Boleh jadi di suatu tempat, tugas dan tanggung jawab usai sudah atau dengan kata lain "purna tugas". Sekian lama mengabdi pada masyarakat, mengajar, mendidik, dan mentransfer ilmu semata untuk kesejahteraan generasi mendatang. Now, profesi itu tinggallah kenangan yang tak terlupakan.
Mengawali karir di dunia pendidikan bukanlah hal yang mudah, dari budaya sebelumnya yang tak mencerminkan seorang profesional harus dirombak, pengetahuan yang hanya seujung kuku belumlah cukup dan harus dikembangkan, karena profesi ini menuntut keahlian khusus.Â
Begitu pula dengan penampilan, gaya bicara, cara berpakaian, serta peri laku, semua itu akan menjadi panutan atau suri tauladan "digugu lan ditiru" di masyarakat maupun di lingkup pendidikan.Â
Profesionalisme mencerminkan ciri profesi, ini berarti pekerjaan yang bersifat professional, pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berkompeten dengan istilah lain professional adalah keahlian  khusus yang terdidik dan terlatih serta memiliki pengalaman yang kaya dibidangnya.Â
Tugas mulia panggilan hati telah tiba diujung waktu, namun bukan berarti semua telah berakhir.  Orang bilang, mereka yang akan atau sudah memasuki masa purna tugas akan mengalami Post Power Syndrome (PPS), wow menakutkan!, apa iya ?.
Sindrom adalah serangkaian gejala, yang mencolok mungkin hanya satu gejala saja. Secara umum, orang yang mengalami post power syndrome sebenarnya diliputi rasa kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, ketergantungan, kekosongan, dan kerinduan.Â
Selain itu, harga dirinya juga menurun, merasa tidak lagi dihormati dan terpisah dari kelompok. Semua ini biasanya tidak begitu disadari oleh yang bersangkutan. Gejala ini umumnya terjadi pada orang yang tadinya mempunyai kekuasaan atau jabatan dan ketika jabatan itu sudah tak lagi dipegang, muncullah berbagai gejala psikologis atau emosional yang sifatnya kurang positif.
Penyebab Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa pensiun. Pensiun merupakan masa seseorang secara formal berhenti dari tugasnya selama ini, bisa merupakan pilihan atau keharusan. Para pensiunan terbagi menjadi dua kelompok.Â
Ada yang bahagia karena dapat menyelesaikan tugas dan pengabdiannya dengan lancar. Sebaliknya, ada juga yang mengalami ketidak puasan atau kekecewaan akan kehidupannya. Sindrom ini bisa dialami oleh pria maupun wanita. (https://nasional.kompas.com)
Untuk mengatasi momok (PPS) yang menghantui ini , Saya menyarankan agar siapa saja usahakan untuk mempunyai berbagai aktivitas yang dapat menyalurkan emosi negatif atau ketidak puasan  untuk lebih konstruktif, seperti mengikuti kegiatan sosial, memberikan ceramah dengan topik yang dikuasainya ketika ada acara keluarga, mengajar keterampilan tertentu kepada orang yang membutuhkan, menjalani hobi, dan berolahraga. Kesimpulan buatlah diri anda sesibuk mungkin sesuai dengan kegemaran dan batas kemampuan. Â
Dua hal yang saya lakukan, pertama kegiatan sosial dibidang komunikasi (ORARI), kedua menyalurkan hobi yang tertunda menulis dan menulis. Selanjutnya ada satu hal yang sangat menyenangkan dan membahagiakan melebihi segalanya, bergurau bersama anak cucu. Sejujurnya, yang telah saya lakukan ini mampu membawa saya keluar dari jeratan Post Power Syndrome. Selamat mencoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H