Oleh Noer Ima Kaltsum
Beberapa waktu yang lalu, kantor tempat saya bekerja kedatangan dua orang cantik pegawai bank. Sepertinya mereka berdua bekerja di bagian marketing. Mula-mula mbak-mbak cantik ini menemui bendahara sekolah. Tidak hanya sekali mbak-mbak cantik ini datang. Ternyata beliau berdua menawarkan kartu kredit dari salah satu bank. Di antara kedua mbak cantik ini yang paling aktif merayu-rayu adalah mbak Mega. Mbak Mega menjelaskan tentang kartu kredit, fungsi, manfaat, keuntungan, hingga cara menggunakan. Tak lupa dijelaskan pula mekanisme pembayaran cicilan bila kartu kredit digunakan. Yang tak kalah penting adalah masalah bunga yang kompetitif (halah, benar tidak ini?).
Setelah dirayu-rayu, akhirnya ada beberapa teman yang tertarik untuk memilikinya. Mungkin ada sekitar 10 orang yang akhirnya memiliki kartu kredit. Kata mereka, gak enak sama mbak Mega yang sudah menawarkan sampai berbusa-busa, mengajak makan-makan (strategi menggaet nasabah, barangkali), terus kita tidak membuat kartu kredit. Saya hanya tersenyum. Saya memang ikut makan-makan, karena dipaksa makan bakso yang membelikan mbak Mega. Sebenarnya saya tidak mau, tapi terus dipaksa-paksa. Kalau akhirnya saya tidak ikut membuat kartu kredit, itu ya nggak masalah.
Beberapa hari kemudian mbak Mega datang lagi, kali ini membagikan beberapa amplop untuk teman-teman yang membuat kartu kredit. Dalam amplop isinya selain kartu kredit juga bemacam-macam catatan. Mbak Mega berpesan untuk segera diaktifkan agar kartu kredit bisa dipakai. Lumayan kan, tinggal gesek kartu kredit barang yang kita inginkan bisa kita bawa pulang. Dengan catatan toko yang kita tuju ada kerja sama dengan bank yang mengeluarkan kartu kredit.
Teman-teman yang sudah diberi amplop ternyata tidak segera mengaktifkan kartu kreditnya. Jadilah, dia ditelepon mbak Mega untuk segera mengaktifkan kartu kreditnya. Hanya satu orang yang akhirnya mengaktifkan kartu kredit, yang lainnya masih utuh di amplop. Huwihhhh.
Teman saya yang sudah mengaktifkan kartu kredit, mencoba bertransaksi. Ajaib, semua dengan mudah dia dapatkan barang-barangnya. Nah, karena kurang control, kreditnya menumpuk banyak. Bila tiap bulan tidak tertib membayar cicilan, ternyata bunganya berbunga. Saya kurang tahu, entah karena apa, teman saya jadi sering ditelepon pihak bank.
Ngomong-omong soal kartu kredit, saya memang tak tertarik sama sekali. Pikiran saya kartu kredit sama dengan hutang dan hutang. La wong sekarang hidup saya nyaman tanpa hutang, hidup saya mapan, tidur nyenyak, makan enak dan lahap karena tak punya hutang kok malah mau mencoba membuat masalah dengan berhutang.
Bukan karena saya kaya raya dan simpanan materi saya banyak, bukan, bukan itu. Saya ini orang lugu apa adanya. Tidak pernah memaksakan diri memiliki benda-benda yang tidak saya butuhkan. Apalagi dengan jalan berhutang.
Orang tua saya dulu orang tak punya, anaknya banyak, sekolah semua. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, membayar sekolah yang bersamaan, kadang harus berhutang. Hutang di bank plecit, di koperasi, bank. Pokoknya gali lubang tutup lubang. Malah dulu rumah kami sempat mau dijual untuk menutupi hutang (Alhamdulillah, tidak jadi dijual karena ada saudara Bapak yang membantu). Itu dulu tahun 80-an. Pengalaman pahit orang tua tidak akan saya ulangi. Dulu orang tua berhutang karena benar-benar untuk mencukupi kebutuhan, bukan untuk gaya-gayaan, apa lagi hanya untuk jaga gengsi.
00000
Ketika ngobrol di kantor dengan teman-teman, ada yang bilang,”biar kita kelihatan gaya, di dompet kita, kita deretkan beberapa kartu kredit.”