terakhir.

Sampailah kami 15 menit di penghujung pelajaran. Adik-adikku sekalian sebelum kita menutup pelajaran kita, aku ingin adik-adik menulis kesan pesan pembelajaran kita pada hari ini, dan hari ini juga hari terakhir aku mengajar disini. Merekapun mulai menulis kesan dan pesan mereka dalam secarik kertas yang mereka robek dari buku pelajaran mereka. jadi ingat masa SD ketika buku pelajaran habis di sobek untuk buat kapal-kapalan..he

Setelah selesai, merekapun mengumpulkan semua hasil refleksinya kedepan. Aku baca satu persatu setiap tulisan refleksi dari masing- masing siswaku. Semuanya bagus dan hampir kata-katanya sejenis, namun aku tertarik dengan apa yang ditulis oleh Riki, bunyinya gini “kakak sangat sabar dalam mengajar, walaupun anak muridnya berisik dan susah diatur, Aku sangat salut dengan kakak dan kakak sangat banyak memberi ilmu yang bermanfaat, dan kakak juga banyak menceritakan pengalamannya yang sangat bermanfaat. Dan kakak juga orangnya sangat terus terang kepada kami, kami senang belajar dengan kakak. Terima kasih ya kak, karena kakak sudah mau mengajar kami walau pun kami sangat susah diatur...

Ini diambil dari teks yang mereka tulis sendiri dan tidak dikurangi sedikitpun. Aku tidak ingin mengatakan aku adalah orang yang sabar dalam mengajar sementara yang lain tidak. Aku juga tidak ingin mengatakan bahwa aku memberikan banyak pengalaman dan ilmu yang bermanfaat sama mereka, sementara yang lain tidak pernah memberikan hal tersebut. Aku juga tidak ingin mengatakan bahwa aku adalah orang yang terus terang sekali sama mereka, sementara guru yang lain tidak terbuka. Yang ingin aku katakan adalah ungkapan sebuah kejujuran ketika mereka menyadari diri mereka adalah orang yang bandel dan susah diatur. Tapi masih sempat mengucapkan rasa seneng belajar dan terima kasihnya kepada orang yang telah mengajarinya. Anak yang sudah diberi stempel hitam dengan tulisan “anak paling bandel dikelas” dan selalu buat ulah masih bisa bilang senang belajar dan mengucapkan terima kasih. Anak yangbapaknya meninggal, ibunya di negeri orang masih memiliki semangat belajar yang tinggi asalkan kita mau bersabar sedikit dengan mereka dan mau memahami mereka. Dan memang sudah seharusnya kita sebagai guru yang memahami mereka bukan kita yang meminta mereka untuk memahami sikap gurunya..

Seperti yang dikatakan ibu Iche dalam pengantarnya pada buku yang berjudul “Peluh Penawar Rindumu Indonesia” yang di tulis oleh A. Tien Asmara. DKK. Beliau mengatakan “Setiap anak memiliki keunikan sendiri dan memiliki potensi belajar sesuai dengan keunikannya. Keunikan itu bisa dalam bentuk yang dianggap tepat oleh guru, namun bisa sebaliknya, yakni sikap yang tidak sesuai degan harapan guru. Guru sering kali secara tidak sadar ingin berhadapan dengan anak yang disebut “nurut” dan cendrung secara tidak sengaja meninggalkan anak-anak yang disebut “bandel”. Mau disebut apa saja sebenarnyasetiap anak ingin belajar sesuatu, dan dengan keunikannya ini anak berpotensi menguasai apa yang dipelajarinya”.

Oleh karena itu,, lihatlah peserta didik kita sebagai manusia kecil yang masih membutuhkan tuntunan dan kasih sayang dari kita sebagai gurunya. Bukan hanya menonton dan memberikan penilaian negatif terhadap mereka ketika melihat mereka melakukan hal-hal yang tidak sesuaidengan keinginan kita. Fahamilah mereka sebagai anak yang lagi senang-senangnya meniru, sehingga ketika dia lagi belajar meniru gaya orang lain ataupun gaya gurunyakita tidak lansung memberikan punismen. Bukankah mereka adalah titipan (amanah) yang harus kita jaga dan rawat. Bukankah kita perpanjangan tangan Allah untuk mendidik mereka, agar mereka menjadi manusia yang tahu diri dan bermanfaat bagi keluarga, masnyarakat dan tentunya bangsa ini. Mereka adalah mutiara di dasar laut, yang mereka sendiri belum tau keberadaannya sangat berharga dan diharapkan oleh semua orang. Maka tugas kita sebagai orang dewasa (guru) mengantarkan mereka sampai kepada pengetahuan bahwa mereka adalah Hamba Allah yang sempurna, dan dengan kesempurnaannya itu merekabisa berbuat banyak untuk memperbaiki kondisi Negeri ini menjadi lebih baik. Amin 3x

Untuk mendidik tak perlu gedung indah berukir

Untuk mendidik hanya perlu guru yang terus berpikir

Untuk mendidik tak selalu perlu laboratorium dan buku

Untuk mendidik perlu guru yang tulus membantu

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun