Manusia senantiasa berada dalam konfrontasi hebat
melawan setan beserta konco-konconya pada pergolakan
antara mempertahankan kebaikan dan melawan kejahatan
di satu sisi (menurut kita) dan sebaliknya di sisi lain
menurut kemauan setan.
Shalat lima waktu yang waktu-waktunya terbagi diseputar
siang malam, ibarat terminal-terminal tempat berpangkanya
rohani, atau bagai minuman segar pelepas dahaga untuk
mengobati kegundahan jiwa yang berasal dari sisi Yang Maha
Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Yang demikian itu pantas untuk dijadikan pelindung bagi kita
dari ujian hidup, membentengi kita dari ketergelinciran,
sehingga tidak meniti di atas jalan yang lurus lagi.
Kedisiplinan itu telah menghimpun kita dari shalat yang satu
ke shalat berikutnya.
Sejalan dengan itu, jika waktu-waktu shalat yang lima kali
sehari telah kita lenakan dan kita biarkan menggilas kita,
dalam perhitungan, kita dapati tidak sebatas sepersepuluh
waktu sehari semalam saja, namun memberi peluang besar
bagi setan untuk melemahkan sendi-sendi keampuhan
yang dapat menghalangi cita-cita dan harapan suci serta
dapat pula mempengaruhi seseorang untuk sama sekali
meninggalkan kewajiban shalatnya.
Alhasil, bagi siapa yang menghidupkan hakikat shalat dan
kehidupan di dalam mihrabnya, akan merasakan nikmatnya
iman dan kelezatan suatu ketaatan, tidak menunda-nunda
waktu pelaksanaan atau memberatkannya, menjadikan shalat
bagian dari hidupnya, menanti harapan tibanya waktu untuk
bercumbu rayu karena bahagia berjumpa dengan Allah serta
bersimpuh di bawah kekuasanNya.
Singosari, 11 Juni 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H